Aku sampai disebuah rumah yang tak terlalu besar. Rumah yang terlihat tidak terawat dan agak jauh dari rumah yang lainnya. Brian menyeretku memasuki rumah itu. Kemudian dia membuka salah satu pintu kamar dan mendorongku masuk. Aku mendengar dia mengunci pintunya.
" Bukaa..bukaa...tolong bukaa.." teriakku sambil memukul mukul pintu.
" Diam Ara..berisik." bentaknya dari balik pintu.
" Brian..ayo kita bicara baik baik. Tolong buka pintunya." Bujukku sambil terisak.
Kali ini rasa takut melingkupiku dengan sempurna. Aku sedikit bergidik menatap ruang kamar yang tak terawat ini. Lama aku tak mendengar jawaban.
Aku mendudukkan diriku disebuah alas yang ada di ruangan itu. Aku terus menangis.
Ya Allah tolong aku...Ry..tolong aku, gumamku.
Aku merutuki diriku yang tidak membawa tas, karena tasku dibawakan oleh Runi. Jika saja tas itu kubawa, aku bisa menghubungi Rynaldi dengan ponsel.
Aku kaget ketika sebuah tangan mengusap usap wajahku. Aku segera menepisnya. Aku melihat Brian berjongkok dihadapanku. Tadi mungkin aku tertidur, setelah lelah menangis. Kulihat Brian menyeringai sambil menatapku tajam.
" Aku ternyata tidak bisa hidup tanpamu sayang. Fania tidak seperti dirimu. Dia jalang yang licik." Ucapnya pelan.
Aku masih diam sambil memandanginya. Ada rasa kesakitan di wajah itu. Wajah yang kini begitu tirus dan kuyu. Entah kemana Brian yang dulu, playboy tampan yang begitu dipuja oleh hampir semua mahasiswi.
" Aku ternyata tak sanggup kehilanganmu Ara. Aku mencintaimu sayang."
" Kau tidak mencintaiku Brian. Saat ini kau hanya terobsesi. Dulu saja ketika berpacaran denganku, kau sering pergi dengan Julia, Tatiana dan juga mencintai Fania. Bahkan kau tidur dengan Fania kan. Hanya karena aku tidak mau berciuman dan tidur denganmu." Ucapku sarkas.
" Yaah..aku tahu aku salah cintaku. Kau dulu begitu lugu. Membuatku penasaran." Dia terkekeh.
Aku menatapnya takut. Perubahan sikapnya yang membuatku takut. Aku merasa ada yang aneh dengannya.
" Kau hanya penasaran denganku, yah hanya penasarankan. Tolong dengarkan aku. Aku ini seorang istri dan ibu yang sedang ditunggu di rumah. Mereka pasti cemas saat ini. Jadi please....lepaskan aku..."
Brian menggeleng," tidak akan kulepaskan, aku tidak ingin kehilanganmu."
Brian memelukku erat. Aku berontak dengan memukulinya. Ya Allah..aku takut, jeritku dalam hati.
" Ry...tolong..aku takut.." jeritku tanpa sadar. Kulihat Brian tambah marah.
Plak..plak.. dia menamparku. Aku menangis keras menahan rasa panas di pipiku. Dia meraih pipiku dan mengusapnya.
" Maafkan aku sayang. Aku tidak mau mendengar namanya. Aku tidak mau bibir cantik ini menyebut nama bajingan yang merebutmu dariku." Ucapnya melembut, raut wajahnya berubah tidak lagi beringas.
" Sstt..sstt..jangan menangis sayangku." Suaranya membujuk. Dia menciumi pipiku. Aku menamparnya. Dia tertawa keras.
" Kau benar benar sakit Brian..Kau gila." Jeritku.
" Yah..aku tergila gila padamu cantik." Ucapnya disela tawanya.
" Aku akan memilikimu. Aku akan membuatmu hamil, sehingga suamimu jijik padamu." Ucapnya dengan suara datar.
Aku bergidik mendengarnya. Dia menubrukku dan menindih tubuhku. Aku memberontak, memukulinya dan berusaha menendangnya. Rasa takut yang datang menyerbuku membuatku merasakan udara mulai menyesakkan dadaku. Mataku berkunang kunang. Tubuhku terasa menggigil.
Tak henti aku memuji nama Allah dan berteriak memanggil nama suamiku. Dan sebelum gelap memelukku aku mendengar suara ribut ribut diluar kamar dan...
Brakkk....Bugh..Bugh....
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper of the Heart (Completed)
RomantizmAmara Fritzi dilanda duka cita, ibunya meninggal dunia. Kini jiwanya terasa sepi, luka hatinya begitu dalam. Apalagi benih di rahimnya semakin besar. Beribu kali dia mengutuki kejadian di Villa Dheana, sahabatnya. Dimana Dia bertemu Rynaldi Albrecth...