3

952 55 1
                                    

Lia POV

Bel pulang berbunyi, sontak semua murid SMK Wijaya langsung berhambur keluar kelas menuju gerbang. Namun aku terpaksa untuk menetap dan melaksanakan kewajibanku sebagai pengurus OSIS, biar bagaimanapun juga kondisi hati yang sedang galau tidak boleh membuatku lalai akan tugas.

"Liaa, bareng kuy." seseorang menggandeng tanganku.

Aku menatapnya, merasakan sesak dan pedih. Ingin rasanya menepis tangan itu namun segera aku beristighfar, semoga saja hatiku tidak semakin terluka.

"Lu tau gak? Si Awan nyuruh gue buat kabur, padahal dia sendiri ada kumpulan MPK. Sarap ya." ocehnya.

Aku hanya membalas dengan kekehan kecil tanpa ada minat sedikitpun, apakah dia tidak peka dengan responku? Ataukah memang sengaja membuatku semakin sakit? Astagfirullah, aku tidak boleh suudzon.

"Btw sekarang lu bajunya syar'i ya, gak panas?" tanya Listia.

'Gak sepanas waktu aku liat kamu berduaan sama Awan.' kataku dalam hati, ingin sekali rasanya aku mengeluarka semua unek-unekku tapi apadaya aku hanya bisa diam. Memang aku siapanya?

"Kok lu bengong?"

"Eh enggak kok, lebih baik panas di duniakan daripada menanggung panasnya api neraka?" kataku lalu masuk ke ruang OSIS meninggalkan Listi.

Ternyata di ruangan itu baru ada ketua OSIS dan Awan. Eh Awan? Jangan bilang sekarang lagi ada rapat gabungan? Ya Allah, cobaan apalagi ini. Haruskah aku pura-pura sakit? Aku memang sedang sakit, bahkan sangat sakit. Hatiku sakit!

"Eh lu sakit?" kata ketua OSIS yang sedari tadi memperhatikan kegelisahanku.

"Enggak, btw bolehkan kalau aku ijin hari ini?" kataku penuh harap.

"Lukan ketua seksi bidang seni, sekarang lagi ada rapat gabungan." jawabnya.

Aku menghembuskan nafas, haruskah aku terjebak disini? "Wela." kataku, "Diakan wakil ketua, dia aja yang gantiin ya. Buat hari ini aja." pintaku memelas.

Walaupun berat akhirnya ketua OSIS itu menganggukan kepalanya, tanpa berbasa-basi aku meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar meninggalkan sekolah, terdengar adzan ashar berkumandang. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali dan menuju masjid.

Berbeda dengan waktu dzuhur, hanya ada segelintir orang yang ada di masjid saat ashar. Karena memang banyak yang sudah pulang atau tidak banyak yang menunda melaksanakan ibadah. Aku segera wudhu dan menuju tempat suci, jika biasanya tempat wanita ada di atas, kali ini aku memutuskan untuk sholat di bawah. Ada beberapa orang disana, dengan cepat aku memakai mukena tanpa melepas hijabku mengingat ruang bawah ini mayoritas ikhwan.

"Allahu Akbar."

Takbir bergema, entah mengapa hatiku bergetar. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat tenang sholat di masjid sekolah, biasanya ada saja orang yang berlalu lalang sehingga membuatku terusik.

"Assalamualaikum warahmatullah."

Ucapan salam telah terdengar menandakan sholat telah berakhir, saat semua mulai meninggalkan rumah Allah aku segera mengangkat tangan. Mataku terpejam, serentetan do'a mulai ku ucapkan, mulai dari keselamatan orang tuaku yang sedang mengurus bisnis di negri tirai bambu, hingga rasa pedih yang terus menggerogoti hatiku.

Tidak terasa bulir air mulai keluar dari mataku, meskipun tidak ada suara isak yang terdengar tapi dadaku terasa sesak. Aku bertekad setelah ini semuanya berakhir, tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi rasa cemburu, tidak ada lagi acara menghindarinya.

"Maa fii qolbii ghairullah." kata itu seakan menjadi penenang hati.

Teringat kejadian beberapa tahun lalu saat kakekku meninggal, bang Idanlah orang pertama yang menghiburku. Dalam pelukannya aku terus menangis, seperti tak kenal lelah air mataku terus mengalir membiarkan mataku yang semakin bengkak. "Dek, kalau kamu merasa cemburu, sakit dan juga sedih kehilangan sesuatu ucapkanlah Maa fii qolbi ghairullah, tidak ada siapapun dihatiku selain Allah." begitu katanya.

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang