10

722 39 0
                                    

Lia POV

Hari ini adalah hari yang paling aku nantikan, sejak kemarin aku terus disibukan dengan berbagai acara. Seperti seserahan, pengajian, siraman dan sebagainya. Di sela tawa sesekali aku menangis, mengingat orang tuaku telah tiada dan tidak dapat menyaksikan kebahagiaan ini. Bang Idanlah satu-satunya keluarga inti yang selalu menemaniku dan berbaik hati mengurus semua acara yang akan berlangsung

Saat perias tengah sibuk dengan berbagai macam alat make up, aku disibukan dengan pikiran yang terus melayang. Semua tampak jelas bagai video yang diputar ulang, tidak ada yang terlewat sedikitpun.

Sesungguhnya aku tidak menyangka bahwa nama Alvin Shaputra yang akan bersanding denganku, mengingat pada masa SMK aku dan dia selalu ribut tentang hal sepele. Selama itu aku tidak pernah menjalani hubungan pacaran, semuanya mengalir begitu saja. Berkali-kali dia mencoba untuk merayuku, namun aku hanya tertawa dan meganggapnya hanya gurauan semata.

"Aduh ini pengantin baru senyam-senyum terus." kata perias berambut lurus sebahu.

"Biasa atuh teh, kan mau menyambut calon suami." timpal temannya.

Aku yang mendengar obrolan mereka hanya dapat tersenyum, memang mengingat Alvin selalu membuat hatiku bergetar  dan tanpa sadar melukis seulas senyuman.

Sebenarnya bang Idan selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu berlebihan dalam menyikapinya, katanya sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Walaupun aku tau, tapi apa daya diriku tidak dapat menahan gejolak rasa itu.

Lagi-lagi pikiranku melayang saat Alvin datang ke rumahku dengan membawa keluarganya, aku sangat terkejut karena dia tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Suatu kejutan yang membuatku terharu, dia membuktikan semua omongannya dan langsung mengkhitbahku.

Diiringi dengan suara rintik hujan, suara Alvin menggema di setiap sudut ruangan.

"Maksud kedatangan saya dan keluarga adalah untuk mengkhitbah adek kak Zaidan." katanya.

Bang Idan yang mendengar hal itu langsung membulatkan matanya, "Apakah sebaiknya kalian ta'arufan dulu?"

"Menurut cerita anak saya mereka telah saling mengenal, sejak SMK sampai kuliahpun mereka selalu bersama." jawab papanya.

Aku yang sedari tadi diam mengulum senyum menanti jawaban bang Idan, ada sedikit rasa cemas kalau-kalau bang Idan tidak menyetujui lamaran ini.

"Sebagai satu-satunya keluarga inti Lia, saya tidak berhak untuk menentukan jawaban. Biarkan adek saya yang menjawabnya, dia sudah dewasa untuk menentukan keputusan." kata bang Idan sembari melirikku.

Semua mata menatapku, kepalaku semakin ditundukan. Tak kuasa melihat tatapan penuh harap dari keluarga Alvin, lidahku seakan kelu untuk menjawab. Sudah berkali-kali aku mencoba, namun tak ada satu patah katapun yan terucap. Tidak mau membuat mereka menunggu, akhirnya aku menganggukan kepala yang dihadiahi dengan ucapan alhamdulillah secara serentak.

Aku memberanikan diri untuk menengadah, tanpa sengaja mataku menatap manik mata hitam legam itu. Selama beberapa saat pandangan kami saling mengunci, sebelum akhirnya bang Idan berdeham dan menyadarkanku dari keterpanaan itu.

"Assalamualaikum."

Terdengar salam lalu pintu kamarku mulai terbuka, lagi-lagi aku tersadar dari lamunan. Tampak sahabatku menggunakan gamis brukat  berwarna peach, kepalanyapun berbalut hijab dengan warna senada. Senyumannya merekah saat melihatku, lalu dengan cepat dia menghampiriku. Seakan tak mau mengganggu, para periaspun keluar ruangan menyisakan aku dan Ulfah

"Masya Allah, kamu cantik banget." katanya.

"Alhamdulillah sahabatku yang cantiknya samaan." balasku diiringi dengan kekehan.

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang