20

632 37 0
                                    

Perpustakaan kota merupakan tempat favorit kedua Lia setelah rumah, karena pada dua tempat itu ketenangan dapat dia rasakan. Pikiran Lia terus berkecamuk, apalagi kali ini Faiz menjadi manusia es.

Sebagai manusia Lia sangat paham bagaimana jika ada di posisi suaminya itu, tetapi sebagai wanita dia ingin dimengerti. Tidakkah Faiz paham jika dirinyapun terluka? Bahkan Faiz yang hanya mendengarkan cerita saja dapat merespon seperti itu, lalu mengapa Lia tidak bisa?

Tangan Lia terus membuka lembar demi lembar buku, tapi tak ada satupun kalimat yang masuk. Alhasil Lia memilih untuk membuka handphone dan menscroll chat lamanya, hingga akhirnya mata Lia tertuju pada sebuah nama. Dengan ragu dia memencet nama itu dan segera menelponnya.

"Assalamualaikum." kata Lia setelah terdengar deheman dari seseorang di sebrang sana.

"Waalaikumsalam warahmatullah, tumben nelpon?" tanya orang itu tanpa basa-basi.

"Ya Allah, jadi kamu gak kangen nih sama aku? Ya udah aku matiin." kata Lia sambil memajukan bibirnya.

Terdengar suara kekehan dari sebrang, "Jangan ngambek gitu dong sayang, penasaran aja udah lama gak nelpon sih."

"Kamu ke sini ya, temenin aku di perpus." pinta Lia dengan suara memelas.

"Hmm... Ya udah deh, tunggu setengah jam lagi ya."

Setelah mendengar jawaban itu Lia dapat menghela nafas lega, akhirnya dia tidak kesepian lagi. Liapun mengucapkan salam dan memutuskan sambungan, semoga saja masalahnya akan cepat selesai.

Untuk membunuh waktu, Lia menyusuri rak demi rak yang berisi buku religi, mulai dari kisah para nabi, kisah sahabat nabi, keluarga nabi, hadits, hingga novel dan juga masih banyak lagi. Akhirnya pandangan Lia jatuh pada novel dengan judul Negeri 5 Menara karya A.Fuadi. Baru membaca lembar pertama saja Lia langsung terhanyut, karena memang buku ini adalah kisah inspiratif denga selipan humor khas pondok.

Lia membayangkan bagaimana jika dirinya menjadi santriwati, dari dulu harapannya ingin mondok tapi selalu gagal. Bukan karena dia tidak berusaha ataupun tidak lolos seleksi, tapi Zaidanlah yang tidak mengijinkannya. Alasannya? Karena Lia tidak mandiri, dan juga akan sangat merepotkan jika Zaidan mendapat laporan kenakalan Lia. Bayangan masa lalu itu membuat Lia kesal dengan kakak satu-satunya, dia yakin alasan Zaidan sebenarnya adalah tidak ingin jauh dari dirinya, tapi memang dasar rasa gengsi itu membuatnya enggan untuk jujur.

"Boleh duduk?" tanya seorang wanita yang hanya dibalas anggukan oleh Lia tanpa memalingkan wajahnya dari buku.

Keheningan mulai menyelimuti, Lia mulai menikmati alur yang diciptakan oleh novel itu. Bagaimana suka duka menjadi santri, bagaimana sensasi menghapal bahasa inggris dan arab dalam kurun waktu tiga bulan. Ah, membayangkannya saja sudah membuat Lia tersenyum, semoga saja anaknya nanti dapat merasakan suasana pondok.

"Kak Lia." seruan itu membuat Lia melihat si empunya suara.

Mata Lia membulat seketika, bagaimana bisa dari tadi dia tidak menyadari kehadirannya? Dengan cepat Lia beristighfar dan menata hatinya agar tidak porak poranda.

"Ada apa?" tanya Lia dingin.

Wanita yang ada dihadapan Lia berusaha meneguk salivanya, "Kak ada yang mau aku omongin." cicitnya.

"Tentang?" tanya Lia tak berminat.

"Alvin."

Raut wajah Lia berubah seketika, berani-beraninya dia menyebutkan nama itu dihadapannya. Nama itu sekarang haram bagi dirinya, Lia sangat membencinya. Sangat!

"Yang Alvin omongin waktu itu bohong kak." wanita itu berbicara lagi.

"Lupakan aja." kata Lia sambil berusaha memfokuskan pikirannya kembali pada novel.

"Aku gak tunangan sama Alvin." kata wanita itu sambil menggenggam tangan Lia.

"Cukup Oliv!" sentak Lia yang membuat semua mata tertuju ke arahnya.

Suara teguran terdengar dari penjaga perpustakaan, untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan Liapun memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Pikirannya sangat berkecamuk, nama itu selalu membuatnya tidak tenang. Sepertinya Allah sedang menguji kekuatan hati Lia.

"Kak please dengerin aku dulu." kata Oliv terus membuntuti Lia.

Lia tetap tidak merespon, yang dia lakukan adalah mempercepat langkahnya. Air matanya kini meluncur lagi, entah sudah keberapa kalinya dia menangisi nama itu. Mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu selalu membuatnya lemah, memang Lia serapuh itu.

"Percaya sama aku kak, Alvin bohong!" teriak Oliv berharap Lia akan berhenti.

Namun hasilnya nihil, Lia terus berjalan sambil menutup kedua telinganya. Sudah cukup dia mendengar kenyataan pahit itu, tidak perlu ditambah dengan penjelasan yang akan membuatnya sakit. Apapun penjelasan itu, Lia yakin pasti tidak akan berdampak baik bagi dirinya.

Lia terus berjalan hingga tanpa sadar sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi, matanya yang sedikit buram karena genangan air itu tidak dapat melihat dengan baik. Ketika jarak truk itu tinggal lima meter, barulah Lia menyadari. Tapi tubuhnya seakan kaku, dia tidak dapat menggerakan tubuhnya sedikitpun.  Alhasil tubuhnya mengenai bagian dari truk itu hingga membuatnya melayang dan terhempas belasan meter dari tempat awal.

Siapapun yang melihat kejadian itu pasti akan bergidik ngeri, semua terjadi dengan cepat. Tidak sampai hitungan menit tubuh Lia telah terkapar di trotoar dengan bersimbah darah. Gamis berwarna peachnya kini telah ternodai, terutama kerudungnya yang hampir setengahnya itu dipenuhi dengan darah segar.

"Astaghfirullah, kak Lia." Oliv berteriak dan segera menghampiri Lia.

Dengan air mata yang berderai Oliv membawa kepala Lia dalam pangkuannya, "Kakak harus kuat ya, aku mau panggil ambulans dulu." kata Oliv sambil terisak.

Lia tidak menjawab apapun, badannya tidak dapat merasakan apapun seakan-akan dia sudah pergi. Akankah kisah hidupnya berakhir seperti ini? Jika memang iya maka Lia akan meminta maaf kepada Faiz. Selama ini Lia telah banyak melakukan kesalahan kepada suaminya, setiap hari Lia selalu menorehkan rasa sakit.

"Oliv." kata Lia terbata-bata, "Ha...habib."

"Apa kak?" tanya Oliv masih sesenggukan, dalam hati Oliv memberikan sumpah serapah kepada pihak rumah sakit yang terlalu lama mengirimkan ambulans.

"Maaf." kata Lia dengan nafas tersenggal.

"Harusnya Oliv yang minta maaf, aku yang salah." tangis Oliv semakin menjadi. "Kakak harus kuat ya, bentar lagi ambulansnya dateng."

Oliv terus berusaha mengajak Lia berbicara, dia tidak mau jika Lia sampai hilang kesadarannya. Sesekali dia menepuk pipi Lia pelan, profesinya sebagai dokter seakan tidak berguna jika menghadapi orang yang dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Sedangkan Lia, semakin lama matanya semakin berat. Sepertinya Lia sudah tidak kuat untuk bertahan, berkali-kali matanya ingin terpejam namun Oliv selalu mencegahnya. Yang Lia rasakan sekarang adalah tubuhnya yang semakin dingin, mungkin ini karena efek darahnya yang terkuras habis.

Oliv mendekati telinganya ke mulut Lia saat melihat kakak kelasnya itu terus mengucapkan sesuatu yang tidak didengarnya.

"Tolong bilangin ke habib, maaf." kata Lia terbata-bata, "Se...selamat tinggal."

Ucapan itu adalah kalimat terakhirnya sebelum Lia menutup kedua matanya rapat.

°°°
Tidak ada yang tau sampai kapan manusia akan bertahan di dunia ini. Maka ikhlaskanlah aku jika harus pergi lebih dulu.

Lia Farzana
°°°

Assalamualaikum readers😊
Aduh itu kesian banget ya Lianya:( terus apa kabar Faiz? Maafkan aku yang gak munculin Faiz disini😂

Btw tadi yang sayang-sayangan sama Lia siapa ya? Apa mungkin dia selingkuh?

Penasaran kelanjutannya? Jangan lupa pencet 🌟 Kritik dan saran sangat ditunggu ya:)

TFR💕

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang