19

618 37 0
                                    

Seminggu telah berlalu, seperti biasa Lia mengalami morning sicknes. Alhamdulillah tidak terlalu parah hingga tidak menyebabkannya malas makan, tapi suasana hatinya sangatlah muram. Disini Faizlah yang merasa pusing, ketika diajak bicara Lia hanya diam, tatapannya pun kosong. Hal yang dilakukan Lia hanya melamun, sesekali menangis sesekali ke taman belakang rumah untuk menenangkan diri.

"Udah cukup dek." kata Faiz yang membuat Lia mengerutkan keningnya, "Sampai kapan adek mau gini terus? Gak ada niatan buat cerita ke saya?" tanya Faiz bertubi-tubi.

Kejadian itu berputar lagi dalam memori Lia, bukannya menjawab dia malah menangis sesenggukan. Sebenarnya dia ingin menceritakan semuanya kepada Faiz, tapi kata-kata itu selalu tercekat di tenggorokannya. Bagaimanapun juga bukan hanya Lia yang sakit, Faizpun akan merasakan sakit yang sama jika mendengarkan cerita ini.

"Kalau adek belum siap cerita, saya bakal sabar menunggu." kata Faiz mengalah.

Sungguh Faiz tidak tega jika melihat wanita menangis, apalagi jika itu wanita yang disayanginya. Seperti biasa Faiz membawa Lia kedalam dekapannya, sesekali membelai rambutnya dan terakhir mengecup keningnya.

"Bib."

"Iya sayang?" jawaban Faiz kali ini membuat pipi Lia bagai kepiting rebus, untuk pertama kalinya kata itu terucap. "Aduh-aduh itu pipinya lagi pake blush on ya?" goda Faiz sambil menaik turunkan alisnya.

Merasa terciduk, Lia mencubit lengan suaminya. "Lia itu lagi sedih, malah digodain."

"Maaf deh, adek mau ngomong apa?" tanya Faiz tidak ingin melanjutkan aksi jailnya.

"Tapi janji gak bakal marah?" tanya Lia yang hanya dibalas oleh anggukan.

Flashback On

Lia POV

Seminggu yang lalu aku bertemu dengan dia, dia yang tidak aku harapkan kehadirannya, dan dia yang telah membuatku merasa terkhianati.

"Apa kabar?"

Dua kalimat itu membuatku muak, ingin sekali aku mencakar wajahnya namun akal sehatku masih berfungsi dengan baik. Mataku terus menatap tajam, aku sudah tidak tau lagi bagaimana ekspresiku saat itu. Otakku seakan mampet, ditambah mulutku yang sudah seperti ikan kekurangan air, mangap-mangap tak jelas.

"Kamu ngapain disini?" tanyaku pada akhirnya.

Dia diam seribu bahasa, tapi matanya terus menatapku. Demi apapun aku ingin mencongkel mata itu, setiap tatapan yang dia berikan selalu membuatku sesak. Sungguh aku muak!

"A...aku emm...."

"Pergi dari hadapan saya." kataku sinis.

Memang terdengar kejam, tapi semakin lama dia disini semakin dalam juga luka ini tergali. Luka ini telah lama aku pendam, berharap waktu akan menyembuhkannya, namun nyatanya sampai sekarang tetap menganga.

"Aku cuma mau ngejelasin Lia." katanya memohon.

"Saya tidak butuh penjelasan." kataku berusaha menahan bulir air yang sedari tadi menggenang di pelupuk mataku.

"Tapi kamu harus dengar, kamu-"

"Cukup!" kataku sedikit teriak, "Gak puas anda menyakiti hati saya? Apa kurang puas anda mempermalukan keluarga saya?" tanyaku.

Hancur sudah pertahananku sedari tadi, kini air mataku telah mengalir deras. Masa bodoh dengan tatapan orang yang sedang berlalu lalang, yang aku inginkan sekarang adalah orang dihadapanku ini enyah sekarang juga.

"Kali ini aja Lia, untuk terakhir kalinya" kata dia berusaha menggenggam tanganku, tapi pergerakan itu langsung aku tepis seketika.

Oh Allah, haruskah aku merasakan ini lagi? Bukankah aku sedang bahagia atas kehadiran calon bayiku? Mengapa tidak ditunda saja kejadian ini untuk beberapa tahun kedepan? Setidaknya lukaku tidak akan sedalam ini.

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang