14

662 43 4
                                    

Faiz POV

Pukul lima sore saya baru menginjakan kaki di teras rumah yang sejuk ini, memang mengajar di SMK membutuhkan sedikit tenaga ekstra karena jam pelajarannya yang lebih panjang, terlebih tadi ada salah satu siswi yang cidera atas keteledorannya sendiri.

Mengingat kejadian itu membuat saya semakin penat, rasanya saya ingin menikmati secangkir capucino ditemani dengan indahnya pemandangan senja. Tanpa membutuhkan waktu lama, saya segera membuat capucino dan berakhirlah saya di taman belakang rumah.

Langit berwarna jingga itu menciptakan ketenangan tersendiri bagi diri saya, hal itu selalu mengingatkan saya bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Keindahan senja itu kelak akan berganti dengan kegelapan yang sunyi dan menakutkan, namun gelapnya malam akan terganti dengan fajar disertai kokokan ayam.

Seringkali kita merasa, bahwa sesuatu yang menyakitkan seperti tak pernah usai. Layaknya waktu, jika semakin ditunggu maka akan semakin lama, namun jika kita menikmatinya maka akan cepat sekali waktu beranjak.

Saya menyeruput capucino, berusaha menikmati setiap rasa yang dihadirkan. Perlahan saya memejamkan mata dan menikmati semilir angin, namun hal itu tidak membuat pikiran saya teralihkan. Akhirnya saya mengambil sebuah gitar dan mulai memetiknya, perlahan-lahan terciptalah sebuah intonasi dari setiap nada yang saya berikan. Rasanya bibir saya gatal jika tidak ikut bernyanyi, kesendirian ini membuat saya merasakan berbagai macam rasa yang berbeda dalam satu waktu.

Jangan tanyakan perasaanku
Jika kamu tak bisa beralih
Dari masa lalu yang mengantuimu
Karena sungguh ini tidak adil

Entah mengapa saya ingin menyanyikan lagu ini, sepertinya sangat cocok dengan suasana hati saya selama ini.

Bukan maksudku menyakitimu
Namun tak mudah tuk melupakan
Cerita panjang yang telah aku lalui
Tolong yakinkan saja raguku

Bait selanjutnya membuat hati saya semakin pilu, hari ini mood saya benar-benar sedang diuji.

Pergi saja engkau pergi dariku
Biar ku bunuh perasaan untukmu
Meski berat melangkah hatiku hanya tak siap terluka

Saat saya kembali melantunkan lagu, seseorang menyentuh pundak saya, hingga akhirnya saya melihat siapa orang yang telah mengganggu ketentraman ini.

Beri kisah kita sedikit waktu
Semesta mengirim dirimu untukku
Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah

Bait terakhir kembali terdengar, namun itu bukan suara saya. Itu membuat saya tersadar bahwa bait kedua tadi tidak dinyanyikan oleh saya.

Dihadapan saya telah hadir Lia Farzana yang notabennya adalah istri saya, namun hingga saat ini saya belum merasakan sosok seorang istri. Tanpa sadar pandangan kami saling mengunci, kali ini saya tidak perlu takut lagi dengan dosa, karena memandangnya sekarang merupakan ladang pahala.

Sesaat kemudian saya mulai tersadar, ada yang berbeda dari penampilannya. Rambut hitam bergelombang sebahunya itu tergerai begitu saja, dia juga mengenakan dress merah meroon selutut, pemandangan indah yang saya nantikan selama ini. Masya Allah, dia sangat cantik. Apakah ini pertanda bahwa dia sudah membuka hatinya untuk saya?

***

Lia POV

Pak Faiz menatapku begitu intens, apakah ada yang salah dengan penampilanku? Atau apakah dia tidak suka dengan perubahanku ini?

"Emm... pak sebaiknya mandi dulu." kataku yang membuat lelaki dihadapanku ini melakukan pergerakan absurd.

"Adek udah mandi?" tanyanya yang hanya ku balas dengan anggukan.

Suamiku segera berlalu dan menyisakan aku bersama keheningan, aku berdoa semoga setelah ini kebahagiaan yang akan selalu menyelimuti keluarga kecilku. Sudah cukup aku terlena dengan bayangan masa lalu yang menyesakkan, sudah cukup pula aku menyiksa batin suamiku. Aku yakin Allah akan memudahkan urusan setiap hamba-Nya jika untuk kebaikan.

Sambil menunggu pak Faiz, aku memutuskan untuk ke ruang tengah sambil menonton televisi. Tanganku langsung berhenti mengganti saluran saat melihat ada film india lama, sejak kecil aku selalu menyukai film india yang sering di selingi oleh tarian-tarian, masa bodo dengan omongan teman yang mencaci seleraku yang jadul ini.

"Dek saya berangkat ke masjid ya."

Terlihat suamiku yang telah memakai baju koko putih, lengkap dengan peci, sarung dan juga sajadah yang telah tersampir di bahu. Biasanya aku langsung menyalaminya, namun kali ini ku tahan tangannya yang membuatnya melempar tatapan bingung.

"Pak, bo... boleh gak se... sekarang kita sholat berjamaah?" tanyaku sedikit gugup, aku bahkan tidak berani menatapnya.

"Masya Allah, tentu dek." jawabnya antusias yang membuatku bisa bernafas lega.

Aku segera mengambil air wudhu, seulas senyum terus terukir di wajahku. Rasanya aku telah resmi menjadi seorang istri, bahkan aku merasa bahwa hari ini status pengantin baru pantas disebutkan untukku, bukan saat beberapa minggu yang lalu.

Setelah keluar dari kamar mandi, aku melihat sajadah dan mukena yang sudah tertata rapih. Aku melihat pak Faiz yang telah duduk manis, saat sebuah kata akan terlontar suara adzan saling bersahutan yang membuatku urung.

Allahu akbar

Suara takbir bergema di sudut ruangan, hatikupun turut bergetar. Untuk pertama kalinya aku melaksanakan sholat berjamaah bersama sang suami, dan ini hanya berdua saja. Tidak ada bang Idan ataupun Ulfah yang menemani. Setiap rakaat aku lakukan dengan khusyu, dan setelah salam terdengar berakhir sudahlah sholat ini. Denga cepat aku mengambil tangan suamiku dan menciumnya, diapun mengecup keningku lama. Hal itu mengingatkanku pada saat ijab qobul telah dilaksanakan, rasanya masih tetap sama, selalu membuat hatiku bergetar dan tentram.

Suara isak tangis terdengar, aku tidak dapat membendung semuanya lagi.

"Ada apa dek?" tanya suamiku khawatir.

"Lia... Lia...." aku menggantungkan kalimat dan berusaha untuk menanangkan diri sendiri, "Waktu itu, demi Allah Lia telah ikhlas menerima pak Faiz sebagai suami Lia. Gak ada satupun penyesalan dalam diri Lia, karena Lia tau Allah maha tau mana yang terbaik untuk setiap hamba-Nya." lanjutku disela isak tangis.

"Maaf kalau selama ini Lia gak bisa jadi istri yang baik, maaf kalau selama ini Lia selalu nyakitin hati bapak, maaf kalau selama ini Lia-"

"Ssttt...." sebuah jari telunjuk mendarat di bibirku, seketika itu aku bungkam seketika.

"Adek gak salah, gak ada yang bisa disalahkan disini. Mungkin waktu itu kamu termakan dengan perkataan saya, saya juga minta maaf jika tanpa sadar telah menyakiti hati adek ya." katanya lembut yang membuatku semakin terisak.

Ya Allah begitu bodohnya aku, bisa-bisanya aku mengabaikan lelaki berhati lembut ini.

Dengan cepat dia memelukku, dalam dekapannya aku merasakan kehangatan. Aku menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya, semakin erat dekapan yang tercipta, semakin tentram pula perasaanku. Perlahan-lahan suara isakku mulai pudar, aku menikmati dekapannya. Saat langit perlahan mulai menghitam, ku habiskan waktuku untuk berada dalam dekapannya, tanpa bosan aku mencium aroma maskulinnya.

Malam ini aku telah membuka hatiku seutuhnya, dia yang telah ditakdirkan untukku, akan kuperlakukan dengan setulus hati. Dia yang telah resmi menjadi imamku, akan ku sambut dengan setulus-tulusnya. Dan pada detik ini pula dengan ikhlas aku menerimamu, Marhaban Habibku😊

°°°
Dengan mudah Allah membolak-balikkan hati manusia, dengan mudah pula Allah merubah kehidupan setiap hamba-Nya yang bertakwa. Maka dari itu, tak bisakah kita selalu bersyukur?
°°°

Assalamualaikum readers😊
Ceritanya end sampai sini aja ya? Udah happy jugakan merekanya😂

Coba deh comment, kalian mau cerita ini gimana?

1. Lanjut

2. Udah aja

Gereget gak sih?:v oke deh jangan lupa pencet 🌟
Kritik dan sarannya jangan lupa ya:)

TFR💕

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang