24

614 34 0
                                    

Tangan Ulfah bergetar hebat saat ingin mengetuk pintu yang ada dihadapannya, walaupun Zaidan berkata tidak akan terjadi masalah, namun tetap saja rasa itu selalu menyerang diri Ulfah.

"Sayang cepetan ketuk, itu kesian pintunya capek berdiri terus." kata Zaidan yang hanya dibalas dengan dengusan.

Perlahan tapi pasti Ulfah mulai menyentuh kenop pintu dan tampaklah seorang perempuan tengah terduduk dan memainkan layar ponselnya. Ibu jarinya sangat lihai mengetuk touch screen itu, entah apa yang sedang ia mainkan sampai-sampai tidak sadar jika ada orang lain yang memasuki ruangannya.

"Ya ampun Ulfah kamu kemana aja hm? Aku udah nunggu dari kemaren tapi kamu gak dateng-dateng. Apa kamu gak mau ngejenguk inces yang cantik jelita cetar membahenol ulala ini." cerocos perempuan yang mengenakan baju pasien saat melihat seseorang dari ekor matanya.

Antara kaget dan senang Ulfah hanya tersenyum kikuk, dia tidak menyangka akan mendapat sambutan seperti ini. Padahal dalam bayangannya dia akan mendapatkan segala macam omelan yang akan membuatnya semakin merasa bersalah, bahkan lebih parahnya lagi dia tidak akan dianggap sebagai kakak ipar.

"Tuh kan bengong, serasa ngomong sama patung di bunderan HI." ketus Lia.

Zaidan terkekeh mendengar omelan adiknya itu, dengan segera dia menghampiri adik kesayangannya dan memeluknya erat.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Zaidan, terlihat jelas rasa rindu yang terselubung dibalik sorot matanya.

"Allhamdulillah bang, ini Lia sehat walafiat. Bahkan emak-emak kalah strong dibandingkan Lia mah." jawab Lia semangat.

Tawa Zaidan lepas seketika, walaupun Lia tidak tahu dimana letak kelucuannya tapi dia tetap tertawa agar abangnya itu merasa dihargai, mungkin saja selera humornya sedang rendah.

Lima belas kemudian kedua kakak beradik itu menghabiskan waktunya untuk saling bertukar cerita, dan untuk saat ini Lia lebih banyak terdiam. Karena hampir dua bulan dia hanya tertidur, memang sesekali dia mendengar suara-suara yang memanggilnya. Tapi itu semua antara nyata ataupun ilusi, pada saat itu memang Lia tidak dapat memastikan apakah semua yang didengarnya itu berasal dari orang yang dimaksud atau hanya khayalannya semata.

Setelah lelah berbicara, Zaidan memutuskan untuk keluar ruangan dan membiarkan kedua perempuan itu membuat kehebohan sendiri, karena jika Zaidan ada diantara mereka sudah dapat dipastikan bahwa dirinya akan menjadi obat nyamuk.

"Lia, maaf." lirih Ulfah saat melihat suaminya benar-benar hilang dari balik pintu.

Lia mengernyit bingung dan menuntut penjelasab dari kakak sekaligus sahabatnya itu.

"Kalau aku gak telat pasti kamu gak akan gini." kata Ulfah sembari tertunduk.

Lia yang melihat raut wajah suram itu langsung menyuruh Ulfah untuk mendekat, "Hei disini gak ada yang salah. Ini semua udah jadi takdir Allah, baik aku, kamu ataupun semua orang harus menerima qadarullah dari-Nya."

Ulfah menatap manik mata Lia, terdapat ketulusan disana. Hatinya menghangat saat mendengar perkataan itu, bukannya diantara sahabat tidak ada kata maaf dan terimaksih? Mungkin rasa kasih sayang yang saling mereka berikan sudah lebih dari cukup untuk membuat fondasi yang bernamakan sebuah kepercayaan, hingga terbangunlah sebuah rasa saudara tanpa ikatan darah.

***

Sepulang dari toko buku, Faiz memutuskan untuk membeli salad buah dan sayur untuk di konsumsi oleh istrinya, tak lupa satu botol susu dan air putih turut hadir untuk menambah gizi dan nutrisi. Keingina Faiz kali ini hanyalah melihat istrinya cepat sembuh lalu dapat keluar dari rumah sakit itu.

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang