21

571 36 0
                                    

59 hari kemudian

Faiz berjalan dengan lunglai saat melewati setiap koridor, setumpuk rasa menyesal terus menghantui dirinya. Wajahnya kusut, kumisnya yang biasanya tipis kini dibiarkan begitu saja, jambangnya dia biarkan tak terurus, kantung matanya yang membesar tidak pernah dia hiraukan. Jika memang dia harus menukarkan nyawanya, itu akan rela dia lakukan agar kekasih halalnya itu dapat bangun dari tidur panjangnya.

"Faiz sebaiknya kamu pulang dulu." suara Zaidan membuat Faiz dapat mengalihkan pandangannya.

"Saya tidak akan meninggalkan Lia." kata Faiz datar.

Untuk kesekian kalinya Zaidan menghela nafas, rupanya adik iparnya ini memiliki sifat keras kepala. Rasanya percuma saja jika harus membujuknya, pasti usaha yang Zaidan lakukan tidak akan menghasilkan apapun.

"Maaf."

Satu kata itu membuat kedua pria menatap si empunya suara, sedangkan yang ditatap menunduk dalam. Dia tidak kuasa jika mendapatkan tatapan dingin Faiz, tapi dia juga tidak dapat membiarkan hatinya diliputi oleh rasa bersalah.

"Harusnya aku lebih cepat dateng, tapi aku malah nyantai di rumah. Aku gak tau kalau Lia, di...dia-"

"Sttt...." Zaidan memotong percakapan istrinya dan segera membawanya ke dalam dekapan.

Ulfah selalu merasa kalau Lia seperti ini karena keterlambatan dirinya, hampir sebulan penuh dia merasa berdosa, apalagi Faiz seperti tidak memaafkan dirinya. Walaupun berkali-kali Zaidan mengatakan bahwa ini semua bukan salahnya, tapi lagi-lagi hatinya berkata lain. Entahlah mana yang harus Ulfah percaya, tapi hati kecilnya tidak mungkin ingkar.

"Keluar." lirih Faiz.

Sungguh kali ini Faiz tidak dapat melihat kemesraan kakak iparnya, lagi pula bagaimana bisa? Saat istrinya sedang terkapar tak berdaya, banyak sekali pasangan yang bermesraan dihadapannya seolah sedang mengolok-ngolok dirinya.

"Abang bisa jagain Lia."

"Saya bilang keluar!" suara Faiz sedikit meninggi.

Zaidan dan Ulfah menatap Faiz tak percaya, untuk pertama kalinya mereka melihat sisi lain dari adik iparnya. Katakanlah kondisi Faiz sekarang buruk, tapi nyatanya keadaan yang sebenarnya sangatlah mengenaskan. Tidak ada yang tau bagaimana pastinya suasana hati Faiz.

"Istighfar."

Satu kata itu membuat Faiz terduduk lesu, kakinya tidak kuat lagi untuk menopang tubuhnya. Faiz mengusap wajahnya kasar, rambut kusutnya dia acak-acak hingga terlihat semakin berantakan.

"Tenang, cobalah bersabar." Ulfah memberanikan diri.

"Bagaimana bisa?" teriak Faiz yang membuat Ulfah memeluk suaminya, "Tolong hargai perasaan saya." lanjut Faiz dengan suara melemah.

"Abang tau bagaimana perasaan kamu, abang juga tau-"

"Gak ada yang tau perasaan saya! Jika kalian tau, mana mungkin kalian tega bermesraan dihadapan saya. Jika kalian tau mana mungkin kalian berandai-andai tentang bayi dalam kandungan Ulfah sedangkan permata yang saya nantikan telah tiada!" emosi Faiz kian menjadi.

Zaidan yang paham situasi mengajak istrinya untuk keluar ruangan, mungkin kali ini Faiz membutuhkan waktu untuk sendiri. "Ambil wudhu biar hati kamu tenang, sholatlah." katanya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.

***

Lia POV

Rumput hijau menghampar luas di setiap tempat yang aku pijaki. Entah ini tempat apa, tapi setiap aku melangkah pasti pemandangan indah yang selalu terlihat. Jujur aku sangat betah berada disini, suasananya sangat menenangkan, hawanya sejuk dan yang pasti terbebas dari polusi. Tempat ini sangat hijau, di setiap sudut ada berbagai macam tumbuhan, mulai dari pepohonan sampai tanaman hias.

Marhaban Habib [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang