"Bahkan hati sekeras batu pun dapat luluh karena secercah cahaya dari biji matamu"
Hari Senin pukul 07.00 tepat, bel sekolah pun berbunyi yang menandakan tanda masuknya kembali para siswa setelah menghabiskan akhir pekannya di rumah.
"Gue harus cari tau siapa yang naro ini!" Ucap Ita kesal.
Lagi lagi kertas yang bertuliskan tulisan berwarna ia temukan di kursinya.Jangan gegabah perihal
masalah hati. Jangan
ceroboh mengenai hal
yang berkaitan dengan makna
rasa. Karena menjaga
rasa agar tetap utuh tak semudah
menemukan embun segar
dipagi hari.Itulah tulisan yang Ita temukan pagi ini. Dirinya pun tak habis akal untuk mencari tahu seseorang yang berani memberikan pesan pesan berupa peringatan yang berkaitan dengan kisah cinta Ita ini.
Pesan yang tertulis dalam kertas kertas tersebut memang sangat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ita pun mengurungkan emosinya kala itu yang sebenarnya sudah memuncak, namun dirinya tak bisa mencurahkan seluruh emosinya karena ia memang belum mengetahui siapa yang memberikan ini padanya setiap pagi hari dan selalu berhasil membuatnya kesal di awal harinya.
"Intan, boleh bapak bicara sama kamu sebentar?" Ucap Pak Hasan selaku guru bahasa Indonesia yang selalu berpenampilan rapih itu.
"Oh iya pak, ada apa ya?" Tanyanya kembali, berharap bukan hal buruk yang ingin disampaikan oleh gurunya.
"Bapak perhatikan kamu lebih memiliki potensi dibanding teman teman di kelas kamu. Minggu depan ada lomba cipta puisi, bapak mau kamu jadi yang mewakili SMA Cahya Pelita ini ke tingkat kota di Jakarta" jelas Pak Hasan.
"A-apaa pak? Saya ikut cipta puisi di Jakarta?" Tanyanya kembali memastikan bahwa apa yang ia dengar itu tak salah.
"Iya, bagaimana? Kamu bersedia?" Tanya Pak Hasan meyakinkan dirinya.
Intan yang mendengar bahwa lomba itu diadakan di Jakarta pun berpikir bahwa ini merupakan kesempatan baginya untuk mencari ayahnya disana. SMA Cahya Pelita ini berada di Tanggerang yang sebenarnya memang membutuhkan waktu cukup lama untuk pergi ke Jakarta.
"Saya mau pak! Makasih ya pak udah mempercayai saya" ucapnya sembari menyalami Pak Hasan sebagai tanda terimakasihnya.
Dirinya merasa bahagia bukan karena ia terpilih mewakili sekolahnya, namun karena dirinya memiliki kesempatan untuk membuka lebar pintu peluang agar dapat bisa bertemu kembali dengan ayahnya.
"Kamu bisa latihan bikin puisi dirumah kok, bapa yakin kamu bisa lakuin ini semua tanpa bantuan dari bapak. Kebetulan tema puisinya tidak ditentukan, jadi kamu bebas ambil tema apa aja yang menurutmu bagus" ucap Pak Hasan dengan nada yang sangat yakin pada dirinya.
Intan memang salah satu anak yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan teman temannya dalam berbagai bidang pelajaran. Maka tak heran jika dirinya diminta untuk mewakili sekolahnya lomba keluar.
"Ta, ayo ke kantin! Ajaknya pada Ita yang tengah membereskan buku di mejanya saat bel istirahat berbunyi.
"Ayo Ntan" sahutnya sembari menggandeng Intan menuju ke arah kantin. Ita menggandeng Intan yang masih belum bisa berjalan terlalu cepat akibat kejadian kala itu di depan sekolah.
"Lo masih belum sembuh? Butuh gue obatin? Atau lo cuman butuh gue temenin supaya kaki lo sembuh?" Ucap seseorang dari belakang mereka berdua yang tengah memakan semangkok bakso dimeja kantin. Ya! Orang itu adalah Bisma yang sedari tadi telah memerhatikan keduanya.
"Lo masih belum bilang makasih ke gue. Dan lo utang kebaikan ke gue!" Ledek Bisma pada gadis tersebut.
Namun, ada yang berbeda dengan Intan kali ini. Dirinya tidak langsung menampilkan wajah kesalnya yang biasa ia berikan setiap kali pria tersebut datang dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang 'Makna'
Romantizm"Dasar Gadis Misterius!" Ya! Gadis yang penuh dengan tanda tanya itu berhasil membuat seorang pria bernama Bisma luluh karenanya. "Gue calon suami lo". Kalimat ini sering didengar namun tak dapat meruntuhkan hati Intan yang keras karena suatu miste...