One

120 9 3
                                    

Langit subuh berwarna abu-abu adalah hal pertama yang kulihat saat aku membuka mata. Kemudian ketika pandanganku mulai terfokus, aku melihat dinding-dinding tak berwarna yang suram menjulang di sisi kanan dan kiri. Aku menarik nafas panjang. Rasanya sakit sekali.

Apa yang kulakukan di sini? Hal terakhir yang kurasakan adalah aku terbaring di atas jalan yang dingin, lembab, dan cukup bau. Sungguh. Apa yang kulakukan di sini?

Dengan susah payah aku mencoba bangun. Setiap gerakan yang kulakukan membutuhkan usaha lima kali lipat karena seluruh tubuhku terasa sakit. Saat aku berhasil duduk, aku mengamati tubuhku. Aku memakai mantel tebal sepanjang lutut berwarna cokelat yang sekarang sudah tercoreng lumpur di beberapa tempat, celanaku juga dalam kondisi yang sama. Selain baju yang menempel di tubuhku, aku tak menemukan barang lain di sekitar yang menandakan bahwa itu milikku.

Lalu aku meraba kepalaku, menekannya di beberapa tempat, memekik kesakitan saat tanganku menekan benjolan di belakang kepala. Oke. Kau di sini, kau terluka, kau tidak ingat bagaimana kau di sini. Baik, tidak masalah. Sekarang bisakah kau berdiri? Ayo, berdiri.

Aku memerintahkan diriku untuk berdiri. Kabar baiknya aku bisa melakukannya. Kabar buruknya adalah dunia terasa berputar ketika aku berhasil berdiri dan seketika aku memuntahkan isi perutku. Ini tidak bagus, pikirku saat aku sudah selesai muntah. Kepalaku benjol dan sekarang aku muntah. Seluruh tubuhku gemetar. Bukan karena dingin tapi karena aku merasa begitu lelah. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku sendiri. Aku tidak akan mati di tempat ini. Tidak. Aku menolaknya. Gagasan yang sangat tidak masuk akal.

Sekarang apa? Aku berjalan pelan ke pinggir, menyandarkan tubuhku di dinding namun tidak merosot untuk duduk. Kupikir jika aku duduk, aku tidak bisa bangun lagi. Aku cukup kuat untuk berdiri dan itulah yang aku lakukan. Menarik nafas panjang beberapa kali, aku memejamkan mata, mencoba mengingat mengenai siapa diriku dan bagaimana aku bisa berakhir di tempat ini.

Namaku Jardine Roxen. Ah ya, benar! Itu namaku. Usiaku 19 tahun. Aku tinggal di—pemikiranku terputus. Dimana? Dimana aku tinggal? Apakah aku sekarang kuliah? Atau aku bekerja? Siapa nama orang tuaku? Dimana? Dimana? Aku membuka mata dengan cepat. Mengapa aku tidak bisa mengingat apapun selain namaku? Namun aku tidak menyerah, aku tetap berusaha mengingat.

Tapi begitu aku mencoba mengingatnya, kepalaku mendadak pusing sekali. Semua ingatanku hanya berkelebat begitu cepat dan bersinar terang. Aku menghentikan diriku untuk mengingat apapun karena rasanya kepalaku akan pecah.

Kepanikan mulai menguasaiku. Aku merogoh ke dalam kantung yang ada di mantel maupun di celanaku, berharap aku bisa menemukan identitas yang bisa menunjukkan dimana rumahku sehingga aku bisa pulang.

This is useless. Aku tidak menemukan apapun. Aku mengingatkan diriku untuk tenang, kepanikan hanya akan membuatku tidak berguna. Baiklah. Tenangkan dirimu, Jardine. Kau bisa berjalan dan menemukan bantuan. Oke. Yeah, begitu. Maka dengan perlahan aku mendorong tubuhku dari dinding dan mulai berjalan. Satu langkah. Dua langkah. Untungnya aku masih ingat bagaimana caranya berjalan. Meskipun rasanya aku ingin berhenti saja dan menyerah.

Setelah berjalan menyusuri gang kumuh itu dengan penuh penderitaan, akhirnya aku menemukan beberapa rumah di ujung gang. Rumah yang hampir sama kumuhnya dengan gang tersebut. Tapi tidak masalah, rumah-rumah itu tampak berpenghuni.

Aku berhenti berjalan ketika pintu rumah di sebelah kananku terbuka, menampakkan seorang wanita setengah baya dengan kulit sewarna zaitun dan rambut cokelat yang diselingi uban. Wanita itu menatapku heran.

"Hey, nak. Apa kau tersesat?" tanya wanita tersebut dengan ramah.

Aku berjalan mendekat ke pintu tersebut, "Madam, aku—aku tidak tahu bagaimana aku bisa berakhir di sini, aku kehilangan barangku dan aku tidak ingat apapun selain namaku. Bisakah Anda menolongku?"

Wanita itu tampak skeptis. Well, aku tidak menyalahkannya. Lagipula jika aku melihat seorang gadis dengan pakaian kotor muncul begitu saja di gang rumahku dan mengatakan bahwa dia tidak ingat apapun, aku tidak akan percaya. Siapa yang bisa menjamin bahwa aku bukan penjahat? Oh. Ini tidak membantu. Aku butuh pertolongan dan yang kulakukan malah membayangkan skenario lain.

"Begitu." Wanita itu keluar dari pintunya dan tersenyum, "Aku tidak tahu bagaimana harus menolongmu, nak. Tapi sebentar, siapa namamu?"

Aku lega karena wanita itu setidaknya berusaha untuk bersikap ramah dan bukannya menendangku dari pintu rumahnya, "Jardine Roxen, Madam."

"Roxen?" Dahi wanita itu berkerut, "Aku tidak pernah mendengar nama itu di sekitar sini. Mungkin kau berasal dari bagian London yang lain? Tapi tidak masalah. Aku Jeno Rivendell. Mari, silahkan masuk."

Aku terdiam sejenak. London? Jadi aku di London? Tapi ini London bagian mana? Kenapa begitu suram? Aku bukan di East End kan? Aku bergidik ngeri membayangkan aku ada di East End. Lebih baik aku bertanya pada Mrs. Rivendell mengenai lokasi tempat ini, "Um, Mrs. Rivendell?"

"Yeah?"

"Aku minta maaf sebelumnya. Tadi Anda mengatakan ini di daerah London, bukan? Ini dimana?"

Mrs. Rivendell memandangku agak bingung, seolah pertanyaanku adalah hal yang tidak perlu dijelaskan lagi, "Dimana? Kau tidak tahu? Ini Soho, Jardine."

Soho? Mataku sejenak berkeliling memandang daerah itu. Gelap dan agak kumuh. Mungkin aku lupa dimana rumahku, mungkin juga aku masih mengalami disorientasi sehingga tidak ingat apa yang terjadi padaku, tapi aku jelas tahu bahwa Soho bukanlah tempat sesuram ini.

Bukankah Soho salah satu daerah elit di London? Bukankah Soho tempat dimana kau bisa menemukan restoran mewah dan tempat hiburan? Aku tidak tahu apakah Mrs. Rivendell mencoba untuk menipuku atau apa.

"Soho, Madam? Tapi ini tidak terlihat seperti Soho."

Saat aku memandang wajah Mrs. Rivendell, aku tahu bahwa ucapanku barusan keterlaluan. Betapa bodohnya aku. Tentu saja ini bisa di Soho, mengapa tidak? Tidak semua orang hidup bergelimang harta dan punya rumah bagus, Jardine! Kau tentunya bisa mengontrol mulutmu!

Sebelum aku bisa mengucapkan permintaan maaf atas kelancanganku, Mrs. Rivendell sudah menjawab, "Oh, Jardine. Setiap sisi terang selalu ada sisi gelapnya, bukan? Nah inilah sisi gelap dari Soho. Semoga kau tidak keberatan."

*****

Hello, all! Selamat membaca cerita baru dari saya! Cerita ini sudah lama sekali terlantar di hp dan beberapa teman sudah bolak-balik meminta saya untuk melanjutkannya... so I did it!

Don't forget to click the vote and follow buttons over there! Don't forget to leave a comment, too;) Happy reading!

P.S : Saya publish 5 chapter sekaligus karena kemungkinan cerita ini akan slow update.

DO YOU EVER WONDER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang