"Dad?"
"Yes?"
Aku memutar sendok teh yang ada di depanku, "Boleh bertanya sesuatu?"
"Tentu."
Dua hari yang lalu aku melontarkan kata-kata yang seharusnya tidak kuucapkan pada Gale Rivendell. Tidak peduli betapa menyebalkannya dia, aku tahu aku sudah kelewatan. Mengatakan padanya bahwa dunia akan lebih baik tanpa dia sama saja dengan aku secara tidak langsung menyuruhnya untuk mati. And I feel bad. I feel really bad about that.
"Bisakah seseorang marah pada orang lain selamanya?" Rasanya kata marah kurang tepat untuk menggambarkan perasaan Gale Rivendell padaku sekarang, jadi aku meralat pertanyaanku, "Maksudku—bisakah seseorang benci pada orang lain selamanya?"
Gale Rivendell memang berkata bahwa ruang di otaknya sudah tidak cukup untuk menciptakan rasa benci untukku. Tapi setelah ucapanku yang keterlaluan, kupikir seluruh ruang di otaknya sekarang khusus diperuntukkan untuk membenciku.
Kernyitan muncul di antara kedua alis Dad, "Kau bertengkar dengan kakakmu?"
"Tidak. Bukan dengan Shane." jawabku, tapi Dad terlihat skeptis, "Sungguh, Dad. Aku tidak bertengkar dengan Shane."
"Hmm," Dad terlihat mempertimbangkan jawaban yang akan diberikannya, "Sebenarnya aku pun tidak tahu, Jardine. Tapi jika kau tanya bisakah aku membenci seseorang selamanya, jawabanku adalah tidak."
Aku berhenti memutar sendok teh dan menunggunya menjelaskan lebih lanjut. Sejak aku masih kecil, aku selalu menceritakan setiap masalahku pada Dad. Karena tidak seperti Mum, Dad tidak pernah menutup-nutupi sesuatu dariku. Saran atau jawaban yang dia berikan selalu sederhana, jujur, dan apa adanya.
"Mungkin di suatu saat, kita bisa merasa sangat marah pada seseorang dan kita akan berteriak, aku tidak akan pernah memaafkanmu, aku membencimu, kuharap kau mati saja. Hal itu sudah biasa kita lakukan. Tapi secara tidak sadar, seiring berjalannya waktu kita akan melupakannya. Kita bahkan tidak akan ingat mengapa kita menjadi marah hingga membenci seseorang. Di masa yang akan datang, semua itu tidak menjadi masalah lagi. Meskipun beberapa orang mungkin tidak akan melupakan kejadian tersebut, tapi percayalah, hal itu sudah tidak penting lagi."
Kemudian Dad menambahkan, "Aku pernah seperti itu di masa mudaku. Aku benci semua orang, aku benci diriku sendiri. Tapi waktu berlalu dan aku menyadari, membenci seseorang atau bahkan membenci diriku sendiri menghabiskan tenaga. Membenci seseorang, marah pada seseorang, menyakiti orang lain, semua itu melelahkan. Bukan hanya mental, tapi juga fisik. Di saat itulah, tubuh akan membuat kita melupakan segala hal yang melelahkan dan saat itulah, kau akan merasa paling damai dalam hidupmu. Jadi, yeah... kurasa, Jardine, membenci orang lain bukan hal permanen yang akan berlangsung selamanya. Hanya sementara, karena kau tahu, tidak ada yang abadi di dunia ini."
Jawaban Dad selalu memberiku ketenangan. Walaupun aku tidak tahu apakah Gale Rivendell juga memiliki pemikiran yang sama seperti ayahku, tapi yang jelas, aku sudah lebih tenang sekarang. Memang benar yang dikatakan Dad, marah dan benci terus menerus hanya membuang tenagamu. Lebih baik lakukan sesuatu yang bermanfaat. Menyimpan amarah dan kebencian hanya akan menumpuk racun dalam darahmu. Sangat tidak baik untuk kesehatan.
Aku tersenyum lega, "Always the fantastic one. Terima kasih, Dad. Kau memang yang terbaik."
Dad menepuk dadanya bangga dan terkekeh, "That I do! Hei, jika kau tidak keberatan, bolehkah aku tahu dengan siapa kau bertengkar?"
"Gale Rivendell," jawabku.
"Oh, pemuda dari Soho yang menolongmu itu?"
"Bukan dia yang menolongku, tapi ibunya," ucapku mengoreksinya.
Dad mengangkat bahu, "Sama saja bukan?"
Padahal aku sudah bercerita padanya bahwa Gale Rivendell tidak menyukai kehadiranku di rumah mereka.
"Kau lupa, Dad? Dia tidak suka padaku."
"Dan kalian bertengkar karena itu?"
Well, awalnya memang aku dan Gale Rivendell bertengkar hanya karena rasa tidak sukanya padaku yang tidak beralasan. Tapi pertengkaran sebelumnya tidak pernah sampai membuatku lepas kendali dan mengatakan hal-hal yang kukatakan pada Gale Rivendell dua hari lalu.
"Hei," panggil Dad, "Kau bisa cerita padaku, nak."
Aku menghembuskan nafas panjang, "It's complicated."
Kemudian aku menceritakan kejadian dua hari lalu padanya. Dad mendengarkan dengan seksama, sama sekali tidak menyela ceritaku. Meskipun beberapa kali dia memberiku pandangan tidak setuju dan gelengan kepala yang menandakan bahwa aku kelewatan dalam bersikap. Setelah cerita itu selesai, aku diam menatapnya penuh harap. Aku butuh Dad untuk mengatakan padaku bahwa semua ini tidak akan menjadi masalah lagi di masa yang akan datang.
Namun yang Dad katakan adalah, "Jardine, that's not a nice thing to say."
Tentu saja! Aku tidak perlu diingatkan bahwa yang kukatakan merupakan hal yang buruk.
"I know, Dad. And I feel terribly bad."
"Tapi aku tidak menyalahkan sikapmu itu. Yeah, yang kau katakan padanya sangat tidak bisa dibenarkan. Walaupun begitu, sikapnya padamu juga sama tidak baiknya. Jardine, mungkin kau harus belajar mengendalikan amarahmu dengan Shane. Itu bisa menjadi bumerang dan akan menyusahkanmu suatu hari nanti." ucap Dad, menepuk punggung tanganku penuh pengertian.
Alasan lain mengapa aku lebih memilih menceritakan masalahku pada Dad, dia selalu berusaha untuk tidak menghakimiku maupun berpihak pada satu sisi.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat itu. Melihatnya sakit hati justru mendorongku untuk menyakitinya lagi," jelasku.
Dad mengangguk paham, "Terkadang, ada kepuasan tersendiri ketika kau berhasil menyakiti seseorang, entah secara verbal maupun fisik. Kepuasan sadis, perasaan berkuasa bisa membuatmu ingin terus menyakiti orang tersebut. Itu tidak benar, tapi bisa dipahami karena begitulah manusia. Tidak ada manusia yang benar-benar baik dan benar-benar jahat. Manusia itu abu-abu."
Manusia itu abu-abu. Benar sekali. Di balik sikapnya yang sinis padaku, Gale Rivendell memiliki sisi lain yang jarang diperlihatkan. Salah satunya adalah rasa sayang tak terhingganya pada Mrs. Rivendell.
"Menurutmu, apakah Gale Rivendell akan memaafkanku, Dad?" tanyaku memecah keheningan yang menggantung di udara.
Dad menelengkan kepalanya padaku, "Well, kenapa kau tidak memberitahuku? Apa menurutmu Gale Rivendell akan memaafkanmu, Jardine?"
"Aku tidak tahu, Dad. Jika aku tahu, aku takkan bertanya padamu."
Untungnya Dad tidak tersinggung dengan jawabanku yang kurang ajar itu. Bahkan dia berpura-pura tidak mendengarnya.
Dad mencondongkan tubuhnya padaku dan berujar, "Kalau kau tidak tahu, maka carilah jawabannya."
Aku menatap Dad yang mengedipkan sebelah matanya padaku. Kalau kau tidak tahu, maka carilah jawabannya. Aku mengulang kalimat itu di kepalaku. Carilah jawabannya... tapi bagaimana? Kalau kau tidak tahu... carilah—kalau kau tidak...
Pemahaman itu memasuki kepalaku satu menit lebih lambat daripada yang diharapkan Dad. Tentu saja begitu! Kalau aku tidak tahu, maka aku harus mencari jawabannya. Dan cara mencari jawabannya adalah dengan mendatangi Gale Rivendell dan meminta maaf padanya.
"Dad! Kau benar!" teriakku bersemangat, aku berdiri dan mengambil mantelku, "Kau jenius! Aku harus pergi—terima kasih, Dad. Bye, bye. I'll tell you all about it later."
Lalu aku berlari ke pintu depan dengan terburu-buru. Sebelum pintu menutup, aku mendengar suara Dad yang mengatakan, "Hati-hati, nak. Telepon aku jika—"
Pintu tertutup di belakangku. Aku melesat ke jalanan di bawah langit yang gelap.
*****
Don't forget to click the vote and follow buttons over there! Don't forget to leave a comment, too;) Happy reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
DO YOU EVER WONDER?
Fiction générale"Pernahkah kau bertanya-tanya apa jadinya dunia ini tanpa dirimu, Gale? No?" Jardine Roxen terbangun di Soho tanpa mengingat bagaimana dia berakhir di tempat itu. Dan Gale Rivendell tidak menyukai kehadiran Jardine yang dianggap mengusik hidupnya. ...