Aku menuju pintu depan lima belas menit kemudian. Gale Rivendell berdiri memunggungiku di depan rumahnya sambil merokok. Dengan wajah masam aku keluar dan berdiri di sampingnya, "Ayo."
Gale Rivendell rupanya tidak mendengarku datang, dia agak terkejut ketika mengisap rokoknya. Lalu dia menoleh dan terbatuk, meniupkan asap rokok tepat ke wajahku.
"Hei—" aku memprotes sambil mengibaskan tangan di depan wajahku—"Apa kau gila?!"
Gale Rivendell terlalu sibuk terbatuk. Aku bisa melihat asap rokok keluar dari hidung dan mulutnya. Meskipun aku benar-benar sebal karena dia meniupkan asap rokok ke wajahku, dalam hati aku meledeknya. Rasakan, batinku. Yeah, aku tahu aku terdengar tidak berperasaan, tapi aku memang tidak punya kesabaran lagi untuk menghadapi pemuda ini.
Setelah batuk-batuknya mereda, Gale Rivendell melemparkan sisa rokok ke tanah dan menginjaknya. Dia mendongak, memberiku pandangan mematikan, "Fuck you," dan berjalan pergi dengan langkah panjang.
Aku mengikutinya dengan setengah berlari. Mungkin karena keinginanku untuk membalas perkataannya, aku bisa menyusul langkahnya dengan cepat. Ketika akhirnya aku berhasil menjajari Gale Rivendell, kudorong dia ke samping. Aku tidak menyangka dia akan terhuyung dan akhirnya berhenti. Aku ikut berhenti. Nafasku memburu. Gale Rivendell memberiku tatapan tajamnya lagi (sudah tak terhitung berapa ratus kali), namun aku tidak peduli.
"Apa-apaan kau?" ucapnya.
Aku memberinya tatapan penuh dendam, "You know what? Fuck yourself, Gale Rivendell."
"Apa masalahmu?"
"Aku tidak punya masalah denganmu! Kau yang sepertinya mencari masalah denganku. Sejak awal aku datang, kau memusuhiku, kau menyebutku slag, kau selalu menatapku seolah kau ingin menghilangkanku dari tempatku duduk atau berdiri, dan kau—" aku menunjuknya dengan emosi, "Kau membenciku. Kenapa kau begitu membenciku?"
Saat ini aku tidak peduli jika ada tetangga Mrs. Rivendell yang merasa terganggu karena mendengar teriakanku, aku pun tidak peduli bahwa seharusnya sekarang aku berjalan menuju Euston Road dan mencari rumahku, aku bahkan tidak peduli jika Gale Rivendell akhirnya kehilangan kesabaran dan menamparku. Aku sadar keberadaanku di rumah mereka memang merepotkan, tapi apakah itu membuatnya harus membenciku?
"Kau pikir aku membencimu?" tanya Gale Rivendell, nadanya mengejek, "Hate is a strong word, Jardine Roxen. Aku tidak punya alasan untuk membencimu. Tidak ada untungnya buatku. Kau pikir aku masih punya cukup ruang di otakku untuk menciptakan rasa benci padamu?"
"Kalau kau tidak membenciku, kenapa kau bersikap seperti itu padaku?"
"Oh, coba pikir," Gale Rivendell memegang dagunya dan pura-pura berpikir, "Apa kau akan merasa senang jika tiba-tiba saja seorang gadis yang asalnya entah darimana berada di rumahmu dan mengatakan bahwa dirinya lupa ingatan? Apa kau akan merasa senang jika hidupmu yang susah semakin susah karena ada satu lagi mulut yang harus diberi makan? Apa kau akan merasa senang jika ketenangan di rumahmu terusik karena adanya gadis itu? Hm?"
Aku tidak menjawabnya karena Gale Rivendell memang tidak membutuhkan jawaban. Dia hanya ingin membuatku merasa bersalah dengan datang di hidupnya.
Gale Rivendell menurunkan tangannya dari dagu dan sedikit membungkukkan tubuhnya padaku, "Bagaimana menurutmu? Apa kau akan senang? Biar kuberitahu, aku sama sekali tidak senang."
Dia pikir aku senang, begitu?
"Kau pikir aku menginginkannya? Aku juga tidak ingin datang ke hidupmu, Gale fucking Rivendell. Aku tidak berniat datang ke sini dan membenturkan kepalaku di aspal. Aku tidak berniat untuk lupa ingatan. Kau pikir aku senang merasakan kepalaku berdenyut setiap aku ingin mengingat sesuatu?"
Senyum dingin terbentuk di wajah Gale Rivendell, "Lalu, kau pikir aku peduli?"
Semua simpati yang kurasakan padanya semalam menguap tak bersisa. Aku menyadari bahwa mungkin saja ini adalah caranya untuk menutup diri dari orang asing sepertiku. Tapi caranya mengatakan jika dia tidak peduli pada apa yang kurasakan membuatku muak. Selfish bastard. Tenggorokanku terasa tercekat, aku mengerjapkan mata beberapa kali. Tidak. Gale Rivendell tidak layak untuk kutangisi. Air mataku terlalu berharga untuk itu. Jadi aku hanya menatapnya.
Senyum dingin di wajah Gale Rivendell berganti menjadi senyum puas. Lihatlah, dia begitu puas telah berhasil membuatku sakit hati. Aku menahan diri untuk tidak mengumpatinya dengan berbagai macam sumpah serapah yang bisa membuat orang tuaku pingsan, karena aku tahu jika aku bersuara sedikit saja, yang keluar bukanlah bentakan. Tetapi suara gemetar mirip rengekan yang terjadi saat kau menahan tangis. Aku tidak ingin merendahkan diriku sendiri di hadapan Gale Rivendell.
Kupikir dia akan kembali ke rumahnya, namun dia melanjutkan berjalan menuju ke arah sebelum aku mendorong dan mengkonfrontasinya. Dengan suara yang masih mengandung kepuasan karena berhasil menyakitiku dan tanpa menoleh, dia berkata, "Cepatlah. Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu, sweetheart."
Seandainya ada batu di sekitarku, sudah pasti aku akan melemparkannya ke kepala Gale Rivendell. Aku mengepalkan kedua tanganku dan memejamkan mata beberapa saat. Kemudian menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan diri.
Benar, pemuda sialan itu memang berhasil menyakitiku. Tapi apa aku merasa kalah? Tentu saja tidak. Maka aku berjalan di belakangnya.
*****
Menulis karakter Gale Rivendell entah kenapa mengasyikkan sekali.
I have a thing for bad boys, I guess. Haha.
Don't forget to click the vote and follow buttons over there! Don't forget to leave a comment, too;) Happy reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
DO YOU EVER WONDER?
General Fiction"Pernahkah kau bertanya-tanya apa jadinya dunia ini tanpa dirimu, Gale? No?" Jardine Roxen terbangun di Soho tanpa mengingat bagaimana dia berakhir di tempat itu. Dan Gale Rivendell tidak menyukai kehadiran Jardine yang dianggap mengusik hidupnya. ...