Aku memandang buku bersampul kulit imitasi di hadapanku dengan sangsi. Thomas Easterbrook, ayah Shane, memberikan buku ini padaku sebagai hadiah natal beberapa tahun lalu. Dia mengatakan bahwa aku bisa menulis di buku ini untuk meluapkan perasaanku atau sekedar menulis sesuatu yang perlu diingat. Dia juga mengatakan mungkin saja suatu saat nanti seorang penerbit tertarik dengan isi buku ini dan menerbitkannya.
Well, kupikir waktu itu dia sedikit tidak waras. Tapi, ya sudahlah, aku kan tidak menolak hadiah.
Saat ini, aku begitu putus asa dan marah. Maka aku ingin menuliskan sesuatu di buku ini. A story, yang sebenarnya ingin kulupakan sekaligus ingin kukenang sebagai pengingat agar di masa depan aku tidak terlalu cepat mempercayai seseorang.
"Oh, persetan dengan dunia! Aku akan menulis kisah itu sekarang," gerutuku pada diri sendiri seraya membuka lembaran buku.
Buku itu tidak sepenuhnya kosong. Di halaman pertama tentu saja kutuliskan nama, untuk menandai barang milikku karena Shane suka usil dan mengambil barangku sesekali. Kemudian di lima halaman selanjutnya, terdapat macam-macam omong kosong yang kutulis saat aku bosan.
Puisi, lirik lagu, umpatan, dan kalimat-kalimat yang kutumpahkan sebagai perwujudan perasaanku saat itu.
Kubaca ulang beberapa tulisanku dan astaga, aku menyadari dengan malu bahwa semua tulisan ini benar-benar omong kosong.
Aku menghela nafas, membuka halaman kosong, dan berkata, "Oke, saatnya mengisimu dengan sesuatu yang bermanfaat."
Tanganku yang memegang pulpen sudah akan menulis ketika pintu kamarku menjeblak terbuka. Aku melompat terkejut, menutup buku dengan satu hentakan, lalu menoleh ke arah pintu dengan gusar. Mum berdiri di sana, dengan raut wajah bersalah.
"Halo, Jardine."
Aku meniup helaian rambut di depan wajahku, "Mum, kau mengejutkanku."
"Sorry. Kau sedang apa?"
Di waktu lain, aku akan menghargai Mum yang berusaha mengajakku bicara. Tapi untuk saat ini, aku sungguh-sungguh ingin sendiri.
"Aku menyayangimu, Mum, really. Tapi apakah Mum tidak melihat tanda yang kupasang di pintu kamarku?" tanyaku sambil mengedikkan dagu ke arah pintu yang terbuka lebar.
Mum menoleh untuk melihat tanda yang kupasang di pintu. Sebuah papan dengan tulisan, DO NOT DISTURB (GO AWAY!), yang pastinya dapat dilihat dari jarak sejauh lima meter dengan jelas terpasang di sana. Lalu Mum mengalihkan pandang dan menatapku yang juga sedang memandanginya.
"Nah, itulah yang justru menarikku ke sini. Aku khawatir, Jardine. Apa yang terjadi?"
"Tidak ada apa-apa," jawabku, mulai hilang sabar, "Please, Mum. Hari ini saja. Tolong tutup pintunya dan jangan ganggu aku, oke?"
Mum menghela nafas kalah, kemudian dia menarik gagang pintu kamar dan mulai menutupnya. Sebelum pintu benar-benar tertutup, aku mendengarnya menggerutu, "Astaga, anak-anak jaman sekarang ini sangat membuat—"
Pintu kamarku menutup dengan bunyi keras. Aku berjengit sedikit. Sorry, Mum. Well, aku tidak menceritakan apa yang kualami pada Mum, atau Dad, atau Shane ketika Gale Rivendell mengantarkanku ke kafe Shane dalam keadaan setengah sadar. Aku bersyukur Gale Rivendell juga tidak mengatakan apapun pada Shane meskipun dia didesak sedemikian rupa.
Aku terlalu malu menceritakan Zander's Chaos karena hal itu akan memperjelas betapa bodohnya aku dalam mempercayai seseorang.
Okay, back to work. Aku menghalau rasa bersalah karena berbohong pada keluargaku dan menghadap buku dengan ingatan yang semakin jelas. Kubuka kembali buku tersebut, lalu kutuliskan semua yang kuingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DO YOU EVER WONDER?
General Fiction"Pernahkah kau bertanya-tanya apa jadinya dunia ini tanpa dirimu, Gale? No?" Jardine Roxen terbangun di Soho tanpa mengingat bagaimana dia berakhir di tempat itu. Dan Gale Rivendell tidak menyukai kehadiran Jardine yang dianggap mengusik hidupnya. ...