Thirty One

23 2 0
                                    

Ternyata Zander membawaku ke Chinatown dan bisa dikatakan aku melambung karena bahagia. Aku tidak dapat mengingat dengan jelas apakah aku pernah ke tempat ini sebelumnya. Tetapi begitu melewati gerbang yang membawa kami memasuki kawasan tersebut, aku merasa familiar. Meskipun saat itu keadaan jalannya agak lengang dan lampion yang digantung belum menyala (matahari belum terbenam dan hei, hemat energi karena bumi sudah begitu rusaknya), aku sama sekali tidak keberatan.

"Kau pernah ke sini sebelumnya?" tanya Zander.

Aku menggeleng, "Entahlah, aku tidak ingat," lalu mengangkat bahu dan menyeringai, "Aku tak ingat dan yeah, aku tidak keberatan meskipun tidak ingat. This town is incredible. Aku tidak akan bosan datang kesini berkali-kali."

Zander tersenyum, "Baguslah kalau begitu. Ready for the trip?"

Aku mengangguk antusias. Lalu Zander bertanya apakah aku sudah makan malam. Aku menjawab belum dengan cepat, bahkan sebelum Zander sempat menyelesaikan kalimatnya. Jawabanku membuat Zander tertawa. Cara terbaik memperoleh tempat di hati seseorang adalah melalui perutnya. Aku tidak bercanda. Kau pasti bahagia, kan, jika temanmu secara mengejutkan membelikanmu, misalnya, chocolate cake saat kau sedang sedih atau pizza saat kau sedang lapar dan semacamnya? Lalu kau mengatakan pada temanmu bahwa mereka yang terbaik dan secara otomatis, entah kau menyadarinya atau tidak, temanmu telah mendapat posisi terbaik pula di hatimu. Benar, bukan?

Zander membawaku ke tempat makan bernama The Four Seasons. Dia memesan roast duck untuk kami dan ketika makanan itu datang, aku tidak menghabiskan banyak waktu untuk memandanginya. Maksudku—astaga, kemana saja aku selama hidupku hingga bisa melewatkan makanan selezat ini? Aku mengutarakan hal itu kepada Zander dan dia tertawa. I like the sound of his laughs, to be honest.

Setelah itu, aku dan Zander berkeliling. Meskipun tidak ada acara tertentu, Chinatown tetap ramai dan penuh sesak. Ketika hari mulai gelap, lampion yang menghiasi jalan dinyalakan. Aku menghitung lampion tersebut sembari berjalan, lalu Zander tanpa sengaja menabrakku karena seseorang dari arah berlawanan menabraknya sehingga aku lupa sudah berapa lampion yang kuhitung.

"Aku tidak bisa menggeser tubuhku tanpa menginjak kaki seseorang." keluh Zander.

Aku menghindari dua orang perempuan yang membawa tas besar, "Wow, betapa besarnya penderitaanmu, Zander."

"Apa kau sedang menyindirku?"

"Secara teknis, aku hanya menggunakan sarkasme," aku menoleh dan menyeringai, entah Zander melihat seringai itu atau tidak, "Tapi, yeah—kalau kau menganggapnya seperti itu, aku bisa apa?"

Zander mengangkat bahu, "Whatever. Hei, perhatikan jalanmu." dia menegur seorang pemuda yang hampir menabraknya karena sibuk dengan handphonenya.

Pemuda itu mengacungkan jari tengah pada Zander yang otomatis membuatku tertawa. Zander hanya mendengus.

"Sori, Jardine. Seharusnya aku mengajakmu ke tempat yang lebih tenang." ucap Zander.

"Well, aku tidak keberatan," dan itu memang benar, lalu aku melihat papan nama sebuah kedai dengan lampu neon berwarna-warni, "Holy shit. Waffle!"

Setengah jam kemudian, aku dan Zander keluar dari kedai tersebut dengan dua buah waffle berisi es krim di dalam wadah kertas. Jalanan masih penuh sehingga aku dan Zander memutuskan untuk duduk di depan kedai saja. Zander menunjukkan beberapa tempat makan yang pernah dia kunjungi, lalu beberapa toko pernak-pernik, dan sebagainya. Aku memperhatikan orang yang berlalu lalang di depanku, kemudian menunjuknya secara acak dan menyuruh Zander menebak apa profesi orang tersebut.

DO YOU EVER WONDER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang