Thirty Two

25 3 2
                                    

Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau sudah lapar lagi, Jardine? Bukankah tadi kau sudah makan malam dan memakan waffle ice cream? Yeah, yeah, tidak perlu memandangku begitu. Aku yakin kau juga akan lapar lagi jika kau baru saja menonton film sekaligus bernyanyi serta berteriak histeris.

Zander membawaku ke sebuah kedai fish and chips yang tidak jauh dari teater. Saat itu sudah jam sebelas lebih sehingga tidak banyak orang di kedai tersebut meskipun jalan masih berdengung dengan kehidupan. Seorang waitress di belakang pantry menyambut kami dengan bersemangat. Waitress itu terlihat masih muda, tak lebih dari 17 tahun, mungkin.

"Hai, selamat datang. Oh!" gadis itu memekik kecil saat kami mendekati pantry, "Apa itu asli?" dia menunjuk alis Zander.

Tindik di alis Zander berkilat tertimpa sinar lampu yang terang. Zander mengedipkan mata beberapa kali, tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu, "...yeah," sedangkan aku mengulum bibir untuk menahan diri agar tidak tertawa.

Zander melirikku sinis lalu gadis itu bertanya lagi dengan mata membelalak, "Wow, keren sekali. Boleh aku memegangnya?"

"Apa?"

Aku tersenyum lebar sekali hingga otot di sekitar mulutku terasa sakit. Melihat Zander speechless dengan wajah shock luar biasa karena permintaan gadis itu benar-benar menggelikan.

"Maaf. Kau tidak menyukainya, ya? Sorry—"

"—Hazel, berhenti mengganggu pelanggan dan tanyakan pesanan mereka!" gerutu seseorang dari balik pintu di belakang pantry.

Bahu Hazel menurun, antusiasmenya menguap ke udara. Dia terlihat seperti anak kecil yang dilarang membeli mainan oleh orang tuanya.

"Kalian mau pesan apa?" suara cerianya terkesan dipaksakan.

Mungkin Zander merasa kasihan melihatnya. Setelah melirikku sebentar dan mengangkat bahu, dia berkata, "Kau mau memegang tindikku? Yeah, silahkan saja."

Binar di mata Hazel kembali, "Benarkah?"

Zander mengangguk. Kemudian Hazel mengangkat tangan kanannya dan memegang tindik di alis kiri Zander dengan ragu-ragu. Aku menunduk, tertawa tanpa suara lalu berhenti saat kaki Zander menendang kakiku agak keras. Aku mendongak padanya, memberinya senyuman innocent. Hazel sudah menurunkan tangannya dari tindik itu dan sekarang wajahnya merah padam.

Aku memutuskan untuk mempermalukan Zander lebih jauh, "Seksi, bukan? Kau suka dengan tindikan itu, Hazel?"

Wajah Hazel semakin merah saat dia menjawab dengan terbata-bata, "Ye—ah... yeah," kemudian dia berkedip cepat seolah baru menyadari aku di sana. Matanya berpindah dari aku ke Zander, "Oh. Oh, maaf. Aku tidak bermaksud—um, maksudku... what can I get for you, lovebirds?"

Aku menggelengkan kepala, "Bukan—we are not a couple. Dia hanya temanku."

Zander mengangkat tangannya dan aku memberinya high five. Melihat itu, Hazel tersenyum, "Aku memang suka berasumsi. Truly sorry, guys."

Lalu kami menyebutkan pesanan. Hazel mencatatnya dan pergi ke pintu di belakang pantry. Selang dua menit kemudian, Zander memicingkan matanya padaku.

"Apa yang kau tertawakan tadi?"

Mendengar pertanyaannya, aku tertawa lagi, "Kau seharusnya melihat wajahmu!"

"Kenapa dengan wajahku?"

"Oh, Zander," aku menepuk lengannya, "Your face is masterpiece."

Zander memutar bola mata, "Kau dan sarkasmemu. Tapi serius, Jardine, aku tidak menyangka akan ada orang yang begitu antusias dengan tindik."

"Ya, benar," aku mengedipkan sebelah mata, "Dan menurutnya kau seksi."

DO YOU EVER WONDER?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang