Bagian #16 (C.I.N.T.A)

61 4 0
                                    

POV. Naina
-

-

Hari terus berganti.
Namun, jantung masih berdetak hebat ...
Entah, mengapa.
S

ejak pertemuan itu, aku tak dapat lagi bernapas dengan normal.
Halah!

Aku memandang langit-langit, wajah Ustadz Fahmi yang nampak dipermukaannya.
Membuat aku tersenyum kegirangan.
Geli!

"Assalamualaikum." Yura menepis bayangan itu.

Tiba-tiba saja ia datang menghampiriku yang sedang asyik di ruang tengah.
Dengan malas, aku menoleh.

"Wa'alaykumsalam. Ada apa, Sayangku?" sahutku lalu merubah posisiku, duduk di sampingnya.

Secepat kilat mengambil alih Maira dari gendongannya.

"Aku denger, kamu mau pulang, ya?" katanya dengan raut kesal.

Seperti balita tidak dituruti kemahuaunya.
Aku mengabaikan.

"Naina!?" matanya melotot.
memajukan bibirnya yang baru saja terlepas dari kain yang menutupnya.

Aku terkekeh.
"Iya. Aku pulang. Kan, mau dikhitbah." Aku tak henti tersenyum.

Sementara Yura, tetap memandangku kesal.
"Kamu kok, kaya enggak seneng, sih, aku mau dikhitbah, Ra?" tanyaku, heran.

"Ya, aku gak bisa ikut, Nay! Makanya aku kesel ..." jelasnya manja.

Aku meliriknya cepat.
"Kenapa?" celetukku.

"Suami aku kerja, lah, Nay. Aku juga gak bisa pergi jauh tanpa mahrom." tuturnya, sedih.

Aku paham.
"Udah gak papa. Kan, ini cuma acara lamaran. Kalo pas walimahnya, kamu sekeluarga wajib dateng, oke? Titik gak pake koma." jelasku lalu kembali sibuk dengan Maira.

Yura memelukku.
Memang jiwa Emak - Emak, kalau lagi 'Gereged' ya, memeluk atau tidak, mencubit. Argghh ...

....

Pagi ini rencananya aku akan datang ke rumah Ustadzah Meida, ingin mengajukan beberapa pertanyaan dan meminta saran darinya.

Maklum, tujuh hari itu bukan waktu lama untuk menunggu acara yang kuimpikan sejak dulu.

Bukan!

Tapi, sejak aku bertemu dengan Ustadz Fahmi Megaz Baehaqi.

Menunggu dikhitbah olehnya, sungguh berjuta rasanya.

Oh! Tuhan.
Sungguh aku tak percaya.
Bahwa Ustadz muda nan tampan itu. Akan menikahiku, menjadi Ayah dari anak-anakku.

Maasyaa Allah ...

Kukunci pintu dengan cepat.
Bergegas meninggalkan halaman yang sudah kusapu selepas subuh tadi.

"Naina? Mau kemana?" tanya Mas Rizal, berhenti dihadapanku.

"Eh! Abi Maira. Ndak, ini mau ke rumah Ustadzah." jawabku singkat.

"Yasudah. Saya lagi ndak sama istri soalnya, jadi saya ndak bisa ngajak, fii amanillah saja, ya." Ia tetap di atas kendaraan roda empatnya.

Aku hanya mengangguk.

"Aamiin, insyaa Allah. Ndak apa-apa. Naina duluan, ya, Abi Maira. Assalamualaikum." Aku melangkah pasti.

Ikhtiar Cinta (Menggapai Ridha-Mu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang