Bagian #2 (Diujung nestapa)

146 6 0
                                    


POV.Naina

-
-

Matahari kian menyongsong di ujung pagi, jarum jam bergerak ke angka sembilan lewat dua puluh menit. Seperti biasanya, jika akhir pekan sudah tiba, kehidupan di rumahku bak pasar ramai pengunjungnya.

Karena kedua kakakku yang memboyong istri dan anak-anaknya untuk mampir ke rumah. Bukan tradisi turun temurun, ya!
Memang, Ayah sengaja membiasakan anak-anaknya untuk melakukan hal ini, tidak lain hanya agar Ibu tidak kesepian dan tidak terlalu menahan rindu kepada anak dan cucu-cucunya. Dan agar anak gadisnya tidak bisa pergi meninggalkan rumah sendirian 'bahaya' katanya.

Ayah dan Ibu, selalu menanamkan nilai moral pada anak-anaknya. Ayah hanyalah seorang muadzin, ia sudah tak bekerja lagi. Syukurlah, bengkel sepeda sederhana yang dibuatkan kak Malik dapat membantu perekonomian keluarga, dari situlah biaya hidup untuk sehari-harinya

Kala malam tiba, ruang kecil ini dipenuhi antusias anak-anak yang datang untuk mengaji, sesekali aku ikut membantu Ayah untuk mengajari anak-anak mengaji. Ayah tak pernah meminta imbalan dari anak-anak yang dididik olehnya, kata Ayah "Biarpun kita orang tidak punya, asal kita bisa memberi manfaat kepada orang lain" Tutur katanya akan selalu terngiang dalam ingatanku

Ayah dan Ibu ...
Usianya kini tak lagi muda, tiada hari tanpa menahan rasa sakit yang dideritanya. Bukan hanya kepalanya yang suka tiba-tiba sakit, tapi juga kakinya yang kian hari semakin teresa berat untuk melangkah. Keluhnya kala itu

Apa dayaku?
Lagi dan lagi, Kak Malik yang selalu ada untuk Ayah dan Ibu, ia akan sering ke rumah meski hanya menengok saja. Sebatas memastikan kondisi Ayah dan Ibu. Mengenai kakak perempuanku, Rena. Ia adalah anak ke tiga dari enam bersaudara. Kak Rena tidak seperti teman-temannya. Ya, kak Rena itu spesial, kata Ibu. Kadang, mulutku pula yang menyakiti hati Ibu dengan berkata "Kak Rena Gila!" kalimat itu tak dapat kutahan acap kali aku bertengkar dengannya

Tapi, Ibu selalu mengingatkan. Bahwa kak Rena adalah anaknya, kakak yang istimewa untukku. Kata Ayah, saat kak Rena menginjak dua tahun usianya, ia didiagnosa terkena skizofrenia, Ayah menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik.

Penyebab pasti skizofrenia tidak diketahui, namun kombinasi genetika, lingkungan, serta struktur dan senyawa kimia pada otak yang berubah, mungkin berperan atas terjadinya gangguan tersebut.
Karena terbentur ekonomi, saat itu Ayah dan Ibu juga tak bisa membawa anak malang itu untuk kontrol kesehatannya dengan rutin ke dokter.

Namun begitu, mereka tak pernah malu dan selalu optimis. Hinaan dan bullying, yang kerap kak Rena dapatkan selalu digantikan oleh Ibu. Ya, Ibu selalu hadir di setiap hari-hari kak Rena, ia tidak pernah luput dari pengawasan Ibu. Kadang hati teriris melihatnya, saat semua orang menghinanya, mengejek kondisi kak Rena, sampai ada yang tega melempari kak Rena dengan batu krikil, jika kak Rena bermain di halaman rumah.

Dengan kekuatan super, Ibu melindungi anak malangnya, menggiring bocah-bocah kecil yang mengganggu anaknya "Rena, gila. Rena, gilaaa!!" Teriakkan anak kecil itu nyaring terdengar.

Perasaannya, berkecamuk!
Hatinya hancur!!
Tapi, Ibu selalu sembunyikan itu dariku. Katanya, "Seburuk apapun dia, dia tetap anak Ibu. Sebab tidak ada mantan anak." Dengan merengkuh tubuh kak Rena.

Tingkahnya memang aneh, namun kak Rena tidak lah 'gila', kadang ia berlaku seperti anak kecil, terkadang seperti kehilangan gairah hidup --Melamun-- dan juga ia seperti orang normal pada umumnya. Meskipun tidak sering dalam kondisi itu. Karena ketika diajak bicara pun, ia masih mengerti dengan perkataanku atau siapapun lawan bicaranya

Ibu memang terlihat jauh lebih tegar dari Ayah, pamor anak bungsu pun tergantikan oleh keadaan kak Rena. Ia merauk banyak perhatian dari Ibu, kakak-kakakku juga Ayah.Hingga aku berpikir, Allah tidak adil! Dari sini kehidupanku menjadi tak karuan. Ibadahku, ketaatanku pada Ayah dan Ibu, pupus karena prasangkaku sendiri.

"Assalamu'alaykum." Suara itu membuyarkan lamunanku.
Mataku berkeliling sekitar ruangan, rupanya aku duduk seorang diri sedangkan yang lainnya berada di ruang televisi. Aku bergegas untuk membuka pintu karena rasa penasaranku. "Wa'alaykumussalam, sebentar!" Sahutku dengan melangkah menuju pintu.

Ceklek!!!
Pintu berhasil kubuka, berapa terkejutnya aku, mendapati seseorang yang tengah berdiri di hadapanku.

"Ariin!?" Mataku membulat.
"Naina, aku kangen banget!" Ucapnya memelukku erat.
Mulai saja dramanya, bak anak kandung yang baru bertemu Ibunya setelah ratusan tahun. Hiks!

Arin Sasmita, ia sahabat kecil sekaligus tetanggaku.
Pilihannya untuk jadi anak pesantren sambil sekolah membuatnya jarang bertemu denganku. "Sama, Rin. Eh, iya, yuk masuk!" Kataku menggandeng tangannya. Arin mengangguk dan mengikutiku

Memang, jarang sekali keluar rumah apalagi untuk bermain bersama teman. Jika ada tugas sekolah, baru lah keluar kandang. Syukurlah ada Arin, ia selalu datang ke rumah sekedar menemaniku. Bercanda, mengobrol dan sesekali membantuku mengerjakan tugas. Namun, ketika ia kembali ke pesantren, kesepian kembali mendera. Menyebalkan!

Arin dan Yura sahabatku, namun mereka berdua sangat berbeda. Yura, lebih antusisas jika membuka topik atau mendengar topik berbau gossip. Ujung-ujungnya keterusan ghibah.
Kalau Arin, ia akan selalu menegurku tentang apapun yang menurut pandangan Islam itu salah. Dan jika diajak curhat, ia akan bertanya "Bentar, bentar! Ada unsur ghibahnya, gak, Nay?" Dengan wajah penuh pertanyaan.

Oh My God!!!
Memilih untuk menelan ludah dan gak jadi curhat. Tapi, ada baiknya kenal sama satu makhluk ini. Karenanya, aku merasa diperhatikan, setiap ada kesalahan ia selalu sigap untuk mengingatkan, ia akan berbicara panjang kali lebar agar aku paham, bahwa itu tidak sesuai syari'at Islam. Sebaliknya, jika aku melakukan hal yang benar menurut Islam, maka ia akan mendukungku dan memberikan pujian untukku

Selesai bersalaman dengan keluarga, aku mengajaknya ke teras rumah.
"Duduk! Aku ambil minum dulu, ya." Ujarku padanya yang sedang merapikan hijabnya, Arin mengangguk.

Beberapa menit kemudian
"Eh, iya, kok kamu bisa ke rumah? Tumben?" tanyaku sambil menuangkan teh ke dalam gelasnya.

Arin pun menoleh ke arahku
"Iya, Nay, aku kan udah mau lulus, Nainaaa." Jawabnya mendengus kesal.

"Oh. Iya, lupa. Hehee." Timpalku.

"Btw, mau lanjut kuliah gak, nih?" Tanyaku dengan memandang wajah Arin.

Arin mengangguk dan tersenyum
"Insyaa Allaah, Nay. Aku lanjut kuliah, dan mesantren lagi." Jawabnya antusias.

Rona berseri nampak pada wajah cantik Arin, betapa bahagianya ia
Apa aku bisa kuliah sepertinya?

Bersambung_____

Ikhtiar Cinta (Menggapai Ridha-Mu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang