Bagian #3 (Qodarullaah)

117 7 5
                                    


🍂 Memang, setiap perpisahan akan menyisakan luka
Namun, buah dari perpisahan adalah kerinduan. Kerinduan itu yang akan menjadi pelengkap antara aku dan kamu 🍂


POV. Naina
-
-

Perbincangan sore itu kian hangat, meski ditemani gemercik air yang berdesakan di atas genteng, tak mampu mengusiknya.
"Kamu, gak kepengen nikah, Rin? Katanya mau nikah muda." Godaku.

Arin tersedak. "Uhuk!!" matanya mendelik ke arahku.

"Apaa?! Kan, kamu yang bilang, Rin." Alibiku.

"Perempuan mana yang gak mau nikah, sih, Nay?" Ketusnya.

Aku mengangguk pelan "Terus, kamu sendiri gimana? Lanjut kuliah juga, kan?" Cecarnya.

Sejenak aku tersentak mendengar pertanyaan Arin, sebab bukan hanya ia yang bertanya demikian. Hampir semua orang menanyakan hal yang sama padaku. Tapi, aku cukup sadar diri, dari mana aku berasal. Tidak seperti sahabatku, Arin dan Yura. Keduanya lahir dari keluarga berada. Yura, anak orang kaya namun amat sangat kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Nay!?" Arin menepuk bahuku pelan, membuyarkan konsentrasiku.

"I-iya, Rin. Kenapa?" Balasku gugup.

Arin terlihat menggelengkan kepalanya.

"Hehe ... Entahlah, Rin. Sepertinya gak bisa lanjutin impianku, membantu Ayah dan Ibu sepertinya itu lebih baik." Jawabku lunglai.

"Naayyy ... " Arin memelukku.
Tak terasa, bulir bening menetes saat Arin menghujani aku dengan pelukannya.

"Semangat sahabatku! Kerja atau kuliah semuanya sama, kok. Akan bernilai pahala jika diniatkan karena Allaah semata." Ucapnya lalu mengusap air mata dengan lembut tangannya. Ceramah singkatnya, berhasil membunuh semua rasa yang membuatku pustus asa.

"Makasih, ya?" timpalku menggenggam tangannya. Arin tersenyum.

"Oh, ya! Besok hari kelulusan aku, Rin. Kamu dateng, ya! Sama Ayah, karena Ibu harus nemenin kak Rena." Tambahku.

"Wah!! Selamat, ya ... Insyaa Allaah, apa sama kak Fikri dan kak Malik, juga?" Tegasnya.

"Pasti. Kamu gak keberatan kan, Rin?" Aku mencubit manja dua pipinya.

"Engga, dong. Biar Ayah kamu sama aku, ya." Jelasnya.
Arin mulai menjadi author. Hehe

Aku mengangguk tanda setuju
Serunya obrolan di sore itu, hingga tak sadar langit yang semula biru berubah menjadi langit jingga yang hendak menampakkan senjanya. Arin segera berpamitan dengan keluarga, karena kakak-kakakku rupanya sudah pulang lebih dulu.

....

Dag-dig-dug
Detak jantungku nyaris terdengar penghuni sekolah. Untuk pertama kalinya, aku datang pagi ke sekolah.
Aku tak lagi berseragam putih abu-abu, kali ini, Aku memakai hijab yang kakak ipar lilitkan ke leherku -- Aku cukup tersiksa -- Dengan baju brukat warna kuning soft senada dengan hijabku. Rekan yang katanya seperjuangan, satu pun belum nampak batang hidungnya. Padahal sudah diingatkan oleh penyelenggara, agar datang lebih awal.

Ikhtiar Cinta (Menggapai Ridha-Mu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang