Bagian #18 (Hancur)

68 3 4
                                    

POV. Naina
-
-

Dinginnya angin yang membelai permukaan kulit, membuatku semakin enggan beranjak dari tempat tidur.
Meski waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih lima puluh tiga menit, rasanya masih perlu banyak waktu untuk terjaga dari tidurku.

"Nay. Ayo, bangun! Salat subuh dulu." Ibu menggoyang bahuku pelan.
Terdengar suara mengusik kenyamanan di sela tidur nyenyakku.

"Emmhh!" sahutku, menggeliat.

"Calon manten, kok, bangunnya masih harus dibangunin!" gerutunya. Berdiri tegap sudah siap untuk salat.

"I-iya, iya. Naina bangun, kok." Aku mengerjapkan mata.
Langsung terduduk.
Kulihat, Ibu terkekeh, berlalu meninggalkanku.

"Ah! Ibu. Ini, kan, masih pagi sekali." kembali merebahkan tubuh malasku.
Setelah lima belas menit, rupanya Ibu datang lagi ke kamarku.

"Astagfirullah! Naina. Sudah mau habis ini waktu subuh!" menggelengkan kepalanya, menarik selimutku.

"Aaah ... Ibu! Sebentar lagi, ya?" pintaku, masih bergumul dengan selimut.

"Ndak! Bangun sekarang. Ayo, udah ditunggu Kakakmu, lho." ucap Ibu menarikku.
Aku mengikutinya, dengan mata yang masih menutup.

....

Sudah dua hari aku berada di sini. Otomatis, hari lamaranku tinggal lima hari lagi.

Duh! Manis sekali.

Baiklah. Aku akan bersabar menantinya.
K

uputuskan untuk bercengkerama dengan dapur Ibu. Lama sudah tidak menyapanya.

"Masak apa, Nai?" ucap Kak Rena keluar dari kamar mandi.
M

ungkin, hidungnya mencium aroma masakanku.
Mendekatiku.

"Nasi goreng, lah. Apalagi? Kan, belum ke pasar." jawabku datar.

"Yeeeeyyyy!" teriaknya, lalu melompat kegirangan.

Shit! Aku terkejut, hingga tanganku menyentuh wajan panas.

"Kak? Apaan, sih!?" memandanginya, hampir saja mataku keluar.

"Maaf!" jawabnya menunduk.

"Nai. Kita ke pasar, kan?" lanjutnya meraih tangan kiriku.

"Ibu, Kak. Bukan aku!" masih kesal.

"Gak mau! Nai, aja." putusnya, khas dengan gaya manjanya.

Aku mendelik sebal.

"Memangnya kenapa kalau Ibu?" tanyaku mematikan kompor.

"Kan, Nai janji. Mau belikan Rena boneka." wajahnya berseri.

"Astagfirullah! Kok, Naina lupa, ya?" membuang napas.

"Yaudah. Kakak siap-siap, ya? Naina siapin sarapan, dulu." pintaku.

Dia mengangguk, setuju.
Bergegas ke kamarnya.

....

Di halaman belakang, terlihat Ibu sedang sibuk memilah dan memilih sejumlah kayu bakar yang akan ia jemur.

"Bu, Naina ke pasar, dulu, ya?" kataku, memanaskan mesin motor.

Ikhtiar Cinta (Menggapai Ridha-Mu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang