Bagian #7 (Hope & Luck)

5 2 0
                                    


"Setiap titik nikmat hingga nikmat yang tak terhingga, Allaah berikan tanpa pilih kasih. Barang siapa yang selalu bersyukur, maka Allaah akan tambahkan lagi, lagi, dan lagi."

POV. Naina
-
-

Udara segar di pagi hari
Konon katanya sangat baik untuk kesehatan, karena belum banyak kendaraan yang berlalu-lalang depan rumah yang bisa menyebabkan polusi. Tepat satu bulan kepergian Arin, pergi ke pesantren dan kuliah demi masadepannya. Beruntungnya wanita itu

Begitu juga dengan Yura, tak lagi aku mendapat kabar darinya. Sejak perpisahannya di sekolah, terakhir menghubungiku dua bulan yang lalu. Mungkin dia sudah menjadi wanita karir yang super sibuk, doakan saja.

Aku tak lagi dapat menjumpai sosok berbadan tegap, rapih dan agamis melewati rumahku. Karena memang, rumahku searah dengan jalan menuju sekolah. Jadi, aku sering sekali melihatnya berangkat ke sekolah melewati rumah. Ya, seseorang itu adalah Said. Entah kemana ia sekarang.

Hah!?
Apa ini?
Mengapa terlintas lelaki antik itu?
Astaga!

Mataku menatap bulat penjuru ruangan, tak ada siapapun. Tak butuh lama setelah aku duduk di sofa.
"Naina, mau kemana?" Seloroh Ibu menghampiri dengan membawa secangkir teh.

"Eh, Ibu!?" Aku terkejut.
"Cari kerja, Bu. Bosen di rumah." Balasku polos. Wanita di hadapanku ini hanya tersenyum dengan mata yang mengembun.

"Udah ada lowongan kerjanya?" Tanyanya.
"Sudah, Bu." Balasku cepat.
"Insyaa Allaah, Naina mau ke tempat Kak Haris, temannya Kak Fikri yang kerja di pabrik sepatu itu lho, Bu." Imbuhku yang masih sibuk menata berkas yang akan dibawa.

"Nay, Ibu minta maaf, ya? Ndak bisa wujudkan impianmu masuk kuliah." Ucapnya bergetar.

Aku menggeleng cepat. "Gak, Bu. Ibu gak perlu lah minta maaf ke Nay, justru Nay yang berterimakasih sama Ibu dan Ayah, Naina lulus SMK saja, sudah bahagia. Sekarang tugas Naina mencari uang untuk Ibu, Ayah dan kak Rena. Biar Kak Malik fokus dengan keluarganya." Jelasku sembari menyeruput teh hangat yang menggoda sedari tadi.

Seketika hening menyelimuti. "Nay, tetap di jalan yang benar ya, Nak. Jangan sampai kamu jatuh di lubang yang sama untuk ke dua kalinya." Seloroh Ibu mengelus puncak kepalaku.

Aku menoleh kearahnya"Ibu tenang aja ya!" Balasku lembut.

"Ibu harus doain Nay terus. Ibu jangan dengerin omongan tetangga! Biarkan saja mereka bicara sampe berbusa. Selagi ucapan tetangga itu tidak ada bukti, Ibu cukup senyumin mereka aja ya!" Imbuhku melempar senyum.

Ibu mengangguk setuju. "Naina adalah harapan Ibu satu-satunya." Ucapnya memeluk dan menghujani aku dengan ciuman hangat.

Hati kecilku bergetar, baru sadar betapa bodohnya aku yang menyakiti hati orang yang selama ini sangat menyayangiku. Akan aku buktikan, bahwa aku bukan lagi Naina yang manja, nakal, ngambekan dan bikin susah orang!

"Naina pamit dulu, ya, Bu. Assalamualaikum." Mencium punggung tangannya. Kulihat senyumnya kembali merekah.

"Wa'alaykumussalam. Hati-hati, ya, Nak!" Jawabnya masih berdiri di ambang pintu.

....

Detak jantung berdebar kencang, kulihat sekeliling ruangan di penuhi para karyawan yang sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Mataku tertuju pada satu ruangan.

"Ah! Mungkin itu ruangan Kak Haris." Kataku pelan, kemudian sedikit mempercepat langkah.

Dengan bekal mantra terampuh yang ku baca berulang-ulang, aku semakin percaya diri.

"Bismillaahirrohmanirrohiim, Robbisrohli sodri wayassirli amri wahlul 'uqdatanmillisani yafqohu qouli." Ku ucapkan untuk yang terakhir kalinya sebelum masuk ke ruang kerja Kak Haris.

Tuk
Tuk
Mulai mengetuk pintu ruangan HRD. Lalu sesekali merapikan pakaian.
"Ya. Silakan masuk!" Terdengar suara dari balik pintu

"Assalamu'alaikum, Pak." Salamku sedikit pelan dan tersenyum.
Dia mengangguk.

"Wa'alaykumussalam. Ya, silakan duduk Bu!" Jawabnya tanpa basa-basi.

Langsung menempati kursi yang disediakan, keringat bercucuran di balik kerah kemeja. Lelaki yang di hadapanku mengenakan kemeja biru muda dibalut jas warna biru tua, terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usiaku, namun dia tetap cool dan tampan.

Astagfirullah, kumat penyakit centilnya :v

"Oke. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanyanya santai.

"Baik, Nama saya Naina Azkiya Shariiv, lulusan SMK Negeri 6 Waringinkurung. Makasud dan tujuan saya adalah melamar pekerjaan pada salah satu posisi yang tertera pada lowongan kerja, Pak. Terimakasih." Tersenyum meski terasa membosankan.

Sejenak memalingkan pandangan dari layar laptopnya. "Oh, Ibu yang direkomendasikan rekan saya, ya?" Tanyanya.

"Ada, sih, Bu. Tapi di bagian Cleaning service, yang masih butuh karyawan." Tambahnya
"Cleaning service, Pak?" Terkejut dan mengulanginya lagi.

Astaga!
Yakali aku harus jadi Cleaning service?
Apa kata temen-temen, kalau sampai mereka tahu?

"Ya. Kalo gak mau ya sudah. Banyak yang mau melamar di sini." Ketusnya

Argh!!!
Ingin aku membekap mulutnya
Kalau bukan karena Kak Fikri, mending aku mencari ke tempat lain. Ganteng tapi menyebalkan!

Tapi, jika aku tidak mengambil pekerjaan ini, mau cari kemana?
Mencari kerja sangat susah, sama susahnya seperti melupakan kenangan. Eeaaaaaa

"Mau apa engga?" Tanyanya
"Ma-- Mau, Pak." Jawabku cepat, sedikit terkejut karena sempat melamun.

"Okey. Besok sudah bisa langsung kerja, Selamat bergabung dengan kami." Ujarnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

....

Di sepanjang jalan, tak ku temui sosok ramah yang menawarkan tumpangan cuma-cuma untukku, aku pun terus menyusuri jalanan yang begitu hitam pekat, di bawah terik matahari yang berhasil membuatku panik sendiri. Pikiran pun tak karuan, banyak pertanyaan muncul tiba-tiba.

"Bagaimana kalo Ibu nanya, kerja bagian apa Nay?" Ah! Rasanya ingin membelah batu bata.

Apa aku harus menyembunyikan ini dari mereka? Ya, mereka tidak harus tahu. Aku adalah harapan bagi mereka. Namun, cepat atau lambat, mereka akan tahu. Karena Kak Fikri pasti akan menanyakan hal ini pada temannya, Haris. Ya Tuhanku, begitu berat ujian ini. Sadarkan diri ini, agar tetap bersyukur atas ketentuan dan ketetapan dari-Mu.

Gang rumah sudah nampak, butuh beberapa langkah lagi untuk sampai di depan pintu rumah.

"Assalamualaikum, Ibu!?" Ucapku dengan sedikit keras. Beberapa waktu menunggu, tidak ada jawaban dari dalam rumah.

Ceklek!
Ketika aku membuka pintu, ternyata pintu tidak dikunci. Aku bergegas masuk dan ---

"Astagfirullah! Pada kemana, si? Kenapa berantakan sekali!" Berdecak kesal. Sembari gerutu, segera ku rapikan ruangan bak kapal pecah itu. Entah kenapa ruangan dipenuhi mainan, peralatan dapur yang tercecer di lantai.

Tak butuh waktu lama, setelah mengepel lantai, ku hempas tubuh ke sofa karena penat yang menempel sedari tadi. Ku lirik jarum jam dinding, sebentar lagi masuk waktu dzuhur.
"Jam segini, kok, Ibu gak ada di rumah?" Sembari menatap pintu dengan bingung.

Kemana Ibu dan Kak Rena?

Bersambung____

Ikhtiar Cinta (Menggapai Ridha-Mu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang