Bagian #10 (Kembali)

71 3 0
                                    

POV.Naina
-
-

Bisa jadi, dalam penantian ini Allah menginginkan aku untuk terus memperbaiki diri dan belajar lebih, tentang apa itu makna kesabaran.

Aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Hanya perlu menggunakan waktu menunggunya dengan hal baik.
Karena Tuhan itu tahu, kapan waktu yang tepat untuk dia menyentuh hatiku. Dengan segala pertimbangan yang matang, tanpa pikir panjang segera ku ambil keputusan.

"Ibu. Naina mau pergi dulu, ya?" Bisikku mendekati telinganya, yang sedang terlelap dalam tidurnya. Seraya merengkuh tubuhnya yang semakin menua.

"Jaga kesehatanmu baik-baik, jangan khawatirkan aku. Aku akan kembali dengan calon imamku nanti. Selalu doakan aku ya. Bu?" Tambahku lalu mencium keningnya. Ibu tetap nyenyak dalam tidurnya, nampak lelah yang tak bisa disembunyikan dari raut wajah keriputnya. Kuletakan selembar kertas di atas nakas.

Dengan penuh haru dan deraian air mata. Sebenarnya, tak sanggup meninggalkannya dalam kesendirian.

Tapi aku lelah, ya Allah!
Aku muak dengan semua perlakuan Kak Malik, terlebih dengan sikap istrinya
Pergi jauh, mungkin lebih baik,
Itu pikirku.

....

Selalu saja ada pertanyaan bermunculan dalam benak pikiranku, tentang bagaimana nanti, bagaimana masa depan dan bagaimana akhirnya. Sadarkah kalau semua pertanyaan itu terhubung dengan takdir?
Tak ada yang bisa mengatur takdir kecuali Allah. Jadi, nikmatilah setiap detiknya.

Tiba-tiba lamunanku buyar.
Brugh!!!
"Bisa lihat-lihat gak sih! Jalan ya pakai mata!" Ucapnya membersihkan pakaian yang terkena minuman. Tak sengaja aku menabraknya, karena terburu-buru. Takut tertinggal kereta. Namun ia terus memakiku.

"Ma-Maaf, Mbak. Saya buru-buru, ndak liat ada Mbak lagi berdiri." Kataku yang ikut sibuk mengelap bajunya.

"Ah. Sudah. Sudah! Gak papa." Jawabnya ketus.
Kemuadian, aku terus berlalri, mendatangi loket kereta api.

Setelah membelinya. Segera kunaiki kendaraan yang super panjang dari kendaraan lainnya itu.

"Naina? Naina Azkiya Shariiv, kan?" Seorang wanita, berkerudung gelap menyapaku yang sedang mencari tempat duduk. Dia begitu anggun, dan tertutup. Wanita itu uduk sendiri di ujung gerbong.

"Sini!" Mengulurkan tangannya pelan. Seketika langsung menghampirinya. Tapi, sama sekali aku tidak bisa menebak perempuan itu. Kuperhatikan bagaimana matanya ketika ia senyum padaku.

"Assalamu'alaykum, Nay. Bagaimana kabarnya? Udah nikah? Hendak kemana ini? Banyak sekali bawaannya?" Ia mengerenyit. Bertubi-tubi pertanyaan ia lontarkan, tanpa memberi waktu untuk aku menjawabnya.

Aku hanya senyum dan tetap memerhatikannya. Alisnya yang tebal dan rapi, kulitnya yang putih dan mulus. Siapa wanita yang di sebelahku ini?
Aku tak dapat melihat dengan jelas, hanya mata dan keningnya saja yang bisa aku ingat.

"Maaf! Mbak kenal saya? Tapi saya tidak kenal. Mbak ini siapa, ya?" Tanyaku sedikit ragu.
"Sejauh apapun melangkah. Allah akan satukan kita, sedekat apapun raga kita, Allah akan pisahkan. Dengan kehendak-Nya." Katanya.

Langsung saja, aku ingat dengan kata-kata itu.

"Yura!!?" Teriakku membuat penumpang kaget.
"Hust! Berisik ..." Meletakan telunjuknya di bibir yang tertutup kain.

"Masyaa Allah! Yura ini kamu? Yura!" Kataku memeluknya.
"Kamu kemana aja, sih? Lama aku gak denger kabarmu. Aku gak bisa hubungi kontakmu, kamu jahat!" Tambahku dengan wajah kesal.

Ikhtiar Cinta (Menggapai Ridha-Mu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang