The Memory

183 29 30
                                    

Di suatu pagi yang biasa-biasa saja. Matahari bersinar sangat terik, membakar setiap kulit hingga menyebabkan luka bakar tingkat satu. Angin bertiup lemah lembut, seakan tengah membelai pucuk-pucuk daun yang bergerak anggun. Burung-burung saling berterbangan dan berkicau merdu, seperti sedang membincangkan suatu hal rahasia yang tak dapat didengar oleh manusia.

"Anak-anak, hari ini materi kita adalah pelajaran sejarah. Silahkan buka buku sejarah kalian masing-masing," perintah seorang wanita sambil membawa buku tebal.

"Ah, males banget nih sama pelajaran sejarah. Hey Raka, kita pura-pura ke toilet terus kabur yuk," ucap salah seorang teman sebangkuku.

"Aku sedikit kasihan pada nasib Airial, yang memiliki calon-calon ksatria seperti dirimu. Entah akan jadi apa negeri ini," ucapku menyindirnya.

Karena merasa tersindir, anak itupun mencoba membela diri dengan mengeluarkan kata-kata bijaknya, "Hey ayolah, lagian apa untungnya sih melajarin sejarah? Orang sukses tidak akan mau terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, dan hanya mau melangkah maju ke masa depan yang lebih cerah."

"Memang benar, tapi orang sukses juga akan belajar dari masa lalu, sehingga kesalahan yang mereka perbuat tidak terulang lagi di masa depan," ucapku menjawabnya dengan cerdas.

"Iya deh iya, kalau soal kata-kata, engkaulah yang terbaik di seluruh penjuru Airial," ucapnya memujiku.

"Wah, coba lihat ke belakang anak-anak, ada dua orang bangsawan tengah berbincang. Yang satu merupakan pangeran dari raja Airial ke-119, dan yang satu lagi merupakan putra dari seorang Jendral kerajaan terbaik sepanjang sejarah." Guruku terlihat marah karena kami tidak memperhatikan pelajaran, tapi dia masih berusaha bersikap sopan, karena kami merupakan keturunan bangsawan.

Sontak saja, seluruh siswa yang ada di kelas langsung menatap kami dengan ekspresi sebal.

Sepertinya mereka merasa kesal karena pelajaranya terganggu. Maklum saja, sekolah ini adalah sekolah dasar favorit yang hanya diisi oleh anak-anak berprestasi, dan juga para keluarga kerajaan seperti kami. Jadi, nyaris tidak ada siswa nakal disini.

"Memangnya apasih yang sedang kalian bicarakan, wahai anak-anak manis? Apakah akan menentukan nasib dari kerajaan Airial?" tanya guru itu, yang aku yakin sedang mati-matian menahan emosinya.

"Dia cuma ingin ke kamar mandi." Aku menunjuk teman sebangkuku dengan muka datar.

"Eh ... ti-tidak jadi bu, tadi aku sempat kebelet pipis, tapi sekarang sudah menghilang, hehe ...," ucap anak itu membela diri.

"Yasudah, kalau memang masalahnya sudah selesai, ibu akan melanjutkan pelajaran, dan tolong jangan ada yang berisik ya," ucap guru itu sambil kembali menatap papan tulis.

Kelas pun kembali hening, dan hanya menyisakan suara guru yang menerangkan pelajaran.

"Kali ini, kita akan belajar sejarah tentang awal mula berdirinya kerajaan Airial," ucap guru itu sambil membaca bukunya yang tebal, sementara teman di sebelahku hanya menatapnya malas sambil menguap.

"Dahulu kala, kerajaan Airial didirikan oleh salah seorang dari empat elinar pertama, yang bernama ... siapa anak-anak?" tanya guru itu kepada seluruh siswa.

"Reina Ravendra bu guru ...." Seluruh siswa menjawab dengan serentak, kecuali aku dan kawan sebangkuku ini. Untuk apa aku menjawab pertanyaan yang sudah dijawab oleh orang lain? Itu hanya akan membuang-buang oksigen.

"Tepat sekali. Ada yang tahu siapa itu 'Reina Ravendra' ?" tanya guru itu sekali lagi.

"Beliau, seorang elinar air pertama yang mendapat anugerah dari salah satu malaikat terkuat bu," ucap salah satu murid yang duduk di bangku terdepan.

Eleminar : The Prince of AirialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang