Wastra Island

136 24 26
                                    

"Hey, Raka! Sampai kapan kau mau melamun seperti itu?" bentak seorang pria tua yang sedang berdiri di samping mejaku.

"Eh ... maaf, saya hanya sedang mengingat-ingat masa lalu." Aku baru tersadar dari lamunanku, dan tampak seperti orang linglung.

"Raka-Raka, kau itu kerjaanya melamun terus, memangnya apa yang kau dapat dari lamunanmu itu? Asal kau tahu bahwa, lamunan itu hanya akan membawamu pada harapan manis yang palsu." Inilah ceramah pagi, yang sudah menjadi santapan sehari-hariku.

Yang ceramah barusan adalah dosen di bidang sejarah dan sastra, yang menjadi salah satu pelajaran favoritku.

Sebelumnya sudah kubilang bahwa, saat ini aku tengah menjalani kuliah asrama di salah satu universitas terbaik di pulau 'Wastra.' Orang-orang di sini sangatlah berbeda dengan di sekolahku dulu. Di sini, aku sama sekali tidak dianggap sebagai seorang pangeran, karena universitas ini punya moto keras yang berbunyi:

'Pendidikan bukanlah alat untuk mengukur derajat seseorang, baik itu manusia maupun elinar. Semua kasta, maupun golongan berkedudukan sama. Baik itu kaum bangsawan, pekerja, petani, hingga pengemis, dan seluruh lapisan masyarakat, dianggap setara di mata pendidikan. Yang membedakan hanyalah kualitas, dan kecerdasan dari sumber daya manusia itu sendiri.'

Jujur, aku setuju dengan moto yang sangat bijaksana itu. Tidak ada pemisahan derajat dalam dunia pendidikan, baik itu seorang raja, hingga perampok sekalipun, semuanya setara.

Itu berarti, jika aku ingin menjadi nomor satu di seluruh universitas ini, maka aku harus menjadi yang terpintar di antara yang lain.

"Memangnya apasih yang ada di pikiranmu, Raka?" tanya dosen itu sambil menatapku tajam.

"Bukan apa-apa. Saya hanya teringat masa kecil saya," ucapku jujur, karena memang klan kami terkenal akan kejujuranya.

"Kalian semua dengar? Satu-satunya pangeran di negeri Airial, yang sudah pasti mewarisi tahta raja, ternyata masih tidak bisa lepas dari masa kanak-kanaknya. Hahaha ... memalukan," ucap dosen itu yang malah menghinaku.

Aku benar-benar tidak terima dengan perlakuan seperti ini. Menurut klan kami, harga diri adalah yang paling penting di atas segalanya.

Guru itu masih terus menertawakanku seakan aku mahasiswa paling konyol di universitas ini. Untungnya, seluruh teman-temanku hanya diam dan takut untuk mentertawakanku, atau lebih tepatnya merasa sungkan.

"Memangnya salah ya, kalau saya mengingat masa kecil saya? Semua orang juga pernah kecil, termasuk bapak sendiri," ucapku membela diri.

"Tidak ada salahnya untuk mengingat masa kecil. Semua orang juga pasti memiliki memori masa kecil tersendiri, yang mungkin saja sangat membekas dalam benak mereka. Entah itu ingatan bahagia, atau malah trauma yang menyedihkan ... yang salah adalah, jika kau terus-menerus terjebak dalam memori itu, dan sama sekali tidak ada niatan untuk menciptakan memori baru yang jauh lebih baik lagi."

Kali ini aku merasa bahwa dosen itu ada benarnya juga.

"Saya tadi cuma teringat akan masa lalu saya, yang penuh dengan canda tawa. Maklum saja, saat masih kanak-kanak, saya sama sekali tidak memiliki beban maupun masalah, tidak seperti saat ini."

Aku pun memilih kalah dengan orang yang satu ini, karena jika aku sampai berdebat dengan seorang pakar bahasa terbaik se-Airial, sudah pasti aku akan dipermalukan. Meskipun, pada dasarnya dia hanyalah manusia biasa.

"Ingat satu hal Raka, bahwa jangan sampai kau jadi anak-anak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa, karena itu hanya akan menjadikanmu orang idiot. Sebaliknya, jadilah orang dewasa yang terlihat seperti anak-anak, maka kau akan memiliki pola pikir seluas orang dewasa, tapi juga sejernih dan setulus pemikiran anak-anak," ujar dosen itu sambil menatap mataku dalam-dalam.

Eleminar : The Prince of AirialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang