The First Wave

78 17 13
                                    

Tanpa banyak bicara, petugas itu pun langsung menariku untuk menaiki salah satu ubin itu.

Terlihat beberapa orang gadis juga menaiki ubin yang sama dengan kami. Mereka sedikit terkejut saat menatapku, dan aku yakin mereka pasti akan meminta foto bersama, apabila kondisinya sedikit lebih baik.

Petugas itu terlihat menekan beberapa tombol di panel LED, yang membuat ubin ini bercahaya, dan langsung melesat naik ke atas seperti sebuah lift terbang tanpa kabel.

Aku dapat melihat beberapa ubin sama seperti yang kami naiki, tengah melesat ke atas dengan 5 sampai 6 orang penumpang di dalamnya.

"Aaaah ... apa ini?" teriak salah seorang gadis, sambil berpegangan erat pada tepian kaca.

"Jangan khawatir. Ini hanyalah sebuah lift berteknologi magnetik yang tengah kami kembangkan. Lift melayang ini jauh lebih cepat dan stabil, jika dibandingkan dengan lift biasa," ucap petugas itu sambil mendongak ke lantai atas yang berlubang.

Memang benar. Ubin terbang ini, atau yang dia sebut sebagai lift magnetik memang memiliki kecepatan dan keseimbangan yang luar biasa.

Kami dengan cepat melesat ke lantai tertinggi hanya dalam hitungan detik, dan juga tanpa adanya guncangan maupun getaran sedikitpun.

Kami pun sampai di lantai 5 perpustakaan ini, yang sepertinya digunakan untuk ruang baca outdoor. Di sangat sini indah, dan juga nyaman sekali. Ketinggianya sangat pas untuk bisa mendapat udara segar yang menerpa kami dengan ringan.

Pemandanganya juga sangat indah dan dari kejauhan, aku dapat melihat birunya laut, beserta gelombang pasang setinggi 20 meter yang menuju ke arah kami ....

Ada sebuah pulau buatan kecil di sekitar sini. Pulau itu digunakan untuk penelitian biota laut dan juga pelestarian terumbu karang. Beberapa kali aku pergi ke sana, sekedar untuk bertamasya dan melihat-lihat pemandangan.

Namun barusan, aku melihat pulau buatan itu hancur karena tertimpa  gelombang tsunami yang mengerikan.

"Apa semua orang sudah dievakuasi?" teriak salah seorang petugas perpustakaan.

"Sudah. Tapi kita tidak punya cukup waktu untuk menyelamatkan seluruh buku," ucap salah seorang petugas perpustakaan sambil menunduk.

"Gawat! Jika gelombang itu sampai ke sini, maka seluruh buku di dua lantai terbawah akan hancur." 

Tentu saja mereka gelisah, karena ribuan koleksi buku yang telah mereka kumpulkan selama ratusan tahun, akan lenyap dalam beberapa menit.

"Gelombangnya sudah mencapai pantai!" teriak salah seorang pengunjung dengan panik.

Aku dapat melihat gulungan ombak besar yang menerjang dinding hutan bakau raksasa setinggi 5 meter dengan sangat mudahnya.

Hutan bakau itu bukanlah hutan bakau biasa. Kami, dengan segenap kecanggihan teknologi, berusaha memanipulasi pohon bakau melalui rekayasa genetik.

Hasilnya, terciptalah pohon bakau yang jauh lebih besar dan tinggi dibanding dengan ukuran normalnya, dan telah kami gunakan sebagai dinding alami untuk melindungi seluruh pulau dari gelombang tsunami yang menerjang.

"Wahai para elinar, tunjukan kemampuan kalian dan hadang gelombang itu!" teriak salah seorang elinar bertubuh besar yang berlari keluar dari perpustakaan, di susul oleh beberapa elinar lain di belakangnya.

Aku kenal orang itu. Dia adalah seniorku di universitas pulau Wastra.

Dia adalah salah satu mahasiswa terbaik, sekaligus tercerdas di seluruh kampus, dan sudah lama aku ingin menyainginya, tapi ilmu pengetahuanku tidaklah cukup.

Eleminar : The Prince of AirialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang