Kami berdua pun pergi untuk mengunjungi perpustakaan besar itu.
Di sini sangat ramai, dan aku sangat-sangat membenci keramaian. Nyaris saja aku mengurungkan niatku untuk pergi ke perpustakaan itu, namun keinginan akan mendapat jawaban atas pertanyaanku sangatlah kuat, hingga membuatku mengabaikan perasaanku.
"Huh ... Pasti sulit untuk mencari buku yang kumaksud, jika situasinya ramai seperti ini." Aku menggerutu seorang diri.
"Besok ajalah kau kesini lagi, sekarang cari makan dulu yuk. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan nih," keluh Toni sambil memegangi perutnya.
"Kau pergi saja dulu, nanti aku menyusul," ucapku menyuruhnya pergi.
Keinginanku untuk meminjam beberapa buku sudah membulat, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghentikanya.
"Hey Raka, ingat satu hal bahwa, ilmu pengetahuan itu kekal abadi, dan tidak akan termakan oleh waktu, jadi kau masih bisa mempelajarinya besok atau lusa," ucap Toni yang berusaha meyakinkanku.
"Memang benar, tapi apabila kita menunda-nunda suatu perkara dengan sengaja, maka tidak ada jaminan jika kita mampu melakukanya besok. Iya kalau kita masih hidup, kalau tidak gimana?" ucapku menyangkalnya.
"Iya deh, iya ... aku ngikut ajalah," ucap Toni sambil memasang muka malas.
Kami berdua pun masuk ke dalam perpustakaan yang sangat ramai itu. Jika kita tidak sedang berada di pusat ilmu pengetahuan, yang tentunya hanya dikunjungi oleh orang-orang berilmu saja, tentu sebuah perpustakaan tidak akan jadi seramai ini.
Kami pun masuk melalui pintu besar di hadapan lobi. Bangunan ini sangat luas, dengan desain arsitektur kuno, yang mirip seperti bangunan abad ke-50 setelah dunia diciptakan.
Maklum saja, ini adalah bangunan pertama di pulau Wastra, yang bahkan sudah dibangun sejak pulau ini pertama ditemukan.
"Kita mau kemana sih Raka? Aku haus nih," ucap Toni yang dari tadi hanya merengek.
"Aku masih mencari suatu buku, tapi tidak tahu di mana tempatnya." Aku sedikit tersesat karena tempat ini begitu besar, dan tata letaknya sudah berubah karena ada perbaikan.
"Tanya petugas perpus ajalah. Kalau bisa, jangan lama-lama ya. Aku haus banget nih, dan di sini kayaknya gak ada yang jual minuman deh," ucap Toni yang seakan tidak nyaman, berada di tempat yang dikelilingi oleh buku.
"Mungkin akan cukup lama, tapi kalau kau memang haus, tunggu sebentar ya ...," ucapku sambil mengangkat telapak tanganku seolah hendak berdoa.
'partum aquos colligentes ....'
Aku merapal mantra elinar yang digunakan untuk menciptakan air menggunakan energi kehidupanku.
Seketika, bulir-bulir air tercipta dan mengapung di hadapanku, yang kemudian aku masukan ke dalam botol minumanku yang telah kosong.
Kami para elinar, memang memiliki kemampuan untuk memanipulasi elemen menggunakan energi kehidupan kami, atau yang biasa disebut sebagai 'manna.'
Kemampuan manipulasi kami tergantung pada banyaknya manna yang terkumpul di tubuh kami. Intinya, semakin banyak manna yang kami keluarkan, maka akan semakin banyak pula air yang dapat kami ciptakan.
Kami juga tidak boleh ceroboh dalam menggunakan manna, karena apabila energi kehidupan dalam tubuh kami telah habis, maka ... yah, tahu sendiri lah apa akibatnya, sama seperti jam tangan yang kehabisan batrai.
"Hey! Dilarang makan, minum, dan menggunakan kekuatan apapun di dalam sini," bentak penjaga perpustakaan sambil mendatangi kami.
"Eh ... Pangeran Raka? Ma-maafkan saya pangeran, saya sudah kasar." Bukanya aku yang meminta maaf, malahan orang itu yang meminta maaf duluan saat melihat wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleminar : The Prince of Airial
Fantasy#Just a story tale about the fourth elements. Kalian kira, jadi pangeran itu gampang? Haha ... lucu, karena mungkin cuma aku, satu-satunya manusia (atau mungkin bukan) yang sudah muak hidup di kerajaan. Lagi pula apa enaknya? Kemewahan tidak seband...