Pada akhirnya, Chanyeol memutuskan untuk masuk ke perguruan tinggi yang ada di kota itu. Dia tidak ingin meninggalkan rumah dan Ibunya. Lagi pula, menurut Chanyeol, perguruan tinggi yang ada di sana tidaklah buruk. Malah termasuk sebagai salah satu yang terbaik di negara mereka.
Mengikuti Chanyeol, Baekhyun masuk ke dalam perguruan tinggi yang sama. Dan seperti yang Chanyeol sarankan, ia memilih jurusan Psikologi.
Selain untuk mempersiapkan 'cara mengasuh anak yang benar' dengan mempelajari psikologi, salah satu tujuan Chanyeol yang lain (dan terselubung) adalah agar cara berpikir Baekhyun menjadi sedikit normal. Berobat jalan istilahnya.
Tapi, ternyata... :")
Tak Chanyeol sangka, Baekhyun menjadi sangat tertarik pada apa yang ia pelajari di sana. Pelajaran yang diberikan, merupakan hal-hal baru untuk Baekhyun. Ah, kecuali untuk statistika. Parametrik maupun yang non parametrik. Baekhyun sudah menguasainya ketika di kelas satu sekolah menengah atas.
Baekhyun hanya baru menyadari bahwa... mempelajari perilaku manusia itu lumayan menarik. Tidak. Dia tidak belajar menjadi peramal atau paranormal dan sebagainya. Itu bodoh sekali. Mereka yang menganggap jika masuk ke jurusan psikologi, itu berarti para mahasiswanya bisa membaca pikiran dan lain-lain. Ayolah, jangan bercanda. Para mahasiswa ini hanyalah manusia biasa. Jangan paksa mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah mereka pelajari.
Membaca pikiran? Itu konyol. Tidak ada mata kuliah di jurusan psikologi yang mengajarkan hal itu.
Oke, berhenti membicarakan ini. Saya jadi emosi. Kembali ke mereka berdua.
"Yeollie..."
Baekhyun melempar ponselnya ke sisi sofa bagian lain. Ia bosan memainkan permainan sudoku yang ada di sana. Lalu, menoleh menatap Chanyeol yang tengah berkirim pesan dengan teman-temannya di group chat.
"Hm?"
Lengan itu Baekhyun peluk. Dagunya bertumpu pada bahu Chanyeol. Mata sipitnya menatap layar ponsel itu dengan tidak berminat.
"Aku ingin lanjut mengambil Magister nanti. Apa boleh?"
Jemari Chanyeol yang tadi bergerak untuk mengetik di layar ponsel, berhenti. Ia menoleh. Sedikit tidak menyangka, Baekhyun yang kemarin bahkan sempat menolak untuk kuliah, sekarang sudah memiliki rencana untuk lanjut mengambil Magister.
"Tentu saja boleh. Kenapa tidak boleh?"
Telunjuk lentik itu bergerak abstrak di dada bidangnya. Chanyeol bisa melihat panjang bulu mata Baekhyun dari posisi ini.
"Aku... ingin bekerja, boleh?" tanya si manis itu lagi.
Kedua mata besar Chanyeol mengerjap, "Kalau pekerjaannya tidak berat, tentu boleh. Kau tidak ingin menjadi ilmuwan seperti Ayahmu, kan?"
Baekhyun menggeleng, "Tidak."
"Baguslah."
Perhatian Chanyeol pun kembali tertuju pada layar ponselnya. Melihat itu, Baekhyun memajukan bibirnya sebal.
"Daddy~" rengeknya pelan.
"Kenapa?"
Pelukan di lengan, semakin dieratkan.
"Aku ingin bekerja di rumah sakit jiwa."
Bagai mendengar petir di siang bolong, Chanyeol sontak menatap Baekhyun dengan horror.
"Baek, jangan bercanda."
"Aku tidak bercanda~" rengek Baekhyun lagi.
"Nanti kau gila!" seru Chanyeol. Tidak menyentuh rumah sakit jiwa saja dia sudah gila. Apalagi jika bekerja di sana.
"Tidak akan!"
"Tidak, tidak, tidak. Tidak boleh! Cari pekerjaan lain! Atau jangan bekerja! Aku akan memberikanmu uang yang banyak setiap harinya untuk kau habiskan!"
Rengekan Baekhyun kembali terdengar, "Aku ingin bekerja di sana bukan karena uang, Yeollie~"
"Lalu, karena apa?! Kau ingin meneliti pasiennya satu per satu?!"
"Itu--"
"Sekali ku bilang tidak, tetap tidak!"
Bibir tipis itu sontak menekuk ke bawah. Kedua matanya berkaca-kaca. Dia sangat tidak suka ketika Chanyeol mengeraskan suaranya dengan kasar. Pelukan di lengan, langsung dilepas.
Chanyeol menghela napas, "Baby.." jemarinya yang mencoba untuk menarik kembali tangan itu, ditepis.
"Sayang, maafkan aku," ujarnya penuh rasa bersalah, "Aku tidak bermaksud untuk membentakmu. Aku hanya khawatir. Bagaimana jika nanti ada pasien yang terobsesi padamu, lalu melakukan hal-hal yang mengerikan? Aku tidak mau itu sampai terjadi."
Ayolah, jangan buat Chanyeol menyesal karena sudah menyarankan jurusan Psikologi kepada Baekhyun.
"Tapi, aku ingin ke sana," lirih si manis itu.
Chanyeol kembali menghela napas. Lengannya merangkul bahu itu dengan lembut, "Kau ingin ke sana? Ku temani ke sana nanti. Hanya satu kali. Dan tidak dengan bekerja di tempat itu."
Baekhyun menoleh dan menatap Chanyeol dengan penuh harap, "Kita akan kencan ke sana?"
Demi Neptunus, Chanyeol tidak akan pernah menganggap itu sebagai kencan! Sejak kapan pula rumah sakit jiwa menjadi destinasi kencan sepasang kekasih?!
"Kita akan ke sana. Tapi, tidak dalam waktu dekat, dan setelah kita berhasil pergi, kau tidak boleh ke sana lagi. Mengerti?"
Baekhyun mengangguk menurut. Rambut halusnya di usak lembut oleh Chanyeol. Lalu, pucuk kepala dikecup.
"Aku mencintaimu, Baby."
"Me too, Daddy."
"Sudah beri makan kelomangmu?"
"....."
".....?"
"...."
"...kau... kau tidak mengapa-apakan mereka, kan?"
"C-Chanyeol, aku ingat kalau aku ada keperluan--"
"Kau apakan kelomangmu, Byun Baekhyun?!"
TititBesarChanyeol.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEIRD [ChanBaek] [SELESAI] ✔
FanfictionSemua ini berisi tentang kebucinan Chanyeol dan kegilaan Baekhyun :") Cover ucul ini dibuat oleh @baekfii [6 Juni 2019 - 4 Agustus 2019]