BAB 12 : Romansa Tujuh Kali Dua Puluh Empat Jam [ 2 ]

133 23 1
                                    

~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~

Ada saat di mana seseorang merasa yang terkuat pun dapat dikalah, yang hebat pun dapat kalah telak, dan yang sulit pun dapat diatasi dengan mudah. Namun sayang, sadar tidak sadar hal yang menyokong kemenangan kadang terabaikan dalam pandangan juga rasa dalam dada.

~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~ • ~• ~ • ~

Suara derap langkah terdengar ketika sepasang tungkai berbalut heels tengah menyusuri jalan setapak dengan langkah gontai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara derap langkah terdengar ketika sepasang tungkai berbalut heels tengah menyusuri jalan setapak dengan langkah gontai. Mencoba berdiri tegar walau seperti ada belati tajam tertancap di jantungnya.

Semua jelas sudah untuk dipahami olehnya tentang betapa Tuhan sangat benci padanya sehingga tidak memberikan keadilan pada hati yang semalam masih berharap untuk balasan hati, yang ternyata hanya berupa iming-iming semata.

Kembali hatinya tergores untuk kesekian kali pada alasan yang sama pula seperti malam sebelumnya, Damian dan perempuan lain.

Hati yang semula menemukan pijakan harapan, diluluh lantakkan begitu saja tatkala kedua pendangannya menangkap sesuatu yang menyakitkan hati.

Berbagai pertanyaan menghantui benak, apa yang kedua orang itu lakukan di perpustakaan? Bahkan waktu ajar mengajar telah habis. Kemudian kesimpulan negatif yang ia ambil turut mendalamkan luka goresan hatinya.

Kesedihan membawanya berakhir di jalan setapak ini, meninggalkan supir pribadi yang sedari tadi menghubungi namun ia abaikan, apalah dayanya? Bahkan untuk berjalan saja, setengah mati ia lakukan. Hanya kepala tertunduk yang mewakilkan duka mendalam betapa hati sekarat oleh cinta namun tak ada balasan yang menjawab.

Qiandra butuh seseorang untuk menumpah ruahkan ceritanya yang sudah memberat di hati, maka berakhirlah ia di depan salah satu toko bunga, searah dengan jalan setapak yang ia telusuri tadi.

Angin sore menerbangkan beberapa helai anak rambutnya, membuat suasana di sekitar begitu damai terasa, sedikit mengobati sakit hati.

Bunyi lonceng ketika pintu ia tarik, tidak berhasil menyita perhatian sepasang anak muda di ujung sana. Ya, Qiandra mengenal mereka bedua.

"Ayolah, jangan terus mengurus bunga. Aku juga perlu diurus," sungut Aldrich di sana sambil memainkan raut di wajahnya agar tampak natural sedang merajuk. Namun, hal tersebut tak berarti apa-apa karena Amanda tetap fokus pada kegiatannya. Ia hanya melirik sebentar lalu kembali tak peduli.

"Hei, aku juga butuh perhatian seperti bunga itu." Tangan Aldrich menahan pergerakan lengan Amanda. Alhasil, gadis itu kewalahan untuk menyemprot bunga-bunga di depan.

"Ya sudah kalau kau sangat ingin seperti bunga itu," wajah Aldrich sontak menjauh tatkala penyemprot tadi sengaja ditekan oleh Amanda. Alhasil, hampir seluruh wajahnya terguyur oleh air. Mau tidak mau tawa gadis itu kemudian memecah hening dalam ruangan tersebut. Qiandra yang turut menyaksikan tanpa sepengetahuan mereka sedikit terhibur oleh interaksi kecil keduanya. "Masih ingin merasa iri dengan bunga-bunga ini?"

REMEDIAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang