Sebuah lorong yang paling jarang dilewati oleh mahasiswa kampus. Lorong di ujung kampus yang mengarah ke ruang penyimpanan. Di sana terdapat dua insan yang berdiri berhadapan. Membicarakan sesuatu yang cukup serius di antara mereka.
"Nick, aku menyukaimu" Seorang wanita dengan rambut hitam sebahu tanpa ragu mengungkapkan perasaannya pada pria di hadapannya.
Pria tinggi berambut hitam yang diidamkan segala penjuru kampus. Nicholas Aaron, mahasiswa bisnis yang sangat populer di universitasnya. Hampir seluruh wanita di universitasnya jatuh cinta pada ketampanannya.
"Maaf, aku tidak bisa menerima perasaanmu" ucap Nick dengan sopan
"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan? Apa kurangnya aku?" tanya wanita itu tampak frustasi.
"Tidak ada yang kurang. Hanya saja aku tidak bisa menganggapmu lebih dari seorang teman. Maaf" Nick tersenyum kecil pada wanita di hadapannya itu.
Wanita itu terluka. Selama ini dia mengira respon yang diberikan Nick adalah sinyal positif pada perasaannya. Maka dari itu, hari ini ia mengajak Nick bertemu dan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Tapi apa ini? Kenapa malah seperti ini?
Ia menunduk dan menangis "Baiklah. Maaf mengganggu waktumu" ucapnya sebelum berlari pergi.
Nick menghela nafasnya. Sesaat kemudian dia tersenyum angkuh kemudian mengambil notebooknya dan menulis sesuatu disana.
"Hey, Nick!" Seorang wanita pendek dengan rambut blonde memanggil Nick dari kejauhan.
Pria itu dengan cepat dan terburu-buru menyembunyikan notebooknya ke dalam tas. "Hey, Vi" sapa Nick
"Aku mencarimu kemana-mana, brengsek" gerutu Vienna
"Bukankah sudah ketiga kalinya dalam minggu ini?" tanya Vienna menepuk pundak temannya itu.
"Apa?"
"Seseorang mengungkapkan perasaannya padamu" ujar Vienna memberi kode pada Nick bahwa ia sempat melihat kejadian tadi meskipun hanya sebagian.
Nick mengangguk
"Tidak adakah yang menarik di matamu?" tanya Vienna heran. Bagaimana bisa pria di hadapannya ini masih nyaman berada di status single
Nick menggeleng "Aku berterima kasih mereka mau menyukaiku. Tapi aku sangat meminta maaf, hati dan mata ini belum tertarik dengan siapapun" pria itu terkekeh. Vienna memukulnya dan menatapnya sebal. Mempunyai sahabat pria yang sangat populer kadang membuatnya kerepotan.
"Ayo pergi makan siang. Ian sudah menunggu kita di kantin" ujar Vienna menarik Nick yang tidak menyadari bahwa notebooknya terjatuh.
***
"Apa kau belum berniat berkencan lagi?" tanya Ian sembari mengunyah makanannya. Ia cukup penasaran setelah mengetahui bahwa temannya itu mendapatkan pernyataan cinta lagi.Vienna ikut menoleh ke arah Nick menanti jawaban yang akan keluar dari mulut pria itu.
"Aku akan berkencan kalau memang sudah menemukan wanita yang pas" jawab Nick spontan
Ian dan Vienna saling bertatapan dan mengirim sinyal negatif. Mereka berdua cukup yakin Nick belum sepenuhnya melupakan mantan kekasihnya karena itulah dia belom menjalin hubungan lagi.
"Hidup itu harus terus berjalan. Kau harus move on, bro" ujar Ian. Vienna menyikutnya dan menatap Nick waspada. Takut-takut pria itu murka karena Ian menyinggung hal sensitifnya.
Tapi Nick tampak tidak peduli dan melanjutkan makan siangnya. Entah dia benar-benar tidak peduli atau pura-pura untuk tidak peduli.
"Aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku ada pertemuan dengan klubku sebentar lagi" ujar Vienna berdiri mengambil tasnya dan bersiap pergi
"Vi, apa aku bisa meminjam uangmu?" tanya Ian sebelum Vienna beranjak pergi
"Apa? Uang lagi? Kali ini untuk apa? Berkencan lagi?"
Ian tersenyum ragu dan mengacak rambutnya "Aku ada kencan setelah ini"
Vienna menggeleng heran "Apa aku ibumu? Aku terus menerus memberimu uang untuk kencanmu"
"Vii..." bujuk Ian
"Kalau kau tidak punya uang, tidak usah berkencan saja!" cetus Vienna tampak sebal kemudian berlalu pergi tanpa memberikan uang sepeserpun pada yang sedang membutuhkan
"Nick.." Ian beralih pada sahabat terbaik satunya. Sahabat seperjuangannya.
Nick menghela nafas dan meraih tasnya "Berapa yang kau butuhkan?" tanyanya sembari mencari dompetnya. Saat seperti ini saja Ian baru memanggilnya dengan nama.
Ian sontak tersenyum sumringah "Apa kau punya 50 dollar?"
Tiba-tiba rasa panik menyerang diri Nick. Ia menelan ludahnya dengan susah payah sembari melacak isi tasnya dengan teliti.
"Dompetmu hilang? Atau kau lupa membawa uang?" tanya Ian yang menyadari perubahan ekspresi Nick
"Bukan itu.." ujar Nick. Oh Tuhan. Notebooknya benar-benar tidak ada di dalam tasnya.
Gawat. Ini gawat. Benar-benar gawat.
Nick mengeluarkan dompetnya kemudian memberikan Ian beberapa lembar uang dollar. "Gunakan ini. Aku harus pergi dulu mencari sesuatu"
"Apa perlu kubantu mencari?" tanya Ian
"Tidak. Tidak perlu. Kurasa tertinggal. Aku pergi dulu"
***
"Aku yakin notebook itu terjatuh disini" Nick tampak mondar-mandir di lorong ujung kampus, tepat dimana ia mendapat pernyataan cinta tadi. Pandangannya lurus ke ubin lantai mencari notebooknya."Atau terjatuh saat menuju ke kantin?" gumam Nick pada dirinya sendiri. Berusaha keras untuk mengingat lebih detail kejadian tadi.
Ketika ia menulis di notebooknya, Vienna tiba-tiba datang membuatnya panik dan asal memasukkan notebooknya ke dalam tas. Kemungkinan besar notebook itu memang jatuh disini. Tapi kenapa sekarang tidak ada?
Gawat kalau seseorang menemukan dan membacanya.
"Apa kau mencari ini?" suara seorang perempuan membuat Nick mendongak. Pandangannya berhenti pada seorang perempuan cantik yang berdiri di hadapannya sembari memegang notebooknya.
Oh benar!
Itu notebooknya.
Nick menghela nafas lega "Ahh iya benar" semoga perempuan itu tidak membacanya.
"Terima kasih sudah menemukannya" Nick menjulurkan tangannya untuk meminta notebooknya kembali
"Aku tidak berniat mengembalikannya semudah itu" ujar perempuan berambut coklat itu langsung.
"Ap..apa?" heran Nick
"Kenapa?"
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pleasure Me
RomanceWARNING: MATURE CONTENT!!! (17+) Keseluruhan cerita ini mengandung konten dewasa. Sangat diharapkan kebijakan para pembaca dalam memilih konten bacaan. Terima kasih. *** "Bila kau mempercayaiku, pejamkan saja matamu dan serahkan semuanya padaku. Aku...