Part 3

143 22 5
                                    


Pagi ini ketika aku terbangun, aku berharap apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi. Bahkan aku berharap sebagian besar hidupku adalah mimpi. Akan sangat menyenangkan jika aku terbangun dipelukan ibu, dan mendapati diriku masih berumur 4 tahun. Sebuah angan-angan bodoh tentu saja. Kepalaku terasa berat, dan hatiku tak tenang.

Ketika aku tumbuh, Nenek mengajariku bahwa manusia memiliki kehendak bebas sebagai anugrah dari sang Ilahi. Artinya manusia bebas memilih takdirnya sendiri. Seperti Adam dengan memilih untuk makan dari buah terlarang. Lalu pertanyaannya apakah aku bisa memilih siapa yang aku cintai. Aku termasuk orang yang sulit jatuh cinta. 27 tahun hidup, baru 2 kali aku pacaran. Satu saat awal masuk SMA, satu lagi saat aku semester akhir kuliah. Keduanya bertahan kurang dari setahun. Dan aku tidak benar-benar mencintai mereka. Meski singkat keduanya pernah aku tiduri. Aku beberapa kali pernah melakukan one night stand.

Setelah mulai kerja baru aku benar-benar jatuh cinta. Tetapi mengapa dia harus seorang LC. Dan sekarang dia seorang HIV +, sekaligus hamil diluar nikah. Aku bilang ini semacam paket lengkap kelompok marginal. Bayangkan betapa banyak diskriminasi dan sterotipe yang akan dia terima. Nenek pasti setuju, tetapi bagaimanapun juga dia pasti kecewa dengan pilihanku. Dan pasti banyak orang akan nyinyir soal hubungan kami. Benarkah manusia memiliki kehendak bebas. Jika memang demikian mengapa Romeo bisa jatuh cinta pada seorang Capulet dan Juliet bisa jatuh cinta pada seorang Montague. Cinta memang penuh misteri. Jadi biarlah misteri tetap menjadi misteri. Untuk saat ini aku ingin berusaha profesional. Walaupun aku tak suka dengan kata itu. Dalam dunia pendampingan kata profesional berpotensi mematikan simpati, dan menjadikan seseorang sebagai robot.

Siang ini aku janji untuk makan siang dengan Vera. Kami berjanji untuk bertemu di sebuah kedai kopi yang masih baru. Aku memilih tempat itu karena menurut perkiraanku tempat itu pasti masih sepi, sehingga cukup kondusif untuk mengobrol. Apalagi kami akan membicarakan sesuatu yang serius. Hari ini aku ingin membahas tindak lanjut hasil tes kemarin bersama Vera.

Sesampainya disana ternyata Vera sudah menungguku. Dugaanku benar, tempat itu masih sangat sepi. Aku yakin kedai itu akan segera terkenal. Karena mereka memiliki tempat yang sangat indah. Desain arsitetur kedai itu bergaya jawa klasik, dan didominasi dengan funiture dari kayu. Bagian belakang kedai ada kebun yang luas lengkap dengan gazebo kecil berkapasita 4-5 orang. Jarak antar gazebo cukup jauh, sehingga mampu menciptakan ruang "aman" bagi kami. Dalam proses konseling pemilihan tempat bisa sangat berpengaruh. Aku percaya suasana linkungan yang baik bisa membantu menciptakan suasana hati yang baik pula. Karena itulah untuk follow up Mitra Kerja yang telah terinfeksi aku berusaha memilih tempat yang jauh dari kesan formal. Agar mereka bisa merasa lebih nyaman.

Setelah memarkir motor, langsung aku menghampiri Vera dan duduk berhadapan. Dia telah menungguku di salah satu gazebo. Kedai itu mengangkat tema Jawa, mereka menyediakan berbagai macam menu angkringan yang bisa diambil sendiri. Setelah itu pengunjung akan diberi tungku kecil untuk memanaskan makanan yang diambil. Untuk pengunjung yang menginginkan makan berat mereka menyediakan berbagai macam jajanan khas kaki lima, seperti bakmi, nasi goreng, dan aneka penyetan. Suasana di kedai itu sangat bagus untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan.

Aku dan Vera memesan menu yang sama. Kami sama-sama memesan nasi goreng sea food. Untuk minum Vera memesan latte, sedangkan aku memesan segelas Milk Shake Coklat. Kulihat mata Vera sedikit lembam. Pasti dia menangis semalam. "Bisa tidur semalam?" tanyaku membuka pembicaraan. Pertanyaan bodoh sebenarnya, hanya saja aku tak tahu bagaimana harus memulai bicara. Berdasarkan pengalamanku rata-rata seseorang akan suli tidur setelah menerima hasil +. Kebanyakan orang pun akan kesulitan tidur jika menghadapi situasi-situasi sulit. Aku pun tak bisa tidur semalam. "Bisa," jawabnya singkat. Jawaban basa-basi dan penuh kebohongan. Dari matanya jelas Vera tidak tidur. Pertanyaan bodoh dijawab seadanya, sebuah permulaan yang buruk bagiku. Jelas aku telah kehilangan arah. Kuliah 4 tahun ditambah pengalaman 3 tahun, masihkah ada artinya?

Aku mengeluarkan rokokku. Rokok bagiku bisa menjadi "bahasa international". Rokok sangat efektif mencairkan berbagai macam suasana dan menjadi sarana untuk memulai obrolan. Vera mengeluarkan rokok sendiri. "Aku dah bawa sendiri," katanya. Selera rokok kami berbeda. Aku suka rokok mild yang ringan dan dia lebih suka yang berat dengan kadar nikotin lebih besar. Rasanya lebih mantap katanya. Kami menyalakan rokok, dan bertahan dalam keheningan sambil menunggu pesanan kami datang. Rokok tidak bekerja seefektif biasanya.

Makanan kami datang, rasanya begitu hambar. Entah karena memang tidak enak atau karena hati yang gelisah, bisa jadi pula karena pikiran yang sedang kalud. "Enak ya, murah lagi," kataku basa-basi lagi karena putus asa, "kalau malam hang out disini asik kayaknya." "Iya, campuranya lengkap," jawabnya datar. Dari situ bisa disimpulkan bahwa masalah bukan pada masakan tetapi dari dalam diri kami. "HIV laknat," umpatku dalam hati.

Usai makan kami kembali menyalakan rokok. Milk Shakeku terasa terlalu dingin. Otakku terus berputar untuk mencari bahan pebicaraan. Tetapi hasilnya selalu nihil. Satu-satunya hal yang ingin aku katakan saat ini adalah aku mencinatinya, tak peduli bagaianapun kondisinya saat ini, aku mau menikahinya. Aku mau menjadi ayah untuk bayi yang sedang dikandungnya. Namun lidahku tertahan entah karena apa.

"Tiga bulan lalu kamu tes dan hasilnya non reaktif," kataku profesional. "Profesional" aku benar-benar benci dengan kata itu, karena membuatku berhenti menjadi manusia tapi persetanlah. Persetan dengan cinta, aku sedang kerja sekarang. "Jika kita mengambil asumsi waktu itu kamu dalam periode jendela*, berarti kamu sudah terinfeksi sekitar 6 bulan. Kemungkinan besar kurang dari itu. Artinya ini masih sangat baru," kataku menjelaskan. Terlihat Vera engan mendengarkan.

"Pada tahap awal, HIV masih sangat mudah dikendalikan. Ini berkaitan dengn janin yang ada di rahimmu. Kita masih bisa menyelamatkannya." Dengan menyebut janin aku harap aku bisa mendapat perhatiannya. Namun sepertinya Vera hanya mendengar sambil lalu. Terserahlah, aku sudah melakukan tugasku untuk menyampaikan informasi, mau didengar atau tidak, itu pilihan bebas Vera.

"Sekarang ada program yang namanya PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission) atau pencegahan penularan dari ibu ke anak. Pada dasarnya virus itu sama seperti mahkluk hidup lain yang mempunyai siklusnya masing-masing. Ada kalanya virus itu lemah, ada kalanya virus itu kuat. Melalui PMTCT kita bisa mengintervesi siklus virus itu, sehingga virus itu tidak akan cukup kuat untuk menikfeksi bayimu. Termasuk nanti hari kelahiran akan diatur dan melalui proses caersar untuk mengurangi resiko penularan. Untuk detailnya mungkin akan dijelaskan pihak rumah sakit. Buat kamu sendiri, ada banyak hal yang bisa dilakukan sehingga kamu tetap hidup sehat. Ini semua soal pilihan Ver."

Penjelasan panjangku sama sekali tak menarik baginya. Vera tetap diam dengan tatapan kosong. Aku pun ikut terdiam. Aku berpindah duduk disampingnya. Kepalaku terasa berat, dadaku begitu sesak, dan tanganku gemetar. "Tidak!", kataku pada tangan, "kau harus kuat!" Perlahan kuangkat tanganku, kudekatkan pada bahunya. Ingin kusentuhkan pada bahunya tetapi aku merasa ragu. Kukepalkan telapakku untuk menghimpun kekuatan. Kupejamkan mataku, terbayang wajah Ibu yang sedang terbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat pasi dengan badan kurus penuh borok. Aku ingin memeluknya tetapi semua orang melarangku mendekat. Katanya itu semua agar aku tak tertular. Itu ibuku. Aku tak peduli bagaimana keadaannya aku hanya ingin memeluknya. Bahkan jika aku harus pergi bersamanya aku rela. Aku pasti bahagia tinggal diantara bintang-bintang bersama Ibu. Kuremas-remaskan telapakku agar tak menjadi kaku. Akhirnya ku punya cukup keberanian untuk memeluknya. Kusandarkan kepalanya pada bahuku. Dan kubiarkan dia menangis. Terima kasih Tuhan atas cinta yang kau beri.


*ketika seseorang terinfeksi viru HIV, virus itu tidak bisa langsung terdeteksi melaui tes darah, karena reagen yang digunakan adalag reagen untuk mendeteksi antibody HIV. Sedangkan Antibody HIV baru terbentuk dalam wakru 1-3 bulan sejak terinfeksi. Masa terbentuknya antibody tersebut disebut dengan periode jendela. Seseorang yang melakukn tes HIV dan kemungkinan ada dalam periode biasanya akan diminta untuk tes ulang setelah 3 bulan. Untuk screaning donor darah, PMI mengunakan reagen untuk mendeteksi adanya virus.


Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang