Part 18

36 8 0
                                    

Usia kandungan Vera telah mencapai 7 bulan. Perutnya kini telah mulai membesar. Untuk merayakannya Vera mengajakku ke Ganjuran pada malam Jumat pertama. Ganjuran merupakan tempat ziarah orang Katolik yang terletak di daerah Bantul. Tempat ini sedikit berbeda dengan tempat ziarah lainnya. Nuansa Jawa begitu terasa.Di sana terdapat sebuah candi yang sekilas terlihat bercorak Hindu, namun sebenarnya candi itu merupakan hasil inkulturasi budaya Jawa dengan tradisi Katolik. Di dalam candi itu bertahta patung hati Kudus Tuhan Yesus berpakain Jawa. Dalam Bahasa Jawa patung itu disebut Tyas Dalem. Inkukturasi sempurna yang mengambarkan bahwa Allah ada bagi semua bangsa, dan Ia adalah raja bagi setiap suku. Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal juga bisa menjadi perantara keselamatan.

Malam itu,diterangi purnama, diiringi bunyi gamelan, orang-orang berdesakan memenuhi pelataran candi. Jiwa manusia ditakdirkan untuk senantiasa merindukan Sang Pencipta, hatinya takkan menjadi tenang hingga berjumpa dengan Hati yang Maha Kudus. Kami berdesakan untuk menyambut Sang Raja Semesta Alam, IA sang Agung yang berkenan hadir dalam Roti Suci Santapan Surgawi. Orang-orang berdesakan berusaha mendekat, mereka berebut mencium Velum yang digunakan untuk mengarak Sakramen Maha Kudus. Dua ribu tahun lalu, seorang perempuan yang telah bertahun-tahun pendarahan menjadi sembuh karena menjamah ujung jubah Yesus. Dalam tradisi Yahudi kala itu, seorang pendarahan dianngap najis, dan dilarang bersentuhan dengan orang lain. Namun karena kerinduan yang besar, dan digerakan oleh iman, perempuan itu berani untuk melewati batas tradisi. Dia yang seharusnya dikucilkan, memberanikan diri untuk keluar dan berdesakan bersama ribuan orang lain. Dengan penuh kerendahan hati, dan diliputi rasa takut, dia bergerak perlahan mendekati Sang Guru. Seorang najis, dilarang keras bersentuhan dengan orang lain, namun dia tahu jalan satu-satunya keselamatan hanyalah dengan menyentuh jubah Sang Guru. Di terus menyelusup di sela kaki kerumunan orang banyak. Setelah Sang Guru, berada dalam jangkauannya, dia menundukan muka ke tanah. Hatinya begitu berduka. Rasa tak layak menguasainya. Air matanya membasahi pertiwi, tangannya gemetar. Perlahan dia mengerakan tangannya dan menyentuhkan jarinya pada ujung jubah Yesu. Seketika dia merasakan energi mengalir ke dalam tubuhnya, seketika mujikzat terjadi, pendarahannya telah berhenti. Setelah bertahun-tahun menderita, pada hari itu keselamatan datang padanya. Kisah itulah yang menginspirasi penciuaman velum saat prosesi perarakan Sakramen Mahakudus. Jiwa-jiwa yang lelah berkerumun mencari kelegaan.

Aku berdiri membisu menatap Dia yang Agung. IA yang ada sebelum segalanya terjadi, yang Awal dan yang Akhir, Sang Sabda kekal berkenan hadir dalam rupa roti sederhana. Siapahkan aku ini, seorang hamba makan tubuh Tuannya. Roti malaikat, santapan surgawi pembawa keselamatan. Di hadapan-Nya aku tak berdaya. Air mataku menetes saat Sakramen Mahakudus melintas dihadapannku. Aku merindukan Ibu, aku merindukan Ayah. Jika IA, Putra tunggal Bapa, rela menyerahkan nyawa demi manusia, maka siapa aku ini menolak untuk menderita. Meski hidup telah berlaku keras, namun Tuhan tidak pernah membiarkanku binasa. Allah menghajar orang-orang yang diperhitungkannya sebagai anak. Begitu kata penulis surat kepada orang Ibrani. Waktu telah membuktikan bahwa betapa keras Allah menghajarku, Dia pula yang menyembuhkan. Allah telah memelihara hidupku dengan begitu baik. Aku menperoleh segala yang aku perlukan. Aku mendapat cukup banyak cinta. Ketika dia pergi, itu bukan keiingiannya. Takdirlah yang telah menggariskannyandemikian. Aku masih ingat hangat peluk tubuhnya. Dari sana aku tahu dia mencintaiku. Dan Ayah, dialah yang memberi aku nama Bayu. Angin adalah sahabat samudra. Setiap pelaut, menggantungkan untung malangnya padanya. Ayah memberi aku nama Bayu, agar aku bisa selalu bersamanya di samudra. Agar dia bisa sampaikan rindunya padaku. Saat Ibu, meninggal, Ayah kembali, dan dia berubah menjadi keras. Tetapi dia tidak jahat, saat itu dia hanya sedang takut dan binggung. Aku tahu dengan segala kelemahannya ayah mencintaiku, dan akupun mencintainya. Karena itu aku memaafkannya. Perlahan aku mendekat, berusaha menembus kerumunan orang-orang. Saat sampai tepat di hadapan-Nya aku berlutut mencium velum. Saat itu aku merasakan seseorang memelukku dan berbisik belajarlah dari Ku, sebab aku baik hati dan lemah lembut.

Usai prosesi aku dan Vera beristirahat di pendopo depan Gereja. Satu-persatu orang-orang pergi meninggalkan Candi. Suasana menjadi sedikit riuh. Namun tempat itu tak pernah kehilangan kesakralannya.

"Menurutmu apa cinta sejati itu benar-benar ada?", tanya Vera tiba-tiba. Sejak pulang dari Sendang Sono kami tak pernah lagi bicara sesuatu yang serius kecuali tentang proses terapi ARV dan PMTCT yang sedang dijalani Vera. Kami tak pernah bicara lagi soal cinta atau apapun yang menyangkut perasaan. Rasamya sangat aneh, jika Vera tiba-tiba bicara cinta. Aku diam, tak segera menjawab. Aku berusaha sungguh-sungguh untuk mencerna pertanyaan yang dia ajukan. Selama beberapa bulan ini kami sering melewati waktu bersama. Beberapa kali aku menginap di kos, dan aku telah menepati ku untuk memasak. Aku tak lagi memikirkan perasaanku sama sekali. Aku merasa nyaman dengan apa yang kami jalani. Meski tanpa ikatan, aku senang berada di dekatnya, dan melihat dia baik-baik saja. Aku senang melihat perutnya mebesar. Bagiku itu sesuatu yang menabjubkan. Aku bahagia dengan apa yang kami jalani selama ini. Aku takut jawabanku membuat apa yang telah terjalin rusak tiba-tiba. Maka aku berusaha untuk mengendapkan perasaanku sebelum menjawabnya. Setelah cukup yakin, baru aku memberi jawaban.

"Ada," kataku padanya. "Menurutku pernikahan, tidak selalu bedasarkan pada cinta. Dan pernikahan tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Pernikahan hanya menutup masalah lalu menciptakan masalah baru," katanya padaku.

Aku mengerti apa yang dikatakan Vera, dan aku pun setuju. Karena itulah aku selalu berusaha untuk menghargai pilihan hidupnya.

"Apa artinya Ver?", kataku. "Ada sepasang remaja sedang jatuh cinta, mereka sebenarnya tidak benar-benar mengerti apa yang mereka rasakan. Lalu mereka bercinca, dua amatir bodoh itu tidak bisa mengendalikan diri, dan akhirnya perempuannya hamil. Lalu mereka buru-buru menikah. Katanya demi harga diri, nama baik dan apalah. Bisa kau bayangkan apa yang selanjutnya terjadi ketika dua bucin menikah?" Katanya,.

Aku tersenyum memandangnya. "Itu alasanmu tidak mau menikah?" Tanyaku lagi. "Tidak juga. Apa artinya jika anakku punya orang tua lengkap tapi bapaknya brengsek?", katanya.

Jadi menurutmu aku brengsek?"

"Aku ga bilang gitu. Maksudku... Apa salah menjadi sigle parent? Aku bisa bekerja. Aku bisa menghidupi anakku. Faktanya banyak orang menikah hanya demi status, atau hanya sekedar numpang hidup. Bitch plisss. Kamu tahu, ak emang lonte, tapi aku anti mengadaikan perasaanku."

"Apa kamu memiliki perasan terhadapku?"

Vera diam tak menjawab pertanyaanku. " Jika diam berati iya, kamu tidak perlu membuktikan apapun"

"Aku lebih suka sendiri" katanya. Aku tertawa terbahak mendengarnya sehingga semua orang mengarahkan pandang kepada kami.

"Kamu tahu,  menurutku apa yang kamu bilang itu cuma bentuk lain dari bucin." Vera mengacungkan jari tengah padaku. "Aku tahu kamu perempuan tangguh , dan seperti aku bilang kamu tidak perlu membuktikan apapun. Mengakui perasaanmu tidak akan membuatmu kehilangan ke indiean mu. I love you no matter what. I just want you to be happy, and always be who you are," kataku lagi sambil menyanyikan lagu pada kalimat terakhir. Vera memukul lenganku, keras dan terasa sakit, tapi aku tahu itu pukulan manja. Aku tersenyum kecil, i love you too. Dia kemudian membalasnya dengan mengacungkan jari tengah, sambilberkata. "This for your worse voice."

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang