Part 9

65 12 0
                                    

Liburanku berjalan tak seperti yang aku harapkan. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya begitu sepi. Aku merindukan Vera. Sial, dia bahkan tak mau membaca pesanku. Aku dengar dari temannya dia sudah dua hari ijin sakit. Aku ingin mengajaknya ke Semarang. Setelah mendengar cerita Nenek kemarin aku jadi ingin berziarah ke makam orang tuaku. Agar tak larut dalam kesedihan aku menyibukan diri dengan membantu tante di toko besi. Banyak hal yang harus dibereskan. Aktivitas fisik membuatku sedikit lupa tentang Vera. "Kuat juga kamu ya," kata tante memujiku setelah aku merapikan puluhan sak semen. Aku tersenyum sambil melepas kaos untuk memamerkan ototku. "Tapi sayang hatinya rapuh," kata tante lagi sambil terbahak. Senyumku langsung sirna. Tante makin keras tertawa, Nenek pun ikut tertawa. "Percuma kuliah mahal-mahal, perasaannya masih bisa dimainin ama cewek," Nenek ikut menimpali. "Beda urusan Nek," kataku cemberut, "lagian dulu juga ga ada mata kuliah buat ngebet cewek." Aku masuk meninggalkan mereka. Tante terlihat makin bahagia. "Cie, ngambek," teriaknya penuh kemenangan. "Siapa ngambek, cape tante. Gerah pula," sahutku tak mau kalah.

Sambil bebaring ku raih hpku untuk mengecek chat yang masuk. Tak ada pesan masuk dari Vera. WAku didominasi pesan dari kantor. Karena aku sedang cuti, masa bodohlah. Beberapa teman megajakku nongkrong malam ini. Namun aku enggan menanggapinya. Hanya ada satu orang yang ingin aku temui saat ini. Bisa saja aku pergi ke kosnya. tapi hal itu akan mebuatku seprti orang bodoh. Gensi, kalau aku terlalu memaksa.

Nenek datang menghampiriku dengan segelas air dingin. "Nenek penasaran, siapa orangnya yang bikin kamu kayak gini," katanya. "Ga ada Nek, bukan soal cewek," jawabku. "Orangtua kok mau ditipu, bodoh kamu," katanya lagi.

"Teman kerja?" Aku diam tak menanggapi.

"Kamu cuti itu kalau mau traveling. Tiba-tiba sekarang cuti, tapi ga punya rencana pergi. Berarti kan ada yang kamu hindari."

"Wuih jadi detektif sekarang."

"Makin tua, intuisinya makin terasah."

"Nenek mau masak apa nanti malam?" tanyaku untuk mengalihkan perhatian.

"Masak ati, biar kamu makan ati" jawabnya, "Namanya siapa?"

Usahaku mengalihkan perhatian sia-sia. Aku tetap tak menjawab.Kuraih remote TV lalu menyalakannya agar pembicaraan kami berakhir. Walaupun sebenarnya aku tak suka nonton tV. Bertahun-tahun aku tak pernah menyentuh TV sama sekali.

"Kekeuh ya, pelit banget," seru Nenek.

"Apa tho? Dianya ga mau sama aku. Ngapain dibahas coba. Nenek tahu juga buat apa. Kalau dianya mau pasti aku kenalin. Tak ajak kesini."

"Justru itu, Nenek penasaran. Kamu ga pernah kayak gini. Ga nyangka ada orang yang bisa nolak kamu, sespecial apa dia?"

"Special kayak martabak, telornya dua."

Nenek tertawa mendengarku.

"Karma," katanya singkat.

"Maksudnya?"

"Berapa cewek yang udah kamu PHP."

"Ga pernah yo, yang dulu aku yang diputus."

"Soal perempuan kamu ada kemiripan sama Ayahmu, nenek ga suka itu."

"Emang kayak apa?"

"Play boy"

"Kok bisa, aku pacaran aja baru dua kali."

"Yang resmi pacaran dua. Tapi berapa orang yang sudah kamu mainin perasaannya? Jangan kira Nenek ga ngerti."

Aku tak bisa lagi membantah. Sebenarnya aku tak bermaksud PHP. Aku ingin dekat tapi takut tersakiti, ingin memiliki tapi takut kehilangan. Dua pacarku memutuskan aku dengan alasan aku terlalu posesif. Sejak itu aku sulit menjain sesuatu yang serius.

"Kenapa Nenek ga suka sama Ayah?" tanyaku pada Nenek.

"Kan Nenek udah bilang, Ayahmu Play Boy."

"Tahu dari mana Nek?"
"Intuisi."

"Apa Nenek punya bukti?"

"Intuisi tidak perlu bukti Anes. Ini semacam bakat alam. Ini melampaui penalaran rasional. Tapi kalau kamu memaksa minta bukti. Buktiya ya kamu sendiri. Ngertikan?"

Kata-katanya sangat menyakitkan. Aku tak tahu apa Nenek menyadari itu. Secara tidak langsung Nenek mengatakan keberadaanku adalah sebuah kesalahan.
"Kenapa Nenek baru bilang sekarang ?" – "Nenek ga mau kamu mengulangkesalahan yang sama."

"Apa menurut Nenek semua laki-laki itu sama?"

"Bisa ya, bisa tidak. Tergantung mau dilihat dari sudut pandang mana. Anes, pada dasarnya semua manusia tu sama. Orang lain merupakan cerminan bagi kita. Apa kamu bisa menyadari ini? Kalau kamu tidak menyadari ini hidupmu hanya akan dikendalikan oleh nalurimu. Tetapi kalau kamu mampu menyadarinya, kamu bisa membuat pilihan berbeda. Kamu punya kendali penuh atas hidupmu. Ngerti kan?"

AKu menggeleng. Rasanya sangat sulit mencerna kata-kata Nenek, aku sedang malas berpikir. "Males mikir ah, lagi liburan," kataku enteng. "Pada intinya kamu itu individu yang merdeka, mau jadi seperti apa kamu, itu pilihanmu Anes. Seperti apa Ayahmu, suka tidak suka tetap memilik pengaruh terhadap dirimu. Tapi kamu tetap bukan dia. Kamu tidak perlu membencinya, atau menyalahkannya. Nenek harap kamu bisa membuat pilihan yang baik. Kamu pasti mengerti."

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang