Part 19

43 8 0
                                    


Malam semakin larut, namun kami enggan meninggalkan tempat ini. Kesunyian malam tawarkan damai yang senantiasa kami rindu. Kami diam menatap bintang-bintang di langit megah. "Menurutmu apakah mungkin kita mencintai seseorang tanpa takut kehilangan?," kata Vera padaku. "Menurutmu apakah mungkin kita hidup tanpa mencintai?", kataku balik bertanya.

"Kita pernah membicarakan ini sebelumnya," kata Vera.

"Ya, tapi kita belum menemukan jawaban yang pasti," kataku, "Apa kamu pernah pacaran?"

"Sekali saat SMA," kata Vera.

"Kamu ga pernah cerita?"

"Ga penting, cuma cinta monyet ABG bucin."

"Pernah bucin juga tho," kataku terkekeh. Vera melirik tajam padaku. "Pernah jatuh cinta?", tanyaku lagi. Vera menggeleng.

"Padaku?" kataku pernah harap.

Wajahnya tetap datar, lalu menggeleng lagi.

"Serius?!, How could you?"

"Apaan sih?"

"Kamu pernah jatuh cinta, bahkan sedang jatuh cinta ."

"Ge-er banget."

"Sebenernya yang aku maksud bayimu. Tapi karena kamu bilang gitu, bisa dipastikan, kalau kamu sedang jatuh cinta padaku," kataku penuh kemenangan.

Vera diam tak meerespon kata-kakaku. "Kehilangan adalah bagian dari kehidupan, kita takkan pernah bisa menolak cinta karena takut kehilangan. Kehilangan memang menyakitkan, tetapi waktu akan menyembuhkannya," kataku padanya,"Aku telah membuktikaannya dan kaupun juga."

"Aku tak pernah kehilangan karena aku tak pernah memiliki apapun," katanya berkeras.

"Ibumu, Nenekmu, bahkan Bapakmu, mereka milikmu. Kamu pernah kehilangan Ibu saat dia memutuskan menjadi TKI, kamu kehilanggan Nenekmu saat dia meninggal. Dan Bapakmu, meski kamu tidak mengenalnya kamu merasa kehilangan saat dia tidak kembali, dari 'Batam', dan kamu kembali kehilangan Ibu saat pamit ke 'Batam'. Semua itu menyakitkan, tak perlulah pura-pura tegar."

Aku sedikit bergeser menjauh dari Vera lalu menyalakan rokokku. Kuhisap dalam-dalam kemudian kuhembuskan asapnya. Kusadari bahwa hidup hanya bagaikan asap belaka, tak ubahnya bayang berlalu. Aku masih sangat kecil saat orang tuaku meninggal. Dan aku sama sekali tak tahu bagaimana harus menjalani hidup. Namun semua berjalan begitu saja. Nenek mengaari aku bagaimana untuk mencintai, dan cinta itu yang telah membuatku bertahan sejauh ini. Setelah rokok habis aku kembali mendekati Vera. Mataku memandang patung Ibu Dewi Mariyah y sedang memangku kanak-kanak Yesus. Yang berada tepat di depan kami, kemudian kembali angkat bicara.

"Yesus pun dikandung diluar nikah."

"Kau gila dan bodoh," kata Vera, "Yesus dikandung bukan dari hubungan terlarang seperti kita dan anakku. DIA adalah Sabda yang menjadi daging."

"Aku tahu, tapi apa menurutmu orang-orang Yahudi pada jaman itu bisa menerima begitu saja, dan Yesus, Maria Yusuf bebas dari penghakiman social?"

"Pertanyaanmu aneh?"

"Apa kamu tahu, Salomo orang paling bijaksana yang pernah dilahirkan, raja besar yang kaya raya, juga seorang anak haram? Dia merupakan buah cinta terlarang Daud dan Batsyeba."

"Apa maksudmu Anes?"

"Ibuku menikah karena 'kecelakaan', kau lahir tanpa ayah, sebentar lagi ada satu orang lagi yang akan terlahir tanpa kejelasaan asal-usulnya. Hasil perbuatan customer amatir dan bodoh. Sebenarnya apa yang membedakan kita dengan mereka yang terlahir secara 'normal'. Semua ini bukanlah sesuatu yang kita pilih. Mereka belum tentu lebih baik dari kita, dan juga sebaliknya. AKu percaya bahwa kita semua pada dasarnya sama. Apakah selamanya pernikahan legal berdasarkan cinta? Baaimanapun juga semua orang lahir karena nafsu. Selama ini aku merasa bodoh, karena termakan omongan mulut tetangga. Aku rasa penghakiman social adalah sesuat yang sangat jahat. Anakmu punya kesematan yang sama dengan anak-anak lain. Yang terpenting adalah bagaimana kita menciptakan lingkungan yang aman untuknya. Dalam arti kita bisa memastikan bahwa dia memiliki cinta yang cukup. Dan dia akan memiliki kesempatan yang sama dengan bayi-bayi lain untuk tumbuh dan berkembang"

Vera masih diam menatapku. Aku balas memandang matanya. Keindahan seluruh semesta ada di dalamnya. "Hanya cinta yang mampu membuat kita berjalan menapaki bumi dengan kepala tegak menatap angkasa. Perpisahan adalah bagian dari kehidupan, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak cinta. Selama aku masih bernafas biarkan aku ada untukmu dan anakmu, hingga saudara maut datang menjemput salah satu dari kita. Aku dan kamu telah mengalami banyak hal dalam kehidupan ini. Dan aku yakin kita bisa membuat perbedaan untuk anak kita. "

Vera menatapku tajam, matanya sedikit basah. Aku mengulurkan tanganku. Perlahan dia menyambutnya, tangan kami bergandengan, mata kami saling padang. Semesta bersorak riang, kerlip lilin menari-nari bersama sang angin. Vera mendekat padaku, kupeluk dia erat. Kutatap bintang-bintang di angkasa. Pada semesta kuucapkan syukur atas anugrah terindah dalam hidupku.

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang