Aku rasa kami butuh suatu tempat untuk menenangkan pikiran. Dan Blue Sky merupakan tempat paling tepat. Sebuah lounge yang terletak di roof top sebuah hotel. Aku suka sekali tempat itu, karena aku suka ketinggian. Waktu TK, aku ingin jadi pilot. Aku punya banyak miniatur pesawat. Selain jadi pilot aku juga ingin jadi superman. Aku suka sekali memakai sayap di punggungku lalu lari-lari keliling rumah, pura-pura aku sedang terbang. Dan ternyata, setelah dewasa, profesiku berbeda jauh dengan apa yang aku impikan saat kecil. Karena aku tak bisa terbang, aku butuh sesuatu yang lain untuk membuatku sedikit terbang. Blue sky mmenyediakannya bagiku. Inilah alasanan aku suka kesini.
Dari atas sini aku bisa melihat banyak hal. Kota Jogja terlihat begitu indah saat malam dengan kerlip lampu-lampu pertokoan. Melihat kota yang mulai terlelap ditemani alunan musik akustik adalah sumber inspirasi terbaik. Setiap kali merasa buntu aku selalu kesini. Aku selalu duduk di tempat yang sama. Sofa paling ujung yang menghadap utara. Entah mengapa setiap kali aku datang, tempat itu selalu kosong. Padahal itu tempat terbaik di Blue Sky. Dari sofa itu, jika langit cerah saat purnama, merapi akan terlihat begitu cantik. Sebuah pemandangan yang sangat menentramkan.
Sesampainya di Blue Sky aku disambut dengan ramah. Hampir semua pegawai di sana mengenalku. Beberapa malah menjadi teman akrabku. Aku langsung diantar ke sofa favoritku. "Seperti biasa kak," tanya seorang pelayan padaku. Aku tersenyum padanya untuk mengklarifikasi pesananku. Tanpa berkata apapun mereka akan tahu apa yang aku inginkan, sebotol besar beer hitam. Aku tak terlalu suka minuman beralkohol tinggi. Pelayan itu berpaling pada Vera yang duduk di sebelahku untuk menanyakan pesananya. Dan Vera hanya memesan air mineral. "Yakin?" kataku pada Vera. Dia pun menganguk. Aku memberi kode pada pelayan menandakan bahwa kami telah selesai memesan.
Tak perlu menunggu lama pesanan kami datang. Aku mengeluarkan rokokku dan menyalakan sebatang. "Masih doyan ini ga?" kataku mencoba bercanda. Vera mengambil satu, kami pun merokok bersama. Aku meneguk beer ku. Jujur aku tak tahu apa yang harus aku bicarakan. "Kamu ga pengen minum apa gitu, biasanya kamu suka teqila?" kataku padanya untuk membuka pembicaraan. Vera hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun.
"Jadi apa rencanamu selanjutnya?", aku kembali bertanya. Vera tetap diam memandang angkasa. Ada banyak bintang malam ini. Indah memang, sayang suasana hati kami sedang tak seindah bintang-bintang itu. "Waktu kecil aku selalu ingin terbang," kataku pada Vera, "Kata Nenek, Ibu tinggal diantara bintang-bintang itu." Tiba-tiba saja aku merindukan ibuku. Aku kehilangan Ibu saat aku 4 tahun. Sejak itu aku diasuh Nenekku. Sedangkan Ayahku seorang pelaut, pulang belum tentu tahun sekali. Bahkan saat Ibu meninggal Ayah sedang ada di tengah laut. Dua tahun kemudian, Ayah menyusul Ibu untuk tinggal di antar bintang-bintag. Tak banyak kenanganku bersama Ibu. Tapi aku masih ingat betul cara Ibu mendongeng meski saat itu aku baru 4 tahun. Sering kali aku bermimpi bertemu dengannya. Setiap kali berhadapan dengan situasi sulit aku selalu berharap Ibu ada bersamaku.
"Mulai besok kamu harus selalu pakai kondom kalau terima tamu," kataku. "Untuk apa?", akhirnya Vera mau bicara.
"Virus HIV punya banyak tipe, jika kamu terpapar virus tipe baru, virus yanng ada di dalam tubuhmu bisa bermutasi menjadi tipe baru sehingga akan sulit ditangani," terangku.
"Apapun tipenya semua akan berakhir pada kematian," Vera kembali bicara. Sepertinya aku lebih suka dia diam, karena kata-katanya membuatku takut. Aku tak mau kehilangan dia. Aku ingin melewati hari-hariku bersamanya.
"Kematian itu sebuah kepastian, tetapi hidup itu sebuah pilihan," kataku padanya. "Aku tak punya banyak pilihan," jawabnya singkat. "Tapi masih punyakan?" aku langsung menyahut. "Anes, situasinya lebih rumit dari yang kamu kira,"katanya lagi.
"Serumit apapun kita akan melewati," aku mendekatinya dan kutatap dalam matanya. Aku rasa ini momen yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Dua tahun sudah kami saling kenal. Dua tahun aku memendam rasa. Selama ini aku berusaha menyangkal rasa itu, tapi rasa tak mau hilang. "Ver, dah lama aku sayang kamu, dan apapun yang terjadi itu tak akan merubah perasaanku... aku rasa..."
"Cukup!" Vera memotong kata-kataku. "Jangan katakana apapun lagi, kamu Cuma membuat situasi makin rumit. Perasaanmu itu cuma ilusi, lupakan apa yang kamu katakana tadi."
"Hatiku ga bisa bohong Ver, aku..."
"Aku hamil," kembali dia memotong kalimatku. Dia mengambil botol minuman lalu mengoyangnya dihadapanku. "Ada alasannya aku ga pesan alkohol," katanya lagi kemudian meminumnya. Aku pun meneguk beerku, kunyalakan sebatang rokok lagi. Malam menjadi lebih sunyi. Aku tak perlu bertanya siapa ayah anak yang dikandungnya, karena itu hanyalah sebuah pertanyaan bodoh.
Vera tersenyum sinis padaku. "Cuma sekedar ngingetin, aku ini lonte, HIV +, dan sekarang lagi hamil anak haram yang ga jelas bapaknya. Yakin masih sayang? Coba kamu pikr-pikir lagi." Ujarnya dengan nada yang begitu sinis.
Cinta bukan soal pikiran, ini soal hati. Aku tahu itu, tapi aku juga tidak bisa bohong bahwa pikiranku berkata sebaiknya aku meninggalkannya. Ku tegak habis sisa beerku, lalu memesan sebotol lagi. Kembali ku tatap bintang-bintang sambil bertanya-tanya dimanakah Ibu bersembunyi. Apa Ibu melihatku saat ini? Kami terjebak dalam keheningan. Aku benar-benar tak tahu apa yang akan aku katakan. Hati dan pikiranku terus bergulat.
Malam semakin larut. Home Band mulai memainkan lagunya. Mereka membuka pertunjukan dengan lagu Thousand Years. Tempat itu semakin ramai pengunjung. Meski tempat itu penuh canda tawa, aku merasakan ada duka yang mendalam. Tawa itu bukan tawa sukacita. Tetapi tawa jiwa-jiwa yang mencoba lari dari realita. Tawa dari jiwa-jiwa yang terluka karena cinta. Cinta adalah sebuah tragedy. Tetapi setidaknya selama masih ada cinta, akan selalu ada harapan.
![](https://img.wattpad.com/cover/192362261-288-k8081.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pita Merah untuk Vera
Lãng mạnAnes seorang aktivis HIV/AIDS tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang LC yang ia dampingi. Kisah cintanya menjadi semakin rumit ketika Vera-perempuan yang ia cintai- terinfeksi HIV. Secara manusiawi ia berusaha menyangkal cinta yang ia...