Part 11

58 12 0
                                    

"Bayu!" aku mendengar seseorang memanggilku. Suaranya seperti anak kecil. Sudah lama tak ada yang memanggilku Bayu. Saat kecil panggilanku memang Bayu. Saat pindah sekolah di Jogja aku mengubah panggilanku menjadi Anes. Ada 3 orang bernama Bayu di kelas, agar tak binggung aku mengalah dan mengubah panggilanku. "Bayu," suara itu kembali memanggilku. Aku mencari-cari sumber suara itu. Kaki ku mengarah ke kamar utama. Aku mulai ragu untuk masuk. Suara itu kembali memanggilku. Saat aku masuk, aku mendengar tangis anak kecil tapi tak ada siapapun di sana. "BAYU!!!" seseorang berteriak memanggilku. Bukan suara anak kecil lagi. Kali ini itu suara orang dewasa. Aku terjatuh, dan kakiku menjadi lumpuh. Aku sama sekali tak bisa bergerak. Seekor ular besar menghampiriku, ular kobra berukuran piton. Aku sama sekali masih membeku. Suaraku tertahan. Ular itu semakin mendekat. Ular itu berdiri dihadapanku, siap untuk menerkamku hidup-hidup. Aku berubah menjadi anak kecil lagi. Tubuhku penuh luka bekas cambukan rotan. Ibu, dimana Ibu. Aku takut, aku ingin beretriak memanggil Ibu. Rasa takut itu berubah menjadi kemarahan. Bilur-bilurku tak lagi terasa sakit. "ARRRRRGGGHHHHHH" aku bereteriak sekencang-kencangnya.

Aku terbangun dengan nafas terengah. Badanku basah berkeringat. PAdahal baru jam 7sekarang. Semarang belum terlalu panas. Mimpi itu bukan sekedar mimpi. Aku tak suka mimpi itu. Cepat-cepat aku mandi lalu ke makam.

Makam orang tuaku tak jauh dari rumah. Kakek-Nenekku yang dari ayah juga dimakamkan di sana. Saat Ibu meninggal aku benar-benar sedih. Tapi saat ayah meninggal, aku senang dia akhirnya mati juga. Aku hidup bersama ayah cuma sebentar. Dalam periode yang singkat itu hidupku penuh dengan penderitaan. Ayah sering menghajarku dengan rotan untuk alasan yang tak jelas. Saat dia mulai sakit aku merasa senang, dan akhir dia mati. Nenek sepenuhnya benar, ayah memang brengsek. Di masa hidup bersama yang singkat, selagi ia masih sehat, berkali-kali ia membawa pulang perempuan ke rumah. Perempuan-perempan itu selalu bersikap manis padaku. Tetapi mereka tak peduli padaku. Mereka cuma ingin uang ayah. Aku tak peduli pada mereka. Tapi aku senang jika ada salah satu dari mereka datang. Karena jika ada mereka ayah tidak akan mencambukku.

Sampai di makam aku hanya terdiam. Aku lupa cara berdoa. Bahkan aku lupa cara berdoa. Kutabur saja bunga yang dibawakan Nenek ke pusara mereka. Saat ayah pulang, dan aku mulai tinggal dengan ayah, aku selalu merasa tinggal dengan orang asing. Aku jadi sering menangis, karena ayah tak tahan dengan tangisanku aku selalu kena hajar. Mausia bodoh tak berotak. Apa dia tak pernah berpikir saat itu aku masih kecil. Aku baru 4 tahun. Aku baru saja kehilangan ibu. Dan aku sama sekali tak mengenalnya. Bagiku saat itu, dia seperti pria asing yang kutemui setahun sekali. Satu-satunya kenangan indah yang kuingat hanyalah saat dia datang, dia selalu membawa souvenir dari berbagai negara. Siapa yang butuh topi bertuliskan "Spain" atau kaos dengan sablon "Rome". Aku sama sekali tak butuh itu. Orang bodoh itu tak pernah mengerti. Ketika aku menangis dia menghajarku. Setelah puas menghajarku, dia akan bersenang-senang dengan pelacur. Pelacur itu lalu menghampiriku dengan senyum penuh kemunafikan. Pada Ibu kukatakan betapa aku merindukannya. Dan pada Ayah, kukatakan betapa bahagianya aku saat hari pemakamanmu. Setelah dari makam, aku langsung kembali ke Jogja. Aku membatalkan niatku mebersihkan rumah itu. Aku merasa takut berada lama-lama disana. Mungkin ada baiknya rumah itu dijual saja.

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang