Part 1

411 33 11
                                    


Ruang itu mendadak terasa lebih dingin. Aku membeku memandangi surat yang masih tersegel di hadapanku. Firasatku buruk hari ini. Meski terlihat sederhana pekerjaan ini tidak pernah mudah. Ketika kamu harus memberi tahu sesuatu hal pada seseorang dan hal itu akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Mengubah dalam arti yang negative tentu saja. Sampai kapanpun tidak akan pernah mudah menyampaikan pada seseorang bahwa dia telah terinfeksi HIV. Apalagi jika kamu mempunyai kedekatan emosional dengan Mitra Kerja. Dan inilah yang aku alami saat ini.

"Gimana kabarmu Ver?", tanyaku berbasa-basi. "Buka saja, aku dah siap," jawabnya dingin. Mungkin dia sungguh siap, aku yang tidak. Namun sebagai konselor aku harus tegar. Aku harus menyingkirkan perasaanku dan focus pada jobdeskku. Walaupun itu sangatlah mustahil. Apalagi aku mencintainya. Mungkin ini terdengar gila, tapi ya,inilah yang terjadi, aku jatuh cinta pada seorang LC. Aku kembali diam, dan mengutuki diriku sendiri. Rasanya begitu menyesal, karena dulu aku menyanggupi pekerjaan ini. Awalnya aku tetarik pada isu ini adalah saat melakukan penelitian untuk skripsi. Setelah lulus aku ditawari bergabung pada sebuah LSM yang mendampingi para ODHIV. Sebagai mahasiswa Psikologi yang baru lulus aku langsung mengiyakan tawaran itu. Waktu itu dengan semangat mengebu aku ingin mengabdikan diriku bagi masyarakat. Aku sama sekali tak berpikir bahwa pekerjaan ini akan sangat melibatkan emosi dan perasaan.

"Apa rencanamu jika seandainya hasilnya positif ?", tanyaku mencoba professional. Sebuah pertanyaan standar untuk melihat kesiapan MK. Vera tersenyum padaku. Aku merasakan ada ketakutan dari dalam dirinya. "Mungkin itu sebuah anugrah untuk orang-orang sepertiku. Hidup berlaku terlalu kejam pada kami. Begitulah Tuhan menyelamatkan kami dari kekejaman itu," jawabnya dingin.Kata-katanya membuatku semakin berat untuk membuka amplop itu. Nada keputusasaan terdengar jelas dari mulutnya. Apapun yang terjadi aku ingin mengembalikan optimisme dalam kehidupannya. "Berat atau tidaknya suatau masalah, itu tergantung cara kita menyikapinya," aku mencoba untuk menyemangatinya, meski aku sebenarnya sama takutnya. "Apapun hasilnya," kataku sambil mulai membuka hasil lab," aku janji kamu ga bakal jalan sendirian". Aku keluarkan selembar kertas dari amplop. Kubuka perlahan lipatannya, terlihat jelas tercentang kolom "R" atau reaktif. Ini artinya Vera positif HIV. Rasanya aku takkan mampu mengatakan apapun.

Kuletakkan surat itu di atas meja agar Vera bisa melihatnya. Kupandang ia dalam diam. Dia tersenyum padaku. Senyum yang memilukan. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. "Don't hold that," kataku. Dia mengelengkan kepala. Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Seolah pengalamanku menjadi konselor 3 tahun tak ada artinya sama sekali. Kami bertahan dalam keheningan. Aku ingin menangis. Ketika dia terluka akupun terluka. Aku juga ingin marah. Aku rasa system social kita tak adil. Prostitusi bagaimanapun juga merupakan produk dari system kita yang cacat. Dan Vera adalah korban dari ketimpangan itu. Orang-orang sangat mudah menghakimi orang-orang seperti Vera. Sangatlah mudah bicara soal moral, ahklak, dan agama tanpa sadar bahwa kita semua sebenarnya ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Sekali lagi Vera adalah korban budaya yang kita ciptakan sendiri.

Pernahkah kita sadar betapa jahatnya system yang kita ciptakan. System yang kita ciptakan telah menjebak kita dalam sebuah kompetisi yang gila. Dimana kesuksesan seseorang diukur hanya dengan uang yang dia hasilkan. Akibatnya semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Masing-masing dari kita sibuk membuktikan eksistensi. Berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik, merasa diri yang paling benar, tetapi tak pernah mengerti apa itu kebenaran.

Orang-orang yang beruntung terlahir dalam keluarga yang mapan mempunyai peluang lebih besar untuk memenangkan kompetisi. Sayangnya Vera tidak termasuk dalam kelompok orang-orang beruntung itu. Dia berasal dari sebuah desa terpencil di Wonosobo. Ibunya pergi menjadi TKI saat Vera masih 5 tahun. Mengenai siapa Ayahnya, sampai saat ini hal itu masih menjadi bahan perdebatan.

Dengan segala kesulitan hidup yanh dia alami, salahkah Vera jika ingin hidup sedikit sejahtera. Ketika baru lulus SMK, seseorang menawarinya pekerjaan di Jogja. Dia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan yang ditawarkan padanya ternyata menjadi seorang Ladies Cord(pemandu karoke). Ini semua salah budaya yang kita ciptakan bersama. Budaya patriaki yang telah kita anut selama berabad-abad cenderung mensubordinasikan perempuan. Akibatnya laki-laki cenderung meremehkan perempuan, dan menjadikan mereka sebagai sebuah obyek. Termasuk diperdagangkan. Vera adalah korban keegoisan kita, tetapi kita justru menghakiminya sebagai perempuan asusila, dan mengangap HIV sebagai hukuman yang pantas untuknya. Semua itu demi membuktikan bahwa masing-masing dari kita adalah orang baik, dan benar. Sungguh munafik.

Melihat Vera aku seperti dihadapakan pada kelemahanku sendiri. Bahwa sebenarnya akupun bukan dari golongan orang-orang beruntung. Hanya aku memang sedikit lebih beruntung dari Vera. Hal ini sebenarnya yang membuatku takut. Menolongnya berarti menolong diriku sendiri. karena itulah aku mencoba menguatkan hatiku menghadapi situasi ini.

Kutatap matanya dalam-dalam. Kulihat terpancar bayangan kefanaanku. Kuraih tangannya dan kupegang erat. Kemudian ku katakana padanya, " You'll never walk alone."

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang