Part 15

73 12 3
                                        

"Waktu ayah pergi, dia meninggalkan uang cukup banyak untukku. Tembus 9 digit. Angka yang fantantis untuk saat itu. Nenek mengelolanya dengan baik, sehingga aku bisa menikmatinya hingga saat ini. Sebenarnya aku sudah bilang ke nenek, bahwa dia tidak perlu membagi keuntungan denganku. Tapi siapa bisa melarang nenek. Kata nenek, aku berhak atas uang itu, karena aku sudah banyak mengalami kesulitan, setidaknya ayah punya sesuatu yang baik untuk diwariskan," kataku pada Vera. Sejenak aku diam untuk menyalakan rokok.

"Tapi kurasa uang tak bisa mengantikan kehadiran mereka. Dengan uang hidup memang akan lebih mudah, tapi itu tak benar-benar membuatku puas. Aku tetap merindukan mereka, aku bisa ngerti apa yang kamu rasain Ver."

"Apa yang aku rasain jauh lebih rumit, karena uang yang aku hasilkan berasal dari pekerjaan yang tidak halal," katanya.

"Hidup bukan hanya soal halal-haram, atau benar-salah. Pola pikir hitam putih membuat pikiran menjadi picik dan munafik. Hidup itu penuh warna. Aku rasa semua ini tentang pilihan, dan setiap pilihan membawa sebuah konsekuensi, konsekuensi itu bisa bersifat destruktif, bisa pula konstruktif," kataku pada Vera. "Bisa jadi sesuatu yang dianggap halal, atau benar justru bersifat destruktif, bisa juga sebaliknya."

"Kenyataannya aku telah memilih sesuatu yang destruktif," jawab Vera.

"Setiap orang pernah membuat kesalahan, tetapi sang Waktu, IA yang Awa dan Akhir, selalu bermurah hati memberi kita kesempatan untuk memperbaikinya," kataku lagi.

"Dulu aku mengira, dengan uang segalanya akan lebih mudah. Ternyata bukan itu jawabannya."

Sebenarnya aku ingin bilang, bahwa uang itu menjemukan, tapi aku takut terdengar sombong. Aku sama sekali belum pernah mengalami kesulitan uang. Secara materi, apa yang aku butuhkan hampir selalu tersedia.

"Manusia hidup bukan hanya dari roti saja....," kataku pada Vera, aku sengaja tidak menyelesaikan kalimatku. Aku memandang Vera, berharap dia melanjutkan kalimatku. "Kamu pikir kita lagi CCA (cerdas cermat alkitab)," katanya sewot. Aku tertawa. Meski tak menjawab, aku tahu Vera tahu kelanjutannya.

"Bagaimanapun roti tetap yang pertama, meski bukan satu-satunya."

"Apa maksudmu?"

"Entah."

Vera tertawa memandangku. "Agnoistic yang sangat Biblis," katanya.

"Apa yang kamu cari?", tanyaku.

"Cukup Anes, aku cape."

Vera kemudian membereskan sisa makanan kami. Setelah itu kami bebaring bersama, Vera menyetel musik dari hpnya, clarity dari zeed. Aku memandangnya untuk protes. Aku rasa situasi seperti ini tidak sesuai dengan lagu beat tinggi.

"Please," katanya. Aku tersenyum nakal.

"Bukan masalah itu, liriknya bikin baper," kataku mengelak.

"Jijik banget sih, trus maunya apa?", katanya sedikit keras. "Kalau mau yang beat tinggi musik-musik EDM aja sekalian. AVB, atau Tiesto juga boleh," kataku sambil berdiri menghampiri lemari aksesoris milik Vera. Aku tahu Vera biasanya menyimpan minuman di sana.

"Hei!!!! Lancang kau," teriaknya. "Kamu ga akan minum inikan dalam beberapa bulan kedepan," kataku menggoyangkan sebotol Gin. Aku menegaknya langsung dari botol. Rasanya begitu nikmat, rasa manis tersamar pahit, begitulah kehidupan. Saat masuk ke lambung, perlahan tubuhku menjadi hangat. "Its our love's insanity, why are you my clarity" dentuman beat dari lagu yang diputar Vera terdengar lebih indah. "What a life? Its taste great," kataku sambil menegak gin lagi. "Aku ga tahu kamu suka gin," katanya. "Hahahahah, kalau aku, apa aja hantam ," kataku terbahak. "One more shoot," kataku lagi lalu kembali ke tempat tidur. "Masih siang kok udah tinggi," kata Vera. "Cuma 3 shoot Ver, kamu tuch kayak baru kenal aku aja, pernah liat aku tepar gara-gara minum?", kataku membela diri.

Rasa gin yang kuminum masih tertinggal di lidah. Kucecap-cecapkan lidahku untuk merasakan nikmatnya. Semakin lama, tubuhku semakin hangat. Aku dan Vera beradu pandang. Matanya tampak begitu indah. Matanya memancarkan harapan. Aku tahu, ada cahaya tersembunyi di dalam dirinya. "Give me your sins," kataku. Vera tertawa kecil, "Kalau mabuk jadi shakespare, Anes kamu bukan Romeo, dan aku bukan Juliet. Ga usah ala-ala." Ku kecup bibirnya, kemudian kembali kupandang keindahan matanya. Terlihat Vera sedikit terkejut. Kuarahkan tanganku ke pipinya, kemudian kuusap lembut. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku meraba bibir Vera yang tipis. Mata kami tetap saling memandang. Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya. Hidung kami kini saling menempel. Kami berbagi nafas kehidupan. Setiap nafas yang ia hembuskan memberi kesejukan dalam hatiku. Perlahan kutempel kan bibirku pada bibirnya. Vera sediki membuka mulutnya, aku kemudian melumat bibirnya, begitu lembut. Rasanya seperti ada keju meleleh di mulutku. Lidah kami saling beradu. Tangannya memeluk kepalaku, begitu pula tanganku terus membelai halus rambutnya. Kami melepaskan ciuman dan kembali saling pandang. "Cukup," katanya. Aku menggeleng. "Anes, please..."

"Kamu tahu kan sta...." "Sssstttt," sebelum Vera menyelesaikan kalimatnya kutempelkan telunjukku pada bibirnya. "I always anticipate everything, dont worry about it," kataku tersenyum nakal. Kudorong tubuh Vera agar dia berbaring. Kemudian kurebahkan tubuhku di atasnya dan kupeluk erat. Kemudian kuangkat kepalaku, kembali kupandang matanya. Seluruh keindahan dunia, ada di dalamnya. Aku bisa melihat barisan bintang sedang menari riang. "I love you, no matter what," kataku. "FUCK" katanya mengoda. Kudekatkan kepalaku ke telinganya. "I will," bisikku nakal, kemudian menjilat telinganya. Vera mengelijang, tangannya menarikku sehingga tubuh kami saling menempel. Kutempelkan hidungku pada pipinya, lalu kuusap wajahnya dengan hidung. Kemudian kami kembali berciuman. Vera memelukku erat.

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang