Langit senja tampak begitu menawan di kaki Gunung Prahu. Cakrawala memerah tawarkan damai. Matahari perlahan mengundurkan diri. Sang Surya tahu benar waktu terbenamnya. Purnama mulai menebarkan pesonanya, pertanda waktu malam telah tiba. Angin berhembus sampaikan senandung cinta. Burung-burung bernyanyi menyambutku, kala aku tiba di desa itu.
"Desamu indah," bisikku pada Vera, "Aku suka di sini." Vera tersenyum bangga. Tempat ini, luar biasa. Keindahannya telah melahirkan optimisme dalam diri kami. Langit-langit terlihat seperti tenda yang dibentangkan oleh sang Ilahi. Gunung-gunung yang IA dasarkan terlihat kokoh kuat. Keputusan Vera untuk pulang benar-benar tepat. Aku sangat beruntung dia mengajakku. Aku harap aku bisa punya kesempatan untuk naik ke Prahu.
Tiba di rumah kami disambut ramah oleh ibunya.Tak hanya ramah, beliau begitu antusias menyambutku. AKu yakin ini pertama kali Vera mengajak teman laki-laki ke rumah. Ibu Vera masih sangat muda. Usianya baru sekitar 40an. Dan sekarang aku tahu mengapa Vera bisa begitu cantik. Ibunya telah mewariskan mata yang begitu indah. Keduanya memiliki lesung pipinya yang menambah manis saat tersenyum.
"Mandi dulu ya, biar seger? Ibu siapkan air panas," kata ibu padaku. "Mboten sah , Bu," jawabku dalam Bahasa Jawa yang terdengar kaku. Ibu Vera tertawa mendengar logatku. "Pakai Bahasa Indonesia saja. Atau Bahasa Inggris juga boleh. Ibu 15 tahun di Hongkong. Bahasa Inggris ngerti dikit-dikit, campur-campur Bahasa Kanton juga tapi, jadinya Bahasa Ingris Waton" katanya sambil tertawa. "Iya, bu," kataku lagi.
"Mandi sana," kata Ibu lagi. Aku tak bereaksi. Udara terlalu dingin disini, aku tak ingin sedikitpun bersentuhan dengan air. Ibu tertawa melihatku. "Pake air panas," katanya. "Cuz, mandi," Vera menimpali. Aku senang dia berkata cuz. Artinya dia mulai ceria kembali. Berada di rumah memberinya energi positif.
Ibu benar, usai mandi aku merasa lebih segar. Keluar dari kamar mandi Ibu langsung memanggilku. "Sini mbromo dulu," serunya. Aku tak mengerti dengan apa yang ibu katakan. "Sini duduk dekat api biar anget, bromo itu artinya api" kata ibu. Segera aku duduk menghampirinya lalu duduk di samping Ibu. Mataku memandang sekeliling untuk mencari bahan pembicaraan. Rumah Verah sebenarnya cukup bagus. Bagian depan berupa bangunan permanen dengan tembok bercat kuning serta lantai keramik, tetapi dapur masih semi permanen berdinding diding kayu dan lantai masih tanah. "Ibu punya kompor gas, tetapi jarang dipakai. Orang sini jarang masak pakai kompor, lebih suka pakai kayu. Sekalian ngangetin badan," ujarnya. "Kayak di Eropa Bu," kataku menanggapi. Ibu tertawa lepas mendengar kata-kataku. Aku rasa dia selama ini merasa kesepian, aku merasakan sukacita yang besar dari dalam diri Ibu ketika kami tiba. Hal ini terlihat dari cara ibu memeluk Vera dan juga caranya bercerita. Setiap manusia pasti memiliki kerinduan untuk di dengar.
"Ibu tinggal sendiri di sini?' tanyaku. "Ibu, tinggal sama adik. Cuma sekarang lagi pada liburan," jawabnya.
"Ibu itu 3 bersaudara, Ibu yang nomor 2. Nomor satu perempuan, yang nomor 3 laki-laki. Kakak Ibu, Budhenya Vera ikut suaminya di Surabaya. Bentar lagi punya cucu dia." Tanpa ditanya ibu mulai bercerita tentang keluarganya. Saat mendengar kata cucu aku sedikit tersenyum. "Sudah hamil berpa bulan Bu?" tanyaku lagi. "Lima katanya, anaknya sudah menikah 4 tahun tapi baru hamil sekarang. Kalau Ibu ga tahu dapat cucu," katanya tertawa. Akupun ikut tertawa. Aku harap Vera tidak mendengar kami. Aku takut pembicaraan ini mengubah moodnya.
"Kalau adik Ibu dapat orang Magelang. Anak satu, sudah SD naik kelas 4. Mereka tinggal di sini. Cuma sekarang lagi ke rumah neneknya di Magelang liburan," Ibu melanjutkan ceritanya.
"Suka kentang ga? Ibu punya kentang banyak. Orang-orang sini tani, nanamnya kentang. Ibu juga punya kebun sendiri hasil kerja di Hongkong. Kebun itu Ibu sendiri yang garap sama adik Ibu, lumayanlah buat hidup sehari-hari."
"Jadi makin berasa di Eropa Bu, makannya kentang," jawabku sambil tersenyum. Ibu kembali tertawa. "Ibu ga tahu Vera mau pulang, dan bawa temen. Biasanya Vera ngabari kok ini enggak. Kalau tahu kan Ibu potongin ayam satu. Nanti masak seadanya dulu ya. Ya sudah Istirahat sana. Ibu mau masak."
Ibu kemudian berteriak memanggil Vera, memintanya membantu memasak. Aku kembali ke depan untuk istirahat. Sayup-sayup kudengar Ibu menanyai Vera tentang aku. Berkali-kali Ibu menyebut aku sebagai pacar Vera, tetapi Vera dengan tegas mengatakan kami hanya teman biasa, dan Vera tidak ingin buru-buru menikah. Sejujurnya kata-kata Vera menyakitiku, tetapi bagaimanapun juga aku tetap berusaha memahami betapa kompleksnya situasi yang kami hadapi saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pita Merah untuk Vera
RomanceAnes seorang aktivis HIV/AIDS tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang LC yang ia dampingi. Kisah cintanya menjadi semakin rumit ketika Vera-perempuan yang ia cintai- terinfeksi HIV. Secara manusiawi ia berusaha menyangkal cinta yang ia...