Part 17

49 10 0
                                        

Pada suatu hari, seorang Pria sedang berjuang menghadapi takdirnya. Tubuhnya ditinggikan seperti ular tembaga di padang gurun. Lengannya terentang di antara langit dan bumi. Meski penuh derita, matanya tetap memancarkan damai. Dengan penuh cinta IA memandang dua orang yang dikasihinya. Seorang perempuan, dan seorang laki-laki. IA menatap perempuan itu lalu berkata, "Ibu ini anakmu." Kemudian IA berpaling pada laki-laki itu, murid yang dikasihinya, padanya ia berkata, "Ini ibumu." Perempuan itu adalah Maria. Hawa baru, yang dipilih Allah untuk menjadi perantara keselamatan. Maria sendiri berati pahit. Dan begitulah kehidupan yang dia jalani, "pahit". Aku tak mengerti, bagaimana mungkin Allah membiarkan perempuan pilihan-Nya hidup dalam kepahitan. Maria kini, setelah melewati segala kepahitan hidup, telah menjadi teladan iman yang sejati. Sebagai murid pertama Sang Putra, Maria telah membuktikan kualitas iman yang sesungguhnya, setia kendati lemah. Maria mengajarkan kepada manusia apa itu penyeran diri, dan apa itu kesabaran tanpa batas ketika dia berkata "ecce ancila Domini fiat mihi secundum verbum Tuum" kepada Gabriel. Melalui perantaraannya jiwa-jiwa yang letih dihantarkannya pada Putranya, agar mereka memperoleh kelegaan. Saat ibu masih hidup, ketika aku terbangun malam hari, aku sering melihat ibu berdoa rosario, di depan Bunda Ilahi. Aku ingat, karena aku sering memimpikannya. Setelah tinggal di Jogja, Nenek pun sering mengajakku rosario bersama. Hidup itu keras, doa adalah satu-satunya sumber kekuatan tanpa batas. Begitu nasehat dari Nenek.

Ketika raga terasa lemah, ketika hati terasa sepi, kepada Ibu kami mengadu. Kepada Maria, aku dan Vera mencari pertolongan. Dari jauh kupandang Vera berdoa rosario di depan gua Maria Sendang Sono. Tempat ini merupakan tempat bersejarah, karena dari sinilah Gereja di Jawa lahir. Sementara Vera berdoa, aku hanya berani memandang dari kejauhan. Aku takut untuk mendekat. Aku tak tahu harus berdoa apa. Sudah lama aku tak berdoa. Aku terus membisu, memendam rindu.

Usai berdoa, Vera menghampiriku. Dia pun bertanya, "kamu ga berdoa?"

"Lupa caranya."

Vera menatapku dingin lalu berkata, "Apa perlu aku ajarin?"

Aku menggeleng. "Ga tahu mau minta apa. Satu-satunya yang aku inginkan saat ini adalah kamu Dan aku rasa lebih efektif jika aku meminta langsung padamu."

"Anes, please. Aku ga mau dengar itu lagi."

Aku tersenyum kecil lalu menyalakan sebatang rokok.

"Aku suka tempat ini, sayangnya jauh dari kota," kataku.

"Kalau ada di kota, tempat ini akan jadi bising, dan kehilangan kesakralannya."

"Apa menurutmu Tuhan hanya bisa ditemui di tempat sunyi?" tanyaku pada Vera

"Apa kamu menemukan Tuhan di Paradise Club, atau Blue Sky?" katanya membalik pertanyaanku.

"Kamu kerja di Paradise cukup lama, apa kamu menemukannya?"

"Disana terlalu bising Anes, dan kita terlalu sibuk."

"Sejujurnya, disini pun aku merasa bising. Hatiku bising. Karena itu aku tak bisa lagi berdoa."

"Aku lebih suka hubungan kita seperti ini, jika kamu masih mau memaksa lebih baik kita tidak bertemu lagi."

"Hatiku ga bisa bohong. Aku rasa setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai."

"Dan berhak menolak"

Mendengar kata-katanya aku langsung diam. Vera terlalu keras kepala.

"Masih mau mengajari aku berdoa, aku sangat ingin berdoa sekarang," kataku putus asa. "Lupakan," katanya singkat. "Kau tahu, seorang bijak pernah mengatakan hati manusia senantiasa merindukan Tuhan. Jiwanya tidak akan akan pernah merasa tenteram sampai dia menemukan-Nya," kataku pada Vera.

"Lalu mengapa tidak datang pada-Nya?"

Aku mematikan rokokku, lalu mengajak Vera pergi. Aku sedang tak ingin membicarakan sesuatu yang berat. Vera tersenyum sinis padaku.

"Mau RW (rica daging anjing/B1)?" Tanyanya. Aku menggeleng, "dog is not food, cari yang lain aja. B2 (babi) boleh lah."

Tak sulit menemukan warung yang menjual B1 atau pun B2. Bisa dibilang kedua menu tersebut telah menjadi sajian khas disini. Selainkan menawarkan keheningan, tempat ini juga menyediakan tempat bagi umat Kristiani untuk menikmati "privilege" dibidang kuliner.

Dalam arti tertentu, "privilege" dibidang kuliner menjadi semacam "credo" bagiku. Iman yang aku percaya tidak berhenti pada masalah benar-salah, boleh-tidak. Tetapi didasari dengan kebebasan. Kebebasan sebagai anak-anak Allah yang aku peroleh berkat rahmat pembaptisan. Walaupun saat ini aku tergolong sebagai anak nakal, aku tetaplah anak Allah. Si anak nakal yang sedang rindu pulang, hanya belum tahu jalan, atau bisa jadi dia sekedar takut bertemu Bapa.

Aku dan vera menemukan warung yang bagus. Letaknya sedikit tinggi, dan dekat dengan gua. Dari sana kami bisa melihat Sang Bunda Penolong Abadi berhias kerlip lilin. Makin malam, Sendang Sono semakin ramai dikunjungi. Orang-orang terus-menerus datang untuk menyatakan bakti pada Ratu Perawan Suci. Pemandangan yang mendamaikan hati ini semakin sempurna ketika pemilik warung memutar lagu Nderek Dewi Mariyah.

Ketika kamu sakit, sedih, ataupun marah kamu bisa mengadu pada ibu. Ketika ayahmu marah padamu, kamupun bisa berlindung pada ibu, niscaya dia akan membelamu. Namun ketika Ayah menyiksaku, Ibu tak ada disana. Ketika aku sakit, sepi dan ketakutan, Ibu entah dimana. Dia meninggalkan aku sendiri.

Mataku terus memandang Sang Bunda, ia yang terberkati diantara semua perempuan, mempelai suci Allah Roh Kudus. Tanpa sadar air mataku menetes mendengar orang-orang mendaraskan Salam Maria. Samar-samar, aku mendengar seseorang berbisik padaku, "Ini ibumu."

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang