Part 14

57 12 3
                                    

Matahari bersinar terang, burung-burung berkicau senang. Hari baru adalah harapan baru. Hari ini aku pergi kerumah sakit bersama Vera untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dan hasilnya sangat positif, CD4 1250. (CD4 : sel kekebalan tubuh manusia, ambang batas normal 1000-1500) Artinya Vera masih sangat sehat. Jika ditangani dengan benar, ODHIV tetap bisa hidup sehat, dan normal. Bahkan di Lisbon ada seorang  ODHIV bisa mencapai umur 100 tahun. HIV bukan berarti akhir segalanya. Aku percaya bahwa hidup ini adalah pilihan.

"Aku senang CD4mu masih tinggi," kataku pada Vera, "kalau kamu disiplin minum obat kita bisa menua bersama. Mencapai umur 70 atau 80 jika kuat."

"Aku ga mau jadi tua," katanya tertawa, "dalam duniaku, usia dan pengalaman justru berbanding terbalik dengan tingkat penghasilan." "Garing," katau padanya, bagiku guyonannya sama sekali tidak lucu.

"Jangan terlalu serius, sayang," katanya padaku. "Welcome back, beb," sahutku. Vera sudah benar-benar kembali seperti yang ku kenal dulu. Dia suka sekali menyatire kehidupannya sendiri. Aku tak tahu mengapa, terkadang aku merasa risi dengan itu.

"Kamu terlalu pesimis memandang kehidupan," kataku.

"Dan kamu terlalu serius," balasnya, "mungkin kamu lapar. Mau ke kos? Aku mau masak."

"I'm jooblless," katanya lagi, "jadi harus hemat." Aku menganguk setuju. Lalu kami meluncur menuju kos Vera.

Kos Vera berupa rumah berlantai dua. Ada 15 kamar disana. Hampir semua penghuninya merupakan rekan seprofesi Vera. Ada pula beberapa waria yang kos di sana. Aku suka berada di sana. Lingkungannya sangat nyaman. Karena tidak ada orang yang pura-pura menjadi hakim di sini. Semua orang diterima dengan baik di kos ini. Dosa terbesar menurutku bukanlah pembunuhan atau perzinahan. Tetapi ketika seseorang ingin menyamai Tuhan dengan menghakimi sesamanya. Bukannya aku ingin membenarkan tindakan Vera, tetapi aku hanya ingin melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Hidup lebih dari sekedar benar dan salah. Apa yang dijalankan Vera, harus akui memang bersifat destrutif. Tetapi aku tetap tak berhak untuk menyalahkan mereka. Karena aku pun tak lebih baik dari mereka. Keberadaan mereka sebenarnya adalah bukti kegagalan kita menciptakan keadilan dalam masyarakat.

Kamar Vera terletak di lantai dua. Kamarnya paling luas, dengan kamar mandi dalam dan memiliki balkon. Tentu saja harga sewanya berbeda dengan kamar yang lain. Vera orang yang rapi, dan detail. Kamarnya ditata dengan begitu indah. Dominasi warna hijau, warna favoritnya, membuat kamar itu terasa sejuk. Vera menyukai karakter keropi, sehingga kamar itu penuh dengan boneka kodok. Boneka- boneka itu tertata rapi di rak gantung yang dibuat pakliknya. Diantara barisan kodok-kodok berwarna hijau ada satu yang terlihaat berbeda. Ada satu keropi berwarna pink berukuran sedang. Boneka itu diletakan di tempat yang tersendiri. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun dariku. Aku senang Vera menyimpannya dengan baik.

Vera datang ke kamar membawa masakannya. Melihatku tersenyum memandang boneka, dia kemudian mengambil boneka itu lalu memasukannya ke lemari. "Ga usah ge er," katanya. "Ga usah salting," kataku pula. "Ga usah berisik," katanya lagi, "ayo makan."

Vera memasak sarden, bentuknya sedikit memprihatikan. Aku berusaha untuk tidak tertawa. Sebuah kemajuan sebenarnya Vera memasak sarden. Terakhir kali aku menginap, Vera cuma memasakan mie instan untukku.

"Tenang aja ga beracun," katanya. "Lain kali aku yang masak ya," jawabku. Kami mulai makan. Rasanya tidak semengerikan bentuknya. Makanan instan rasanya sudah paten, jadi aman lah walau dimasak oleh orang paling noob sekalipun.

"Aku mau pindah kamar Nes, bulan depam tukeran kamar sama Mak'e," katanya padaku. Yang Vera maksud adalah Erika. Salah seorang waria yang juga kos di sana. Asalnya Kalimantan, sebnarnya dia adalah sarjana hukum, lulusan sebuah universitas negeri, tetapi memutuskan untuk membuka salon rias pengantin. Dulu dia kuliah hukum karena tuntutan dari orang tua. Setelah lulus dia memutuskan untuk menjadi perempuan, karena merasa lebih nyaman demikian. Karena keputusannya itu dia tidak diijinkan pulang ke kalimantan. Erica kemudian aktif di beberapa lsm di Jogja. Setelah beberapa tahun bekerja, dia mulai merintis salon rias pengantin dari hasil tabungannya. Erika sangat baik dan ramah, dia penuh perhatian, serta memiliki sifat keibuan. Karena itu dia dipanggil Mamak oleh teman-temannya. Aku sempat bekerja bersamanya, Erica memiliki kecerdasan diatas rata-rata dan pola pikir yang sangat kritis.

"Per tanggal berapa?" Tanyaku padanya. "Belum tahu, Mak'e masih sibuk. Tapi yang jelas kita udah sepakat, bulan depan aku bayar kamar yang kecil. "

"Ya besok kalau pindahan tak bantu angkat-angkat." Sebuah perubahan selalu membawa konsekuensi. Segalanya takkan mudah. Tampaknya Vera mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. "Apa rencanamu Ver?

"Belajar make up, bantuin Mak'e. Kemarin Mak'e sendiri yang tawarin."

"Baguslah. Sekarang udah besar salonnya sekarang, sering keluar kota dia. Kangen sama Mak'e. Kerja bareng dia enak banget. Harusnya dia tetep kerja di lembaga. Divisi advokasi macet sekarang."

"Mak'e sudah menemukan pasion yang sebenarnya. Dia keliatan lebih bahagia sekarang."

"Yang jelas sekarang uangnya lebih banyak."

" Tumben kamu sinis Nes?

"Realistis"

"Apa kamu senang kerja di sana? Apa itu sesuai pasionmu? Apa menurutmu kamu menerima gaji yang pantas?"

Aku diam tak segera menjawab. Tak biasanya Vera bertanya seperti itu. "Jawablah," katanya mendesakku.

"Sejak dulu aku tertarik pada dunia konseling," jawabku, " makanya aku masuk psikologi."

"Gajimu cukup?", tanyanya lagi. Pertanyaannyang sulit dijawab. Fee yang kuterima tak besar. Tapi aku tak pernah kekurangan uang. Saat Ayah meninggal, dia meningggalkan uang asuransi, tabungan dan lain-lain yang jumlahnya cukup besar. Uang itu Nenek gunakan untuk menambah investasi toko besi miliknya. Jadi Nenek beranggapan bahwa aku tetap berhak mendapat pembagian keuntungan dari toko besi itu. Aku sudah berkata pada Nenek bahwa itu tak perlu. Tapi tetap saja setiap bulan Nenek mengirim uang ke rekeninggku yang jumlahnya lebih besar dari fee -ku bekerja di lsm. Jika aku mengatakan bahwa aku bekerja bukan untuk uang mungkin itu akan terdengar sangat sombong bagi Vera.

"Cukup," kataku.

"Menyenagkan bisa kerja sesuai dengan pasion," katanya. "Sesuai atau tidak, hidup harus tetap berjalan," kataku padanya. "It's easy for you to say that," katanya. Sepertinya aku sudah salah bicara.

"Orang bilang, aku ini orang yang tidak mau berusaha. Tidak mau hidup susah, ga berakhlak, ga bermoral, asusila apalah-apalah. Padahal semua yang aku alami tidak seperti yang mereka pikirkan. Aku tidak pernah menikmati hubungan sex itu. Kalau aku mendesah, akuhanya pura-pura, agar tamu senang dan memberi tips. Meski begitu aku merasa berapapun uang yang aku dapatkan, upah itu tak pernah layak. Aku telah kehilangan jiwaku, semua yang aku miliki tidak pernah berarti. Semua ini kosong Anes. Apa kamu ngerti?"

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang