Usai memasak kami berkumpul di ruang tamu. Ibu memasak orak-arik telor, soup, semur kentang, tempe goreng dan sambel. "Yuk dimakan, seadanya besok Ibu masakin rica-rica, mau bebek apa ayam?" kata Ibu ramah. "Ga usah repot-repot Bu," kataku.
Sambil makan Ibu bertanya tentang latar belakangku, baik itu tentang keluarga maupun pekerjaan. Soal keluarga aku bisa bercerita apa adanya. Tetapi soal pekerjaan rupanya Vera mengenalkan aku pada Ibu sebagai teman kerja. Jadilah aku terpaksa mengarang cerita pada Ibu. Aku melirik kearah Vera sebagai tanda protes. Seharusnya dia memberitahu dari awal jika aku akan dikenalkan sebagai teman kerja. Jadi aku bisa mempersiapkan cerita yang lebih meyakinkan. Vera menatapku tajam dengan ekspresi yang dingin. Walaupun tidak mengeluarkan kata-kata, aku tahu dia memintaku untuk menjawab semua pertanyaan Ibu tanpa protes, karena diapun tidak mengira Ibu akan seperti itu. Intrograsiku berjalan sepanjang makan malam, tanpa ada celah sedikitpun bagiku untuk mengalihkan pembicaraan. Sungguh beruntung sejak SD aku jago mengarang. Aku rasa ceritaku cukup meyakinkan. Dan ibu mendengarkan dengan sangat antusias. Vera pun tampak puas dengan jawabanku. Karena cukup sinkron dengan cerita yang ia karang saat memasak tadi.
Usai makan kami diam beberapa saat. Aku rasa ini kesempatanku untuk mengalihkan pembicaraan. Jangan sampai Ibu kembali mengintrograsi aku, karena aku sudah kehabisan ide. Langsung saja aku bicara soal gunung. Sudah lama aku tidak mendaki. Ibu kemudian bercerita tentang Gunung Prahu. Rute pendakiannya cukup mudah, dan tidak terlalu tinggi hanya sekitar 2500mdpl. Gunung ini cocok untuk pemula.
"Kalau pemula, 3-4 jam sampai puncak. Tapi kalau orang sini, naik ke Prahu cuma kayak maen ke halaman belakang. Paling 2 jam. Ibu aja kalau cari kayu bisa sampai Pos 2." kata Ibu antusias, "Kalau pengen muncak, dua hari lagi liknya Vera pulang. Biar ditemenin muncak." Aku tersenyum mendengar tawaran itu. Memang itu yang aku harapkan. Sayangnya belum sempat menjawab Vera langsung menimpali. "Besok sore aku balik Jogja," begitu katanya. Senyumku langsung memudar.
"Kok kesusu?" (mengapa terburu-buru) Ibu tampak kecewa. "Aku mau pamit Bu," kata Vera. Wajah Ibu berubah kecut. Meski sama kagetnya aku berusaha tetap tenang agar Ibu tidak curiga. Suasana berubah seketika. Mata Ibu sedikit berkaca-kaca, mendadak ia kehilangan tenaga, rasa sepi menguasai dirinya. Ibu melihat sekitar seperti orang kebingungan. Jelas ia butuh tempat untuk bersandar. Ibu memandangku penuh harap. Aku terpaku membisu. Kemudan kuarahakan tanganku pada Vera, untuk menyadarkannya bahwa Vera masih di sini bersama kita. "Ibu tenang dulu, biar Vera jelaskan maksudnya," kataku pada Ibu.
Kami semua memandang Vera menunggu penjelasan darinya. Aku mencoba tersenyum agar terlihat tenang, seola aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Vera. "Kafe tempat kerjaku buka cabang baru di Batam. Aku dipindah ke sana tapi jadi supervisor, jabatanku naik, gajiku juga naik banyak," kata Vera begitu antusias. Harus kuakui, Vera pandai beracting. Sayangnya sandiwaranya tidak mampu mengembalikan suasana. "Ini kesempatanku biar sukses Bu, 7 tahun kerja mosok ga ada peningkatan," kata Vera sambil menyenggol ku. Kode agar aku membantunya. Aku diam karena tak mampu lagi berimprovisasi. Ibu menghela nafas, kemudian angkat bicara.
"Waktu Ibu hamil kamu, bapakmu pamit mau cari kerja di Batam. Dia janji 3 bulan pulang trus ngajak Ibu nikah. Tapi dia ga pernah muncul. Namanya Faisal, orang Semarang. Ibu kenal karena dia sering nganter orang naik ke Prahu. Waktu itu umurnya 23, dan Ibu masih 19."
Suasana semakin hening. Malam terasa begitu mencekam. Pipi mulai basah. Biasanya Vera sangat pintar menyembunyikan perasaannya. Bagaimanapun juga ini pertama kalinya Vera mendengar nama Bapaknya. Setegar apapun Vera, wajar jika ia menangis sekarang. Vera sudah banyak cerita tentang keluarganya tetapi semua ini terdengar gila bagiku. Kata "pamit" yang dikatakan Vera bisa berarti banyak hal, dan "Batam" ayolah, dari mana Vera mendapat ide itu, dan ternyata... Apa semua serba kebetulan. Setelah diam beberapa menit Ibu melanjutkan ceritanya.
"Waktu kamu lahir, kita belum punya tanah. Mbahmu dua-duanya cuma buruh tani. Buat tambah-tambah beli susu Ibu jadi buruh cuci. Makin hari, kamu makin besar, Ibu mulai sadar bahwa kebutuhanmu juga akan makin banyak, terutama buat kamu sekolah. Dan Ibu juga sadar bahwa kalau cuma jadi buruh cuci, Ibu ga bakal bisa nyekolahin kamu. Karena itu dengan berat hati Ibu memilih jadi TKW waktu kamu umur 4 tahun. Berat nduk (sapaan Jawa untuk anak perempuan). Ibu harus ninggal kamu yang masih bayi, bisa ketemu 3 tahun sekali itu pun cuma satu bulan. Tiap malam rasanya jiwa Ibu seperti ditembusi pedang. Dan Ibu cuma bisa nangis. Mau apa lagi. Ga ada yang bisa Ibu ajak cerita disana. Waktu pulang Ibu seneng akhirnya kita bisa kumpul. Tapi malah kamu pindah Jogja. Yah, paling ga kamu pulang sebulan sekali."
Ibu kembali diam untuk mengontrol emosinya. Ketegaran hatinya sungguh telah teruji. Aku tak pernah sepakat jika ada orang yang mengatakan perempuan itu lemah. Menurtku perempuan itu kuat, terutama jika dia adalah seorang ibu. "Ibu ga pengen lihat kamu jadi kaya, Ibu cuma pengen hidup kamu sedikit lebih baik dari ibu. Ibu pengen lihat kamu punya suami yang baik," kata ibu sambil melirikku. Aku dibuatnya menjadi salah tingkah. "Anes ikut ke Batam?" tanyanya padaku. Aku tersenyum lebar lalu menjawab dengan mantap, "Saya yang jadi manager Bu." Vera menatapku tajam. Aku yakin saat ini dia sangat ingin menampar mulutku. Aku balik menatapnya, aku terlanjur terlibat dala drama yang dia buat, jadi ayo kita tuntaskan bersama.
"Batam itu jauh. Artinya Ibu harus menahan rindu lebih lama lagi. Bagaimanapun juga manusia harus bergumul di bumi, dan hari-hari kita Cuma seperti orang upahan," kata Ibu mengutip kitab Ayub. Mendengar kata-katanya mataku menjadi berat. Aku merasakan kepedihan yang begitu mendalam. Hidup itu berat. Bulan-bulan yang telah diberikan adalah bulan penuh kesia-sian, sedangkan malam yang telah berlalu adalah malam penuh kesusahan. Kami semua diam, jika kami tidur mala mini, akankah kami akan bangun kembali esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pita Merah untuk Vera
RomanceAnes seorang aktivis HIV/AIDS tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang LC yang ia dampingi. Kisah cintanya menjadi semakin rumit ketika Vera-perempuan yang ia cintai- terinfeksi HIV. Secara manusiawi ia berusaha menyangkal cinta yang ia...