Part 6

86 16 2
                                    


Purnama bersenandung lirih, lantunkan lagu duka. Bintang-bintang sayu membisu. Alam seolah kehilangan magisnya. Beberapa jam lalu aku masih bisa mendengar burung-burung bernnyanyi riang. Kini semua hening tak bersuara. Semua terasa sia-sia. Matahari terbit, matahari terbenam, lalu buru-buru ia kembali ke tempat ia terbit. Sungai mengalir menuju lautan namun samudra tak pernah menjadi penuh. Semua terasa begitu mmenjemukan. Rasanya tak pernah ada sesuatu yang baru di bawah matahari.

Aku ingin marah pada Vera, aku sama sekali tak tahu apa rencananya. Coba bayangkan bagaimana reaksi Ibu jika dia tahu cerita sebenarnya. Mendengar Vera akan ke Batam saja dia seperti itu. Padahal jika dipikir-pikir apa yang disampaikan Vera, meski sebuah kebohongan, adalah sesuatu yang sangat positif. Atau bisa jadi Ibupunya firasat lain, sehingga dia bereaksi negatif.

"Apa yang kamu pikirin? Kok kamu ga bilang sebelumnya?" kataku pada Vera. "Aku ga mungkin pulang dalam beberapa bulan ke depan kan Nes. Perutku bakal makin besar. Aku butuh alasan yang rasional supaya aku ga usah pulang," jawabnya enteng.

"Aku ga maksud nglibatin kamu, aku minta diantar karena aku lagi cape naik motor sendiri. So sorry kalo akhirnya kamu jadi terlibat. Tenang aja, besok kita dah balik Jogja, dan kita akan 'ke Batam'. Setelah itu semua akan kembali normal untukmu."

Aku heran bagaimana bisa Vera bicara seenteng itu seolah semua baik-baik saja. "Semua ga akan pernah jadi normal lagi, bahkan untukku sekalipun. Kamu ga mungkin ada di 'Batam' selamanya," kataku dengan suara sedikit gemetar.

"Anes sayang," katanya lagi. Aku tak suka caranya memanggilku sayang. Dari nada bicaranya ia ingin mengolok-olok aku. Dia tahu aku marah dan dia sengaja memprovokasiku. Secara reflek aku mengepalkan tinjuku. Vera menyadari perubahan tempramenku, kemudian tersenyum sinis dan berkata, " aku bakal pikirin itu setelah anakku lahir. Dan kamu ga usah ambil pusing."

"Atau kamu mau buat ceritanya jadi lain," katanya sambil mengelus perutnya. Aku rasa dia menantangku, meskiaku marah tak pernah sedikitpun aku berpkir untuk melukainya, apalagi memukulnya. Meski aku mengepalkan tinju, aku tak mungkin memukulnya. Situasi sudah cukup buruk, tak perlulah berbuat bodoh.

"Kenapa kamu ga mau ngerti sih Ver, aku mencintaimu," kataku pada Vera. "Tapi aku enggak," jawabnya enteng. Aku Cuma bisa menggeleng.

"Anes, kamu berhak menjalani hidup normal. Ga usahlah mempersulit diri sendiri. Saranku, sebaiknya kamu keluar dari program trus cari kerjaan lain. Orang kayak kamu pasti gampang cari kerja. Habis itu kamu cari pacar baik-baik. Carilah anak perawan," katanya sambil menyalakan rokok. Aku merebut rokok itu lalu mematikannya. "Ga baik buat bayimu," kataku. "Tenang aja aku tahu apa yang baik apa yang enggak. Aku tahu apa yang harus aku lakuin Nes," tegasnya kemudian menyalakan rokok lagi.

"Urusan dengan Rumah Sakit aku bisa handle sendiri, kamu ga usah pikirin. Ada baiknya kita jaga jarak kalau udah di Jogja."

Hidup normal katanya, aku tak percaya Vera mengatakannya. Kata-katanya seolah dia belum mengenalku. Sejak awal mula hidupku tak pernah normal.

"Hidupku sejak awal ga pernah normal Ver, kamu tahu itu," kataku, "dan emang ga akan jadi normal. Aku bahkan ga tahu normal itu apa."

"Waktu aku lahir, dalam keadaan telanjang aku diletakan di atas dada ibuku. Kemudian aku menyusu dari payudaranya, dari sanalah aku memproleh hidup. Jiwaku merasa begitu tentram dalam pelukannya. Itulah saat pertama kali aku jatuh cinta. Sedangkan Ayahku baru menemuiku setelah aku berumur satu tahun. Aku tahu bahwa kamu mengalami sesuatu yang lebih tragis. Setelah 26 tahun baru malam ini kamu tahu nama Bapakmu."

Kulihat Vera terlihat memainkan asap rokok. Kemudian dia menawarkan sebatang padaku. Aku menolaknya.

"Di awal masa hidupku, aku hanya mengenal Ibu. Saat aku 3 tahun, Ibu mulai sakit-sakitan. Awalnya tak jelas apa sakit Ibu. Ibu sering kali diare dan batuk-batuk. Mendadak Ibu jadi mudah alergi, kulitnya penuh bercak-bercak merah. Aku masih sangat kecil tapi aku ingat betul apa yang terjadi. Karena sejak Ibu sakit aku mulai dijauhkan dari Ibu. Bisa dibilang itu pertama kali aku patah hati. Saat ku 4 tahun, Ibu semakin parah, badannya terserang herpes, luka-lukanya berubah menjadi borok yang menjijikan. Badannya kurus kering, namun aku tetap mencintainya, aku rindu diam dalam pelukannya. Ibu di bawa ke rumah Sakit dan aku tidak boleh menjenguknya. Tiba-tiba Ibu pulang dalam keadaan terbaring dalam peti."

"Boleh minta satu," kataku pada Vera. Dia tertawa sinis,lalu menyodorkan rokoknya. Dia bahkan menyalakannya untukku.

"Kau tahu bagaimana perasaan seorang anak kecil yang kehilangan Ibunya. Waktu itu aku tak tahu persis apa yang terjadi. Semua orang menangis, hanya Nenek yang tidak. Seharian aku terus digendong Nenek. Seharian aku tak berhenti menangis. Dan kau tahu, Ayah masih berada di tangah samudra. Setelah dua bulan Ayah pulang, dan pingsan di makam."

"Setelah itu Ayah tidak lagi bekerja. Aku tinggal bersama Ayah. Tak sampai setahun, Ayah sakit-sakitan, gejalanya hampir sama dengan apa yang dialami Ibu. Dan akhirnya Ayah menyusul Ibu."

"Menurut dokter Ibu sakit kanker kelenjar getah bening, sedangkan Ayah sakit Tipus. Sejak kecil aku percaya hal itu. Sampai suatu saat, mataku terbuka dan menyadari bahwa semua itu hanyalah sebuah kebohongan. Menurutmu apakah sebuah kebetulan jika aku mengambil tema skripsi yang berkaitan dengan HIV/AIDS?" kataku tersenyum. "Setelah dewasa baru aku mengerti bagaimana kehidupan seorang pelaut."

"Ver, apa kau percaya pada takdir? Apa semua ini hanyalah sebuah kebetulan? Atau terjadi karena suatu alasan?"

Vera menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya di wajahku. "Apapun itu, yang jelas aku bukan Ibumu," katanya ketus. "Maksudmu apa?!", kataku sedikit membentaknya. "Kan kamu yang sarjana Psikologi, jelas kamu lebih paham apa maksudku, " katanya dingin, kemudian meninggalkanku sendiri bersama bintang-bintang.

Pita Merah untuk VeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang