"Al, kamu percaya mimpi jadi nyata?"
Al berdehem. "Aku tidak tahu. Mimpiku adalah memilikimu. Saat ini menjadi nyata, entah nanti. Seperti kemarin lusa, aku sangat percaya kamu milikku. Tetapi keadaan menipuku."
Aku termenung, itu benar. Keadaan sering menipuku. Tetapi, aku benar-benar seperti berinteraksi dengannya. Aku juga benar-benar menyentuhnya. Kini, aku jadi terpikirkan Aphni. Mengapa rasa kagum itu seperti masa awal aku jatuh cinta dengan Aphni? Ardi punya hubungan apa denganku? Sampai-sampai dia datang pada mimpiku. Aku bukan ada di dimensi lain, 'kan? Ataukah memang benar jika Ardi dan Mifah juga hidup di dunia yang sama? Mungkinkah—
Deg!
Al menggenggam tanganku, rasa hangat menjalari pipiku. Merona seperti tomat. Aku malu, bisa-bisanya memikirkan cowok lain di sini.
"Tidak apa-apa? Kurang sehat, ya? Kita pulang saja kalau begitu. Aku ma—"
"Tidak, tidak, tidak. Tidak masalah. Aku hanya sedikit melamun. Maaf, kita lanjutkan lagi, ya?" sahutku gelagapan.
"Baiklah, satu tempat lagi. Lalu pulang. Deal?" tawar Al membuat kesepakatan.
"Dua tempat lagi boleh?" pintaku memamerkan senyum terbaik.
Al memalingkan wajah, ujung telinganya memerah. Wah! Al punya malu. Eh, maksudnya bisa tersipu.
"Ciieee yang salting!" sorakku sembari tertawa.
Al berdehem. "Memangnya mau ke mana?" Mengalihkan topik pembicaraan.
"Pertama, ke Gramedia beli ... ehm, tujuh novel. Boleh? Atau lima—"
"Aku belikan dua puluh. Terus, yang kedua ke mana?" sahut Al begitu santai membuatku tercengang menganga lebar.
"Hahah, bisa saja bercandamu. Eh, tapi kalau serius juga nggak apa-apa," timpalku kikuk.
Al memberikan kartu ATM padaku. "Kamu bisa gunakan itu semaumu. Kalau nggak mau, bisa cash setelah penarikan ke bank. Yang kedua mau ke mana?"
Aku tertawa, heran bercampur takjub. Coba bayangkan! Misal harga satu novel delapan puluh ribu rupiah, dikalikan dua puluh. Berapa hasilnya? Itu nggak sedikit, 'kan! Mau aku bagi, nggak? Hehe, kali ini aku pelit!
"Setelah ke Gramedia, mau ke mana? Hm," ujar Al mengelus lembut puncak kepalaku yang dilapisi jilbab.
Aku menelan ludah. Jujur, aku mau ke rumah Aphni. Tetapi ... ah, tidak. "Mau ke rumah Ibu. Tapi nggak jadi, ntar aku diomelin beli novel sebanyak itu," timpalku begitu dapat alasan.
Aku berbohong padamu. Aku juga membohongi diriku. Pantaskah kamu menerimaku? Aku terlalu egois untuk kamu yang manis.
***
"Kak! Tunggu, kak!" teriak dua gadis berseragam SMP dengan tergesa-gesa.
Aku tidak ada masalah dengan mereka, 'kan? Mereka meneriaki aku? Tapi, mereka siapa? Kenapa buku yang dibawa keduanya tampak sama?
"Kak Mifah, hosh ... hosh ...." Gadis berkacamata tampak mengatur napasnya.
"Minta tanda tangan, kak Mifah!" seru gadis di sebelahnya.
Sebentar, Mifah itu nama perempuan yang aku dengar di dalam mimpi kemarin sore. Aku kebingungan, ini bukan di mimpi. Gadis berkacamata menyodorkan novel yang digenggamnya. Sungguh terkejut! Benar-benar tertulis jika nama penulisnya Mifah. Aku mengambil alih novel ini. Mencari biodata penulis pada bagian akhir halaman.
Wow! Sama. Wajah Mifah, ulang tahun, warna favorit, agamanya, tapi mengapa tidak berhijab, ya? Ah, sudahlah. Aku akan memastikan jika ini bukan mimpi dengan memotret biodata Mifah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOL
RomanceSekarang aku tau perbedaan antara suka dengan cinta. Suka adalah proses awal untuk mencintai. Dan cinta adalah sebuah proses ingin memiliki. Tapi yang tidak ku mengerti adalah tentang diriku, terkadang aku ragu jika aku suka padanya. Dan terkadang a...