7. Lukisan Seram

2.6K 414 65
                                    

Cahaya dari kunci berbentuk sayap ini menuntunku melewati lorong-lorong. Kalau biasa bangunan di sekolahku terdiri dari ruang-ruang kelas, guru, perpustakan, lab dan lainnya. Berbeda dengan di sini. Ruangan yang sangat banyak. Entah apa fungsi ruangan-ruangan ini sebenarnya. Aku sesekali mendongak menatap langit-langit ditiap lorong digantung lampu emas besar yang cantik.

Ingin sekali aku berfoto di sini dan mengunggahnya ke sosial media, dilihat oleh semua murid di sekolahku dulu. Pasti semuanya penasaran di mana sebenarnya aku dengan gaun emas pula tapi peraturan di dunia ini tidak diperbolehkan melakukannya.

Untuk saat ini, aku benar-benar terbebas dari mereka di rumah. Rumahku bukan rumah mereka! Ayah, seandainya aku masih bisa mengambil alih kembali rumah itu. Banyak kenangan kita yang tersimpan di rumah itu ayah. Kenapa segampang itu ayah memberikannya pada Wexlyn? Kenapa?

Aku jadi menangis sekarang ayah. Haha, cengeng yah anakmu ini.

Aku mengusap tetes-tetes air mata yang membasahi pipi lalu menarik nafas kemudian dihembuskan seperti melepaskan sebuah masalah untuk lenyap ditelan udara.

Cahaya dari kunci ditelapak tanganku berhenti di depan sebuah pintu.

Apa membuka pintu ini harus menggunakan sihir juga seperti yang dilakukan ibu?

Tidak ada salahnya aku coba. Mungkin saja setelah aku berada di dunia ini aku juga memiliki kekuatan. Iya kan?

"Buka!" teriakku di depan pintu emas itu namun tidak terjadi apa-apa.

"Buka!" kuulangi lagi kali ini lebih kencang namun pintu tidak terbuka.

"Bukaaaaaaa!!!!" teriakku yang ketiga kali tetap saja pintu itu tak mau terbuka.

"Hei! Punya tangan kan? Buka sendiri!" balas seseorang dari dalam ruangan.

Aku benar-benar malu, suaraku terdengar orang yang berada di dalam ruangan ini.

Aku memutar ganggang pintu pelan. Ternyata pintu ini bisa dibuka dengan tangan kupikir harus menggunakan sihir.

Aku kini berada di dalam ruangan. Beradu tatap dengan Xerglow yang sedang menyikat ubin emas.

"Mau apa ke sini?" tanya Xerglow.

"Mau minta maaf dan mau membantumu" aku mencoba menjawab Xerglow dengan tenang walau sebenarnya aku sering kesal mendengar nada bicaranya yang agak ketus dan cuek, entahlah cuek atau malas bicara?

"Kenapa masih berdiri?"

"Eh, maksudmu?" aku mengernyitkan alis.

"Sikat nih ubin, aku mau istirahat!" Xerglow berdiri dan menyodorkan sikat di depanku.

Apa-apan sih nih anak. Sejam yang lalu bersikap baik dengan tidak melaporkanku. Kenapa sekarang kembali lagi ke wujud aslinya. Bikin kesal saja!

"Iya" aku mengambil sikat ditangannya lalu bersimpuh di lantai. Awalnya cemas gaun emasku kotor, maklum baru pernah menggunakan gaun emas seindah ini.

"Sikat yang bersih dan mengkilap!" pintah Xerglow sambil tiduran di atas lukisan-lukisan yang disusunnya memanjang.

Aku mengerucutkan bibir di depan ubin emas. Maaf ubin, kamu jadi kena imbasnya.

"Hei! Memangnya boleh tiduran di atas lukisan-lukisan itu? Namanya karya harusnya dihargai! Lukisan-lukisan itu kan hasil tangan orang-orang. Dan pasti mereka membuatnya dengan susah payah agar semua orang bisa menikmati ciptaannya" aku berhenti menyikat dan balik menatap Xerglow di belakangku.

"Kau ini suka sekali mengganggu jam tidurku yah? Lukisan-lukisan ini sudah tidak terpakai lagi. Urusi saja itu ubin, jangan urusiku!"

Aku melempar sikat di atas ubin lalu berdiri berjalan ke arahnya.

"Mau apa? Mau protes?" ujar Xerglow dengan tubuh terlentang.

"Minggir! Aku mau tunjukkan betapa berharganya lukisan-lukisan itu."

Xerglow tertawa. "Hei, Evangelizca! Aku setiap hari di sini. Setiap hari aku melihat lukisan-lukisan ini namun tetap tidak berharga di mataku. Apalagi lukisan tumpukan terakhir ini, aku benar-benar tidak menyukainya. Digambarkan seorang wanita berwajah seram."

"Berwajah seram?" tanyaku.

"Iya. Sangat-sangat seram! Seperti ini!" Xerglow mengekspresikan wajahnya seakan-seakan benar-benar seram namun aku yang melihatnya merasa lucu. Dia tidak cocok jika memainkan peran sebagai sosok yang menyeramkan.

"Wajahmu seperti itu tidak ada seram-seramnya sama sekali!" aku menggeleng-gelengkan kepala.

"Sudahlah, aku mau melihat wajah wanita itu!" aku menarik tubuh Xerglow agar dia cepat bangun dan tidak menutupi tumpukan lukisan terakhir di atas itu.

"Jangan, kau akan takut! Lebih baik kau urusi saja ubinmu itu!" tolak Xerglow masih tetap tak mau berdiri.

"Itu ubinmu. Aku baru sekali melakukan kesalahan tapi kamu setiap hari dihukum di sini kan? Jadi itu ubinmu bukan ubinku."

Kenapa jadi bahas ubin sih? Bertemu dengan anak ini bicaraku jadi aneh.

Dan lagi, aku dibilang takut hanya karena lukisan? Padahal aku ini pernah disengajakan anak Wexlyn, diturunkannya aku dari mobil di depan kuburan-kuburan saat malam hari, aku seorang diri. Berjalan meraba-raba tiap benda ataupun pohon di tepian jalan karena gelap, hingga beberapa jam barulah aku tiba di rumah. Rumahku bukan rumah mereka. Sekali lagi kukatakan.

"Hei! Kau dengar aku?" Xerglow mengibas-ngibas telapak tangannya di depanku.

"Kau bilang apa?" lagi-lagi karena mengingat mereka aku tidak konsen dengan apa yang terjadi saat ini.

"Aku bilang, cepat lihat lukisan ini karena bel pergantian jam pelajaran sudah berbunyi, kita harus kembali ke kelas. Masa hukumannya selesai!" jelas Xerglow sambil bangkit berdiri dari tumpukan lukisan-lukisan.

Saat Xerglow berdiri. Lukisan itu terlihat jelas.

Deg!

Ini wajah Wexlyn! 

***

Come Here! (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang