14. Persiapan Persembahan

1.9K 327 15
                                    

Gemuruh angin dari fentilasi seolah-olah datang bersamaan dengan pak guru Nicol. Angin yang menusuk kulit buat bulu roma berdiri.

Wajah yang sebagian terbakar itu terlihat menyeramkan saat ini.

Dia menatap tajam seperti ingin menikamku dengan bola matanya.

Untuk saat ini mengapa Xerglow tidak menjadi penakut lagi? Apa karena ingin melindungiku jadi rasa takutnya ditepis begitu saja?

Pak Dioxi juga berdiri santai tak gentar sedikit pun.

Aku bersembunyi di balik dua lelaki ini.

"Ada perlu apa pak?" tanya pak Dioxi.

"Aku perlu dengan kedua muridku ini. Mereka harus mengikuti ujian yang tak sempat mereka ikuti kemarin."

Benarkah itu?

Aku ragu.

Pak Dioxi membalik tubuh dan menatapku, tatapannya seolah-olah mengatakan bahwa tidak apa-apa, pergi saja.

Aku balik menatap Xerglow yang juga menatapku, melihat ekspresinya yang meyakinkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa jika kami berdua pergi ke pak Nicol.

"Oh silahkan pak. Aku sudah selesai berurusan dengan mereka. Ayo, Xerglow dan Evangelizca pergilah mengikuti ujian" ujar pak Dioxi.

Aku menggigit bibirku yang terasa beku.

Xerglow menggenggam tanganku, melangkah ke arah pak Nicol.

Deg!

Aku membeku berada di samping pak Nicol. Dia pamit pada pak Dioxi lalu keluar bersama kami menutup pintu.

Yang kutakutkan terjadi.

Sayap hitam keluar dari punggung pak Nicol. Sebelah matanya merah sempat kulihat sebelum akhirnya aku tak melihat apa-apa lagi dalam naungan sayap hitam pak Nicol. Semuanya gelap. Wajah Xerglowpun tak dapat kulihat.

"Xerglow!" teriakku sambil meraba-raba mencari pergelangan tangan Xerglow.

"Pak Nicol ini di mana?" tanyaku walaupun tak dapat melihat wajah pak Nicol sekalipun.

Apa yang terjadi? Xerglow tak menjawabku. Pak guru Nicol juga. Apa yang dilakukannya pada kami?

"Xerglow!" teriakku lagi.

Ibu. Aku sudah berada di dunia ini untuk bertemu denganmu lagi. Tapi apa yang terjadi sekarang ibu? Semuanya gelap ibu.

"Xerglow... Xerglow.. Xerglow.. " aku meraung sambil terisak.

Kumohon jawab aku. Siapapun yang melihatku, siapapun yang mendengar suaraku. Kumohon!

Ada yang berjalan mendekat. Walaupun aku tak dapat melihat dalam kegelapan namun aku mendengar langkah kaki seseorang.

Langkahnya makin lama makin mendekat.

Lalu terhenti.

Di depanku.

"Siapa?" tanyaku.

"Persiapkan dirimu! Upacaranya akan dimulai sebentar lagi."

"Pak Nicol?" aku tahu itu suara pak Nicol.

"Upacara apa pak?" tanyaku.

"Persembahan untuk iblis!"

Tanganku gemetar. Detak jantungku serasa terhenti.

"Jangan pak! Aku mohon!" aku meraba-raba udara kosong mencari keberadaan pak Nicol namun nihil ujung kakinya pun tak dapat kusentuh.

Tempat apa ini? Apa aku akan menjadi hidangan untuk iblis?

Aku tidak mau! Aku masih ingin hidup.

Aku mengusap air mataku dengan kasar lalu bangkit berdiri.

"Hei kau! Iblis atau siapapun kalian tunjukkan wajah kalian! Aku tidak takut! Siapa kalian berhak mengambil jiwaku?"

Seketika cahaya menghapus semua hitam pekat memperlihatkan Wexlyn dan Nicol berdiri di tempat yang sedikit tinggi dari tempat yang kupijaki.

Lalu, Xerglow.

Oh, Tuhan!

"Apa yang kalian lakukan pada Xerglow?" teriakku ganas di depan mereka saat Xerglow di ikat tergantung dan menempel pada tembok. Kepalanya jatuh tak berdaya dengan mulut tersumbat.

Air mataku jatuh menderas. Aku berlari ke arah Xerglow nanti tiba-tiba sengatan entahllah seperti listrik atau mungkin petir. Menghempasku jatuh jauh.

"Xerglow!!"

Aku menangis, meraung menyaksikan Xerglow seperti itu.

"Kalian hanya mengincarku bukan Xerglow. Jadi bebaskan dia!"

Pak guru Nicol menyengir seram. "Aku yang mengincarnya. Karena ibunya telah membuat wajahku seperti ini!"

"Jangan menatapku seperti itu! Kau terlalu lemah untuk dapat membunuhku. Persiapkan saja dirimu untuk iblis" ujar pak Nicol lalu beranjak masuk pergi bersama Wexlyn.

Wexlyn sialan!!!!

Nicol sialan!!!

Apa yang bisa kulakukan selain mengumpat nama mereka seperti ini?

Aku menatap Xerglow. Matanya bengkak entah apa yang Nicol lakukan padanya. Tapi aku yakin Xerglow sedang menatapku pula, meyakinkanku bahwa dia tidak apa-apa.

Aku mengepalkan tangan, memukuli ubin berulang kali. Air mataku jatuh membasahi kepalan tangan.

Sialan! Brengsek!

***

Come Here! (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang