4. Wanita di Atas Awan

3.1K 516 91
                                    

Memori lama terputar begitu saja. Mengililingi ingatan, otak dan hati.

Aku menangis di tepian laut, sudah dibujuk ayah untuk kembali. Tetap saja, aku berkukuh tak mau meninggalkan laut itu.

Semua orang masih berdiri menatap iba pada kami. Ada juga yang mungkin sudah bosan karena sikapku mengulur-ngulur waktu mereka yang seharusnya melanjutkan aktivitas mereka yang lain.

Tahukah kau? Ada yang menyakitkan dari kematian orang yang kita sayangi. Yaitu kau tidak dapat menatap wajah mereka untuk terakhir kali. Tak dapat menyentuh tubuh mereka untuk terakhir kali.

Itulah yang kurasakan.

Ibuku lenyap ditelan laut itu. Tak dapat ditemukan.

Bolehkah kuhentikan cerita ini? Rasanya terlalu menyakitkan. Anggap saja kau sedang memutar kaset film dan tiba-tiba aku menekan tombol pause. Ya, begitu saja.

Dan ada sebuah rasa yang mengusikku untuk menekan tombol sebelumnya. Aku tak tahu rasa apa itu.

Ibu mengayunkan ayunan yang kunaiki dari belakang. Rasanya menyenangkan, seperti melayang diudara.

Aku akan menujumu langit!

Itulah kata-kata yang kuucapkan waktu itu. Kupikir langit itu dekat, bisa dijangkau dengan ayunan. Konyol memang pemikiranku yang masih bocah.

Jangan menuju langit, nanti ibu rindu.

Ibu berteriak saat ayunanku melayang tinggi di udara.

Rindu? Apa itu bu?

Ibu mengentikan mengayunku. Dia berjalan ke depanku, sedikit berjongkok agar sejajar dengan tubuhku yang mungil.

Ibu meletakkan telapak tangan pada dadaku.

Jika kau merasa disini kosong, maka kau sedang rindu. Jika kau merasa disini penuh, maka kau sedang penuh cinta.

Aku meletakkan telapak tangan menumpuk telapak tangan ibu pada dadaku.

Rasanya penuh bu!

Itu artinya kau sedang penuh cinta.

Ibu memelukku erat lalu meninggalkan kecupan pada pipiku.

Disini saja. Iya, dibagian ini saja boleh kan aku menekan pause sekarang?

***

"Ibu! Aku rindu!" teriakku kencang dan berlari ke arah wanita di depanku yang katanya adalah ratu. Iya, dia adalah ratu dalam hidupku.

Mark tak sadar mengangkat wajah tanpa seijin ratu. Dia menatapku berlari ke depan.

Ibu membuka kedua lengannya. Tak terhitung lama, aku sudah masuk dalam dekapannya.

"Ibu! Aku rindu. Rindu sekali bu!" tangisku pecah dalam pelukan ibu.

"Putriku!" Ibu balas memelukku tak kalah erat.

Kami menangis bersama. Selang beberapa menit ibu menyuruhku duduk di atas awan. Ternyata kasur dan bantal di rumah kalah empuk dan lembut dari awan.

Mark pamit saat ibu menyuruh Mark meninggalkan kami. Dia pamit dengan cara tak biasa. Menghilang di depan mataku.

Aku menatap ibu lekat. Dia benar-benar ibuku.

"Jadi selama ini ibu di tempat ini? Ini tempat apa bu?"

Ibu membelai rambutku seperti kebiasaan ibu dulu saat aku masih kecil. "Ceritanya panjang sayang. Apa kau siap mendengarnya?"

Aku mengangguk cepat dengan penuh antusias.

"Saat kita liburan bersama dengan para tetangga waktu itu. Tanpa sepengetahuan kalian, Wexlyn membawa ibu lebih dekat dengan laut lama-kelamaan semakin dalam lalu dia meninggalkan ibu. Sepertinya dia tahu, ibu tak bisa berenang. Ombak besarpun menghempaskan ibu jauh dari tempat kita berkumpul waktu itu. Yang ibu sadari, tiba-tiba ibu sudah terhempas di daratan. Ibu bergegas mencari kalian, namun ibu malah terpaku dengan sebuah pemandangan. Ada cahaya pada sebuah pohon di situ, ibu menyentuhnya dan sekarang ibu berada di sini."

"Kenapa ibu tidak kembali? Apakah tidak bisa keluar dari tempat ini?" tanyaku penasaran.

"Bisa sayang. Semua yang ada disini bisa ke bumi."

Pertanyaanku semenjak tiba di dunia ini akhirnya terjawab dan tak menyangka yang menjawab adalah ibuku sendiri.

"Lalu kenapa? Kenapa ibu tidak kembali? Apa ibu tidak sayang padaku dan ayah?" apa ibu tidak merindukanku? Ibu jahat!" aku menangis lagi.

Ibuku menangis tiba-tiba.

Apa kata-kataku terlalu kasar?

"Ibu rindu. Ibu sangat merindukan kalian. Namun bagaimana ibu bisa kembali, saat sudah ada yang lain menggantikan posisi ibu" mata ibu berkaca-kaca, aku memeluknya seketika.

"Apa ibu tahu? Wexlyn dan anak-anaknya selalu kasar padaku bu. Seenaknya padaku bu!"

Akhirnya aku punya seseorang untuk berbagi keluh kesah. Selama ini hanya lewat doa aku utarakan dan juga pada pohon tua itu.

"Ibu tahu sayang. Jadi karena itulah ibu memunculkan cahaya di pohon tua itu agar kau dapat ke sini"

"Kenapa tidak dari dulu saja bu?"

"Karena saat itu masih ada ayahmu. Dia akan sangat terpukul jika kau menghilang sayang" ucap ibu lembut.

"Tapi kan ayah sudah sebulan ke surga. Kenapa ibu tidak menjemputku selama sebulan itu?"

"Ibu masih bingung saat itu, dunia mana yang terbaik bagimu. Maafkan ibu!"

"Tidak apa-apa bu, yang terpenting saat ini aku sudah bertemu dengan ibu"

Kami berpelukan lagi. Kau tahu? Aku dan ibu seperti baterai dan charger. Ketika kami berpelukan. Di sini, di dadaku ini ah bukan lebih tepatnya di hatiku ini terisi penuh. Penuh dengan cinta.

Kata ibu mulai sekarang aku akan menjalani kisah baru di sini. Ini adalah sekolah dengan kepala sekolah yang adalah ibuku sendiri.

Apakah di sini lebih baik dari bumi?

Bagiku, di dunia manapun asalkan ada ibu kurasa itulah tempat terbaik.

Aku kini berada di depan pintu kelas yang sedang tertutup. Jantungku berdebar kencang. Banyak pertanyaan yang terlintas.

Apakah aku bisa beradaptasi di kelas ini?

Apakah murid-muridnya baik-baik?

Apakah aku bisa berteman dengan mereka? 

Sebuah jemari tiba-tiba mengenggam tanganku. Jemari ibu.

"Jangan takut sayang. Ayo kita masuk!" ibu tersenyum padaku di depan pintu kelas.

***

Bagaimana cuaca saat kalian membaca cerita ini?

A. Hujan

B. Mendung

C.  Panas

D.  Gerimis

Come Here! (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang