CHAPTER 6

14.6K 291 1
                                    

AUTHOR’S POV

Mereka berdua pun memakan makanan yang telah dipesan. Tidak ada percakapan yang mereka buat untuk mencairkan suasana. Amanda asik dengan makanannya dan Edward sibuk dengan pikiran – pikirannya.

Sebenarnya, Amanda masih memikirkan apa yang disembunyikan oleh seseorang yang baru dikenalnya kurang dari 24 jam ini. Pria yang menolong hidupnya dan kehormatannya untuk membayar perawatan ibunya.

Mereka pun selesai makan. Masih sama dengan sebelumnya. Tidak ada percakapan yang tercipta sampai akhirnya Edward mengajak Amanda untuk duduk ditaman. Ia ingin membicarakan sesuatu tentang ibunya. Amanda hanya menurut saja dan mengikuti Edward.

Sesampainya di taman, Amanda memutuskan duduk di pinggir kursi taman, dan Edward duduk disebelahnya. Mereka masih hanyut dalam pikirannya masing – masing. Edward pun akhirnya berdehem untuk memecahkan keheningan yang ada.

“Kelvin adalah teman saya yang mengurus segala urusan yang berkaitan dengan ibumu disini.” kata Edward mengawali percakapan.

“lalu?” tanya Amanda sambil menoleh kearah Edward.

“saya mau bertanya, apakah Kelvin menghubungimu tadi siang?” tanya Edward.

Amanda hanya menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan Edward.

“okay, baiklah.” Kata Edward.
“ada apa?” tanya Amanda.
“saya harus menjelaskan ini. Tapi tolong kau jangan potong pembicaraan saya dan jangan menangis.” Kata Edward kembali.
“saya tidak berjanji. Cepatlah katakana.” Desak Amanda.
“okay… jadi, tadi saat saya di kantor Kelvin menghubungi saya. Dia mengatakan bahwa ibumu harus segera di operasi. Namun, dokter bilang harapan ibumu untuk sembuh kembali itu sangat tipis karena ibumu sudah memasuki stadium 4.” Jelas Edward hati – hati.

Isak tangis yang hanya tercipta. Tidak ada perkataan yang merespon penjelasan Edward. Ya, Amanda menangis. Ia tutupi wajahnya dengan tangan, seakan – akan seluruh hidup yang ada didepannya tidak dapat ia lihat.

AMANDA’S POV

Mendengar penjelasan Edward membuat ku sangat hancur. Aku hanya menangis menanggapi penjelasan Edward. Ia hanya dapat mengusap pundakku untuk memberikan ketenangan.

Semua seakan gelap dan tidak bisa kulihat apapun. Aku hanya menangis dan menangis. Aku takut jika pada akhirnya aku harus kehilangan ibu. Aku sangat tidak sanggup jika nyatanya aku akan sendirian di dunia ini. Aku sangat tidak sanggup, aku tidak bisa membayangkan itu semua.

“Amanda, are you okay?” tanya Edward.

Aku hanya diam dan diam. Aku tak dapat membuka mulutku untuk menjawab pertanyaannya. Sampai pada akhirnya, Edward merubah posisinya jongkok dihadapanku. Aku terkejut. Dia adalah orang besar tapi dia sampai berjongkok dihadapanku. Mengapa? Ada apa dengan dirinya?

“kamu kenapa?” tanyaku.
“saya bertanya, kamu baik – baik saja?” tanyanya balik.
“aku tidak apa – apa.” Jawabku.
“ lalu, mengapa kamu diam saja?” tanyanya kembali.
“aku, aku hanya merasa benar – benar jatuh dengan apa yang terjadi.” Jawabku.

Edward hanya diam tak merespon apapun.

Pandanganku lurus kedepan mengamati taman yang ada disini. Memikirkan seluruh yang terjadi. Aku memikirkan apa yang terjadi pada ibuku. Aku tak menyangka harapan untuk ibu sembuh ternyata sangat tipis.

Ku pejamkan mataku rapat – rapat, berharap hari ini hanyalah mimpi dan hari esok adalah masa depan yang aku harapkan disetiap doa ku pada Tuhanku. Tapi nyatanya, ini bukanlah mimpi. Ini adalah takdir yang harus ku hadapi.

“Setiap manusia selalu diberi ujian dari Tuhan. Layaknya kita jika ingin lulus dari suatu sekolah, pasti akan ada ujiannya, apalagi hidup. Kita boleh terjatuh disaat ujian yang kita hadapi sangat berat, tapi jangan lupa untuk segera bangkit. Karena masa depan telah menantimu, ia tak ingin terlalu lama berpisah denganmu. Dan yang harus kamu lakukan adalah berdoa dan bangkit. Berikan semangat terbaik untuk ibumu. Apapun hasilnya nanti, itu adalah keputusan Tuhan yang terbaik.” kata Edward menasihati.

Aku hanya diam membisu mendengarkan nasihatnya. Aku bingung harus menjawab apa sampai akhirnya aku hanya mampu menangis. Edward melihatku menangis dan langsung menarikku ke dalam pelukannya. Aku terkejut atas perlakuannya. Jarang sekali aku mendapatkan perlakuan istimewa dari seseorang.

Nyaman. Satu kata yang menggambarkan saat aku berada di dalam pelukannya. Aroma maskulin dan dada bidangnya yang membuatku nyaman dan ingin berlama di dalam pelukannya. Ia juga mengeluk pucuk kepala ku dan aku hanya mampu menikmatinya. Akupun dapat melupakan masalah hidupku walaupun hanya sebentar.

“maaf, aku telah membuat jas mu basah.” kataku sambil membenarkan posisi dudukku.
“no problem, jika itu bisa membuatmu mengurangi kesedihanmu.” katanya.
“ah ya, aku harus segera ke ruangan ibuku, aku harap ibu sudah bangun.” kataku segera bangun.

Akupun pergi meninggalkan dia seorang diri. Aku segera menuju keruangan dimana ibuku terbaring lemah. Aku mengingat tentang kondisi ibu kembali. Aku pun kembali menangis. Aku segera menghapus airmataku sebelum dia atau siapapun melihat bahwa aku tengah menangis.

EDWARD’S POV

Amanda telah meninggalkan saya di taman ini sendirian setelah ia menangis. Sedih rasanya melihat ia menangis. Namun, jika saya bersedih siapa yang akan menghibur dia. Sayapun segera merapikan pakaian saya.

Saya pun bangun dan segera memasuki rumah sakit. Berjalan dilorong rumah sakit menuju dimana ibu Amanda di rawat. Saya pun kembali melihatnya melamun saja di kaca besar itu. Melihat kondisi ibunya yang tidak ada perubahan sama sekali. Ia pun harus mengikhlaskan cepat atau lambat. Ia harus menyiapkan mentalnya sebelum hari itu tiba.

Saya hampiri dia dan ikut melihat ke arah ibunya. Saya tau bagaimana perasaannya melihat ibunya terbujur lemah disana dengan dipasang banyak alat. Saya mendengar ia kembali terisak. Saya rengkuh tubuhnya dan saya ajak duduk di sofa yang sudah disediakan.

Saya benamkan kepalanya di dada saya dan saya biarkan ia menangis. Saya tidak peduli jika pada akhirnya pakaian saya harus basah karena terkena airmatanya. Saya hanya mau menenangkan gadis yang mungkin saya sayang.

Ia pun berhenti menangis. Sudah tidak ada isakkan tangis yang terdengar. Ia mengangkat kepalanya dan menatap tepat lurus dengan mata saya. Kami pun terdiam cukup lama.

Cup

ia mencium pipi saya. Saya cukup terkejut merasakannya sekaligus bahagia. Wajahnya merah padam antara habis menangis atau malu. Saya pun mengeratkan pelukan dan menghapus jarak diantara kami. Ia berusaha menghindar namun tidak kuat karena tenaga saya lebih besar dari tenanganya.

Saya mendekatkan wajah saya dengan wajahnya. Saya kecup bibirnya dan kemudian saya lumat bibirnya. Ternyata ia sudah mampu membalas ciuman saya dan mengikuti saya. Dia pun meremas lengan saya.

Jangan sekarang, Edrward. Ini rumah sakit segera sadarlah. Kata hati saya.

Saya sudahi ciuman dan saya usap bibirnya. Lembut dan candu. Tidak pernah saya merasakan ciuman yang memberikan efek seperti ini. Saya pun menatapnya tepat dibola matanya. Dia berusaha menghindar dari tatapan saya.

“bisakah semua yang ada di dalam dirimu hanya untuk saya?” kata saya perlahan.

TO BE CONTINUED

-----------------------------------------------------------
Terima kasih sudah membaca

Arvi.

My Handsome DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang