EDWARD'S POV
Saya merasa bahwa saya telah salah dalam mengungkapkan apa yang saya rasa. Seharusnya saya tidak boleh gengsi bahwa saya sebenarnya membutuhkan dirinya lebih dari sekedar seorang sekretaris, menemani saya di apartemen ini.
Ungkapan saya salah sehingga saya memilih keluar kamar dan menyalakan tv dengan volume yang cukup tinggi. Saya duduk di sofa dan mengusap wajah saya dengan kasar. Tangan kanan saya masih ditutupi oleh plester karena bekas infus.
Pandangan saya kosong ke arah tv. Tidak benar - benar fokus menatap apa yang tengah ditayangkan di salah stasiun tv.
Seharusnya tidak seperti ini, Adel. Sejujurnya saya membutuhkanmu, lebih dari apapun. Hanya saja saya terlalu pengecut dan kaku untuk mengatakan bahwa saya sangat membutuhkan mu. Kamu berpengaruh besar dalam menyembuhkan luka saya. Termasuk sikap - sikapmu beberapa tahun ini saat bekerja sama saya, itu cukup membuktikan bahwa kamu bisa saya percaya. Saya ingin kamu, sungguh untuk mendampingi saya selalu disini dan menemani saya. Batin saya.
Waktu sudah semakin sore. Saya tidak melihat Adel keluar dari kamar. Pikiran saya semakin kacau, takut - takut jika Adel menangis atau bahkan telah menyakitinya atas ucapan saya.
Saya mematikan tv dan masuk ke dalam kamar. Lalu, melihatnya tengah tertidur meringkuk diatas kasur karena kedinginan.
Saya hanya tertawa renyah, bagaimana dia tidak kedinginan jika dia hanya mengenakan rok diatas lutut dan kemeja yang tipis, ya tembus pandang juga.
Saya menarik selimut dan menyelimutinya sampai leher. Saya tersenyum tipis menatap wajah mungil dan polosnya ketika tertidur. Saya tau, bahwa dia berpakaian se-seksi ini untuk menarik perhatian saya yang tidak pernah saya gubris sedikitpun.
Saya duduk dipinggir ranjang dan mengusap kepalanya.
"Adel, maafkan perkataan saya. Seharusnya bukan kata - kata itu yang harusnya saya keluarkan, seharusnya saya mengatakan bahwa saya menginginkan mu selamanya. Tapi nyali saya sekecil tikus untuk mengatakannya. Maaf nyatanya bosmu ini terlalu kaku dan aneh seperti ini." saya berhenti sebentar dan menarik nafas, lalu membuang nya perlahan.
"Saya menyukaimu, Adel. Hanya saya merasa bahwa belum tepat waktunya, saya masih terlalu gengsi dan saya masih pengecut. Saya suka kamu berpakaian seksi, namun saya sedikit ingin marah jika ada yang menatapmu dengan pandangan nafsu seperti itu. Tapi, kembali lagi saya terlalu naif untuk possesif padamu sampai kamu harus saya abaikan." saya menghentikan kembali perkataan saya.
"Saya suka saat kamu memanggil saya Daddy, dan saya juga suka ketika kamu memanggil nama saya disela - sela desahanmu. Cukup kotor bukan pikiran saya? Itulah saya, Adel. Apakah kamu tidak merasa jijik selama ini melihat kelakuan bosmu yang selalu bermalam dengan wanita berbeda. Tapi nyatanya, kamu malah ingin bersama saya. Adel, saya brengsek namun pengecut." kata saya.
Adel terbangun, dia menatap sekeliling dan mengumpulkan kesadarannya. Saya menatapnya dengan wajah dingin. Kemudian dia duduk dan mengusap wajahnya kasar. Nafasnya pun belum stabil. Rasanya ingin tertawa namun tertahan entah karena apa.
Saya menariknya sampai ia terjatuh kedalam pelukan saya, kemudian saya menatap kedua matanya intens. Mata yang indah dan menenangkan. Kesederhanaannya membuat saya cukup menyukainya.
Saya melumat bibirnya lembut. Ia terlihat kaget dan hanya berpegangan pada bahu saya, kemudian ia membalas lumatan saya ketika bibir bawahnya tergigit oleh saya. Matanya terpejam dan menikmati setiap lumatan.
Kami melepas lumatan dan mengambil nafas sebanyak - banyaknya. Badannya terkunci oleh tangan saya. Ia yang duduk diatas pangkuan saya menatap saya bingung. Saya memiringkan lehernya, lalu membuat kissmark di beberapa sisi lehernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Daddy
RandomHari ini, sungguh melelahkan. Pekerjaan hanya membuat saya lelah dan ingin segera merebahkan badan di kamar. Hm, mungkin ditambah cuddle dengan baby girl saya. Langkah kaki saya sudah sampai didepan pintu apartemen saya. Lalu, saya tekankan bel apar...