CHAPTER 11

10.7K 221 0
                                    

EDWARD’S POV

Saya menyeret pelan kaki saya memasuki rumah. Pikiran saya sangat kacau dan hati saya tidak terkontrol. Saya hanya diam dan membisu walaupun pelayan menawarkan saya apapun, hanya gelengan dan anggukan saja yang saya lakukan. Saya masuk ke dalam kamar dan berdiam sejenak di daun pintu.

Bau ini, bau Amanda. Ah, bagaimana saya bisa melupakannya yang nyatanya semua tentangnya masih hangat didalam pikiran saya. Batin saya.

Saya memutuskan untuk tidak masuk ke dalam kamar, saya hanya berdiam dan menyalakan TV. Tidak ada hal yang menarik perhatian saya di acara TV sehingga saya hanya mengganti – ganti channel saja. Kemudian, saya mengingat tadi Kelvin menghubungi saya saat dijalan. Ia menyampaikan bahwa semuanya sudah di urus dan sudah memberitau kepada Amanda. Lalu, ia juga menyampaikan bahwa Amanda menitip pesan kepada Kelvin bahwa ia meminta maaf dan berterima kasih untuk semuanya.

Mengapa ia tidak menyampaikannya langsung kepada saya? sebegitu bencinya kah ia kepada saya. Ah shit, ia membuat saya cukup frustasi. Tuhan tolong saya untuk melupakannya, saya tidak pernah sesakit ini karena perempuan. Batin saya.

Saya mengusap kasar wajah saya, lalu memasuki kamar dan memilih untuk mandi. Mungkin dengan cara ini pikiran saya akan lebih jernih dan sedikit melupakan Amanda.

SKIP.

Setelah mandi saya memutuskan untuk siap – siap untuk berangkat ke bandara. Tadi Adelia sempat mengirimkan pesan singkat bahwa saya harus segera ke bandara dan ia sudah menunggu disana. Sungguh, saya beruntung memiliki sekretaris sepertinya yang selalu mengingatkan saya. ah, saya lupa bahwa itu memang tugasnya.

Saya membuka lemari pakaian dan saya memutuskan untuk menggunakan kaos puti berkerah dan celana pendek. Mungkin dengan paduan topi putih dan sepatu sneakers akan membuat ketampanan saya.

Terlalu percaya diri kamu Edward. Bisa – bisanya menghibur diri padahal hatimu tengah mendung. Kata hati saya.

-----------------------------------------------------------

NEW YORK

Saya sudah kembali dimana saya dibesarkan. Selamat dipesawat saya telah memikirkan untuk pergi ke club yang biasa saya kunjungi dan saya segera memasuki mobil yang telah menjempu saya. saya memerintahkan untuk mengarahkan mobil untuk ke club itu. Adelia sempat bertanya mengapa harus kesana sementara kami baru saja tiba di New York. saya mengabaikannya dan malah mengajaknya untuk ke sana. awalnya ia menolak untuk ikut, namun akhirnya mengangguk pasrah setelah saya mengancamnya untuk drop out dirinya jika menolak.

Setibanya disana saya segera masuk dan tidak lupa mengajak Adelia untuk masuk ke dalam. Langkah kaki saya langsung menuju bartender dan memesan sebotol vodka, kemudian mengajak Adelia untuk duduk di sofa yang kosong. Entah sebuah keberuntungan atau bagaimana, saya mendapatkan tempat duduk dipojokan dan sepi, saya pun segera kesana begitu pula dengan Adelia.

“apakah kamu pernah kesini sebelumnya?” tanya saya.

“tidak pernah, Pak.” Jawabnya.

Tidak ada percakapan lagi dan minuman yang saya pesanpun datang. Saya menuangkan untuk diri saya dan untuk Adelia juga. Kami minum, namun ia sepertinya tidak tertarik untuk meminum – minuman beralkohol seperti ini. saya tidak peduli, saya hanya ingin minum alcohol sampai saya merasa lebih baik.

Dua, tiga, sampai empat botol vodka tandas saya habiskan.

“mm Edward kamu sudah terlalu banyak minum tolong hentikan.” Kata Adel.

Saya tidak menggubris perkataannya. Kepala saya sudah sangat pusing. Bayang – bayang wajah Amanda kembali muncul. Saya segera mengusap kasar wajah saya.

“ARGH jangan menghantui saya Amanda!” teriak saya.

Itu membuat Adelia terkejut dan terihat ketakutan. Saya segera mengajaknya untuk kembali ke rumah. Saya tau bahwa Adelia sudah Lelah menemani tugas di London. Baru akan bangkit dari sofa, saya sudah terjatuh tergeletak.

“Pak, Bapak Edward.”
Hanya itu yang saya dengarkan, selain itu saya sudah tidak sadarkan diri.

PAGI

Saya mengerjapkan mata saya ketika sinar matahari menembus celah jendela kamar. Saya membuka mata saya perlahan dan melihat ke seluruh kamar. Saya segera bangkit dari Kasur dan

Argh!

Kepala saya terasa berat. Saya hanya mampu memijat pelipis dan mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatan saya memutar kejadian semalam setelah mendarat di New York dan ternyata saya mengunjungi bar yang biasanya serta sudah minum berlebihan, itu yang membuat kondisi saya seperti ini. Lalu, siapakah yang mengantarkan saya ke sini dan kemana kah Adel? Apakah dia ada yang mengantarkan pulang.

Saya berusaha bangun perlahan dan keluar kamar. Saya meminta kepada pelayan rumah untuk membuatkan sesuatu yang bisa menetralkan kondisi saya dan tidak lupa saya bertanya siapa yang mengantarkan saya ke rumah dan Adel yang telah mengantarkan saya. semoga saja Adel diantar supir pribadi saya pulang kerumahnya dengan selamat. Lalu, saya kembali masuk ke kamar dan segera masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah mandi, saya segera memakai baju kerja saya dan keluar dari kamar. Saya adalah tipe orang yang biasa sarapan dirumah. Se terlambat apapun, saya usahakan untuk sarapan dirumah. Karena sarapan dirumah adalah menu sehat yang hanya bisa saya dapatkan. Setelah keluar dari rumah, saya hanya memakan makanan direstoran manapun yang proses pengolahannya saya tidak ketahui.

Saya duduk di kursi makan dan mulai memakan sarapan yang sudah disiapkan. Setelah itu, saya berangkat ke kantor dengan menggunakan mobil kesayangan saya yang baru saya beli dua bulan lalu. Tiba – tiba bayangan tentang Amanda kembali menghantui pikiran saya. namun, saya segera menepisnya dan menepikan mobil. Saya tidak ingin membahayakan diri saya sendiri jika seperti ini. Setidaknya saya harus mengontrol pikiran saya terlebih dahulu.

Saya memandang ke arah halte bus yang berada tidak jauh jaraknya dari mobil saya dan saya seperti mengenali salah satu orang yang ada disana. Ah, ternyata itu Adel, sekretaris saya. tapi, apakah dia tidak menggunakan mobil pribadinya untuk berangkat ke kantor atau ia tidak memiliki mobil?

Edward, bos macam apa kamu yang tidak mengenali seluk beluk kehidupan sekretarismu sendiri.

Nyatanya, memang saya tidak mengenali sekretaris saya yang telah mendampingi saya selama ini. Saya hanya memfokuskan kinerjanya dan disiplinnya saja selebihnya saya tidak terlalu menggali lebih dalam. Saya segera menghapus pikiran saya dan memilih untuk melanjutkan perjalanan ke kantor.

TO BE CONTINUED

-----------------------------------------------------------
Terima kasih telah membacanya
Maaf jika pada chapter ini terlalu awkward.

Arvi.

My Handsome DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang