Prolog

2.7K 111 37
                                    

Zavia Kinara Zara. Gadis yang mempunyai hobi menulis itu sudah membuat banyak novel. Mulai dari ketertarikannya di dunia orange, hingga membuatnya menjadi halu berlebihan.

Novel romance hasil dari halu-nya selama ini baru saja terbit. Dia berniat memperlihatkannya kepada Vina, sahabatnya.

Zalfa, Mama Zavia sedang pergi. Sedangkan Zidan sedang bekerja. Kedua orang tuanya itu sibuk sepanjang hari.

Bosan di rumah sendiri, Zavia meminta Vina datang berkunjung. Sekalian dia juga ingin memperlihatkan novel romance pertamanya.

Sejak sepuluh menit yang lalu, Vina sudah datang. Mereka saling diam satu sama lain.

"Via? Mau apa, sih, panggil gue ke sini?" tanya Vina. Zavia menatap Vina tanpa ekspresi. Lalu, dia mengambil sebuah buku novel dan menyerahkannya ke arah Vina.

"Ambil," jawabnya. Vina berkedip dua kali sebelum mengambil buku itu. Tanpa bertanya, dia sudah tahu ini buatan sang sahabat.

"Genre romance?" tanya Vina. Zavia mengangguk.

"Buat temen, aku kasih gratis," ujar Zavia. Vina tersenyum senang.

Begini enaknya punya teman penulis novel. Setiap buku terbit, Vina akan mendapat satu gratis. Tentu saja Zavia memberinya bukan tanpa alasan.

Selama menulis novel, hanya Vina temannya yang mendukung. Yang lain? Jangan ditanya. Meremehkan dan menertawakan.

Namun, saat Zavia berhasil mencetak novel pertamanya, tanpa tahu malu mereka berkata, "Gue minta satu, ya, harga temen."

Ingin rasanya Zavia menendang orang itu.

"Via, makasih! Muach!" ucap Vina. Zavia memandang gadis itu dengan tampang menjijikkan.

"Vina, aku masih doyan laki-laki. Kamu kalo lesbian jangan sama aku." Ucapan polos yang ke luar dari mulut Zavia membuat Vina ngakak.

"Gue juga masih doyan cowok, Via. Lo kalo ngomong nggak pernah disaring," ujar Vina.

"Aku ngomong apa adanya. Yang aku pikirin, itu yang aku omongin. Nggak munafik." Oke, ucapan jujur dari Zavia terkadang juga menyakitkan. Gadis itu terlalu polos memang.

"Lo pernah denger ungkapan 'jujur itu kadang menyakitkan', nggak?" tanya Vina. Satu tangannya mengambil camilan yang sudah Zavia siapkan.

"Semenyakitkan apapun, kejujuran tetep lebih baik dari kebohongan," jawab Zavia. Jemari lentiknya mulai bermain dengan lincah di papan keyboard laptop.

"Hm. Gue setuju. Kebohongan itu menyusahkan," sahut Vina. Gadis itu mengintip sesuatu yang diketik Zavia, tapi Zavia buru-buru menutup laptopnya.

"Vina ngapain ngintip-ngintip? Kamu keponya kebangetan," kata Zavia. Vina lagi-lagi tertawa ngakak.

"Karena kepo itu menyenangkan," ujar Vina.

"Salah. Kepo itu menyusahkan," sangkal Zavia. "Apalagi orang yang keponya kayak kamu, nggak tau malu banget," sambungnya.

Vina tertohok. Sakit rasanya mendengar kejujuran yang seperti itu.

"Gue kayaknya menjijikkan banget, ya, Via?" Vina ingin segera menutup telinganya, tapi terlambat.

"Banget. Lebih menjijikkan dari hewan yang menjijikkan," jawab Zavia cepat. Satu hal yang harus kalian pahami. Berteman dengan Zavia harus kuat mental.

"Lo nggak tau berapa orang yang sakit hati denger kata-kata penuh kejujuran lo itu."

"Kalo sakit hati, bawa aja ke rumah sakit. Kata-kata aku nggak bisa bikin orang sakit hati."

Oke, Vina tahu Zavia menangkap artian yang lain. Sakit hati yang sebenarnya. Sakit hati yang bisa diobati oleh dokter.

"Oh, iya, Via. Nanti, kita beda sekolah, ya? Sayang banget gue harus pindah, 'kan?"

"Hm. Untung aja nggak satu sekolah lagi sama makhlus spesies kayak kamu," jawab Zavia.

"Spesies apa emang gue?"

"Spesies orang yang terlalu kepo sama kehidupan orang lain."

Vina menyerah. Dia tak ingin darah tinggi, lalu mati muda. Tidak elite, dong cara matinya.

"Kepo itu sebuah keharusan. Banyak manfaatnya. Kayak kepo sama jawaban soal contohnya," ujar Vina.

"Kalo iya emang bermanfaat. Tapi, kamu itu keponya sama jawaban temen," sahut Zavia.

Vina bungkam. Perkataan Zavia selalu benar. Dia tak bisa menampiknya.

"Tapi, masa lo nggak sedih gue pindah?"

"Sedih nggak, bersyukur iya."

Vina berdecak. Terkadang, Vina ragu. Zavia itu benar-benar polos atau tidak? Bisa saja Zavia berpura-pura polos agar setiap ucapan menyakitkannya diwajarkan setiap orang.

"Sedih banget, ya, jadi gue?" gumam Vina. Zavia masih bisa mendengarnya samar-samar.

Lantas, Zavia berjalan mendekati Vina, duduk di sampingnya, lalu menepuk punggung Vina berkali-kali. Tak lupa dengan tatapan penuh iba.

"Sabar, ya," ujar Zavia. Vina meringis dalam hati.

"Always sabar, kok, gue mah." Vina menghela napas. "Tapi, masa lo nggak kangen sama gue? Gue pindahnya ke Bandung, lho. Jauh."

Zavia berkedip dua kali. "Kangen, sih, pasti. Tapi, mau gimana lagi?" Vina mengangguk.

"Kalo gitu, lo mau nggak kapan-kapan main ke Bandung? Gue traktir seblak entar," tawar Vina.

"Kalo Mama ijinin, aku mau-mau aja," sahut Zavia. Vina tersenyum senang.

"Sip!"
_________

To be contiued ....

Oke, ini hasil revisi part 1. Gimana? Berubah banget, 'kan?😂

Bagus yang mana? Sebelum atau sesudah revisi?😆

FOR YOU [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang