TIGA PULUH DUA

408 31 1
                                    

Hari ini hari Minggu. Namun, tidak seperti biasanya, Zavia hari ini akan pergi keluar rumah. Sebenarnya, Zavia merasa aneh. Mengapa Zalfa mengizinkannya pergi keluar? Padahal, Zalfa pun tahu, Zavia akan pergi bersama pria.

Ya, meskipun harus ada perdebatan dulu, tapi akhirnya Zalfa pun mengizinkan. Lagian, kalau tidak seperti itu, Zavia tak akan mandiri, 'kan?

'Tin ... tin ...  tin ....'

Suara klakson mobil berbunyi. Segera, Zavia pergi keluar rumah sebelum mencium punggung tangan ibunya.

Karena tidak sabar, Zavia pun berlari. Namun, nasib sial menghampirinya. Dia tersandung tali sepatu yang ternyata belum diikat.

'Bruk'

"Aww ...." Zavia meringis. Namun, tetap dalam posisi duduk. Mungkin sekarang sudah hampir lima menit. Ya, bisa dibilang, Zavia menunggu seorang malaikat penolong membantunya berdiri. Namun, ternyata tidak ada sama sekali yang berniat membantunya.

Malah, yang dia lihat sekarang adalah seorang iblis kejam yang sedang menertawakannya. Zavia merutuki nasib sialnya.

Akhirnya, karena capek terus duduk, Zavia pun mencoba berdiri. Dia menepuk-nepukkan bajunya yang sedikit kotor. Tatapan tajam, dia layangkan pada manusia penghuni mobil.

Zavia terus menyumpah serapahi iblis kejam itu.

Lalu, dengan malas, Zavia membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya.

"Rey, Devin, Darla, Vero, berhenti ketawanya!" ketus Zavia saat mereka masih terus tertawa. Lama kelamaan, mereka pun menghentikan tawanya.

"Sorry, sorry," ujar Rey yang masih sedikit tertawa.

"Lo itu ... begonya udah tingkat akut," ucap Devin.

"Lagian, lo gak bisa ikat tali sepatu lo apa?" tanya Vero.

"Bisa, tapi--" Perkataan Zavia terpotong kala dia merasakan ada seseorang yang sedang mengikat tali sepatunya. Dia menoleh ke bawah.

Tepat sekali! Rey sedang mengikat tali sepatunya. Ah, manis sekali.

"Lain kali, hati-hati," ujar Rey sambil mengetuk pelan kepala Zavia. Zavia nyengir.

"Eh, by the way, gue ada di sini, lho." Zavia menoleh ke arah suara.

"Kata siapa kamu gak ada di sini?" tanya Zavia. Felly menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ya, kali aja lo gak tau," jawab Felly.

"Eh, kenapa kamu duduknya sama Rey? Terus, kenapa aku dihimpit mereka? Bukan muhrim, tau!" ketus Zavia. Sambil menoleh kanan-kiri.

"Jadi, lo mau di depan?" tanya Rey.

"Mau," jawab Zavia cepat. Rey langsung menoleh ke arah Felly yang sedang meremas bajunya.

"Fell?" Felly berdeham, lalu memaksakan senyumnya.

"Oke, gue pindah ke belakang." Baru saja Felly akan pindah, seseorang mencegahnya.

"Gak usah! Emang dianya aja yang lebay. Lo duduk aja di sana, dia biar sama gue," ujar Devin sambil mengapit tangan Zavia. Zavia melotot.

"Ish, bisa diem gak?" Zavia mulai nyolot, Devin tampak santai.

"Lagian, kalo lo duduk di sana sama aja bukan muhrim."

"Biarin aja, daripada deket sama kamu, najis mughaladoh!"

"Bodo amat."
_________

Tidak lama kemudian, sampailah mereka di sebuah hotel. Ya, karena hari ini adalah hari Sabtu, dan besok mereka libur. Alhasil, inilah tempat yang mereka pilih. Sekalian refreshing otak katanya.

"Oke, lo sama gue tidur di kamar nomor sepuluh," ujar Rey kepada Devin. Devin berdeham.

"Ver, lo sama Rafa di kamar nomor sebelas." Rey kembali berbicara. Ya, Rafa tadi memang ikut. Namun, dia membawa mobil sendiri.

"Sekarang, Vin--"

"Rey, aku di mana?" tanya Zavia memotong ucapan Rey.

"Lo sama Vina di kamar nomor dua belas," jawab Rey. Zavia terlihat bingung.

"Vina? Emang ada?" Lalu, tiba-tiba, dia merasakan seseorang menepuk pundaknya.

"Sedih, ya, jadi gue?" Muka Vina terlihat miris.

"Astaghfirullah!" pekik Zavia kaget. "Sejak kapan kamu di sini?"

"Gue tadi bareng sama Rafa. Lo gak mau satu kamar sama gue? Ya udah, gue sama Darla aja," jawab Vina. Zavia menggeleng cepat.

"Gak usah, yuk!" Zavia langsung menarik tangan Vina menuju ke kamarnya.

Dia membuka knop pintu, tapi tak bisa terbuka.

"Vin, kok susah, ya?" tanya Zavia heran. Vina terkekeh. Ah, Vina merindukan tingkah Zavia yang polos.

"Ya iyalah, pintunya, 'kan, dikunci," jawab Vina. Kali ini, muka Zavia tidak bisa ditebak.

"Gawat, aku gak bawa kunci rumah!" Vina makin geleng-geleng kepala.

"Pake kunci pintu hotel, Zav, bukan pake kunci rumah lo."

"Lah, terus gimana? Aku gak punya kuncinya! Masa kita tidur di luar?"

'Pletak!'

Zavia mengusap dahinya.

"Udah gue bilang, jangan terlalu bego," ujar Devin sambil terkekeh. Lalu, Devin pun menyodorkan kunci kamar Zavia ke arahnya.

Zavia nyengir. "Makasih!"
_______

TBC
Gimana part kali ini?
Jangan lupa vomment-,

Salam,

Tltha_lthfi

FOR YOU [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang